Menjadi Pejabat Publik yang Baik
December 13, 2023Melawan Pembungkaman: Bagaimana Pers Mahasiswa Menumbuhkan Demokrasi di Kampus?
December 15, 2023Photo by Patrick Tamasso on Unsplash
OPINI
Mempelajari Useless Knowledge, Apa Pentingnya?
oleh M. Ja’far Baihaqi
Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau gajinya sama kayak orang yang pendidikannya rendah. Belajar begituan buat apaan sih, toh juga nggak bisa ngasilin duit?
Dua kalimat di atas sangat sering, paling tidak satu kali, kita dengar, terutama kalau kita menggeluti ilmu filsafat, sastra, sejarah, antropologi, dan ilmu humaniora lainnya. Ungkapan itu menunjukkan kalau ilmu pengetahuan yang tidak menghasilkan cuan (uang) dianggap sebagai pengetahuan yang tidak berguna. Mempelajarinya dinilai sia-sia belaka karena hanya menghabiskan waktu dan tenaga.
Dari ungkapan itu juga lah kita tahu kalau ada kecenderungan di masyarakat, dengan demikian juga siswa dan mahasiswa, yang memandang ilmu pengetahuan yang berguna sebagai ilmu pengetahuan yang bisa menghasilkan uang, mesin produksi, dan produk yang punya nilai jual.
Kecenderungan itu juga tergambar dengan jelas dari bagaimana seseorang memilih program studi (prodi) untuk meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Pertimbangan paling utama yang akan diambil, baik oleh orang tua maupun calon mahasiswa, bukanlah soal minat dan keahlian si calon mahasiswa yang berpotensi bisa terus diasah ketika berkuliah di prodi tertentu. Prospek kerja yang bagus dan memungkinkan mereka bisa mendapatkan gaji tinggi setelah lulus adalah ukuran emas yang mereka junjung. Hasilnya bisa kita lihat sendiri: program studi macam filsafat, sastra, dan sejarah, baik di kampus negeri maupun swasta, memiliki sedikit peminat karena dianggap tidak menawarkan prospek kerja yang menjanjikan.
Pandangan di atas memang sangat realistis, sehingga sangat bisa dipahami dan dimaklumi. Di zaman yang serba susah seperti sekarang ini, rasanya sulit sekali membayangkan bisa hidup nyaman kalau tidak punya uang yang cukup. Tidak heran kalau ada pandangan yang menganggap pengetahuan yang layak dipelajari dan dimiliki adalah pengetahuan yang memudahkan kita mencari cuan.
Namun, apakah memang selalu demikian? Apakah benar bahwa ilmu yang layak dipelajari hanyalah ilmu yang mampu memberi kita wadah untuk mendulang rupiah? Bagaimana dengan ilmu-ilmu yang tidak langsung berkelindan dengan cuan? Mungkinkah ilmu-ilmu itu sebenarnya juga memberi manfaat, tetapi dalam bentuknya yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu saya kira sangat layak untuk didiskusikan karena sedikit banyak akan memengaruhi cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan.
Useless Knowledge dan Seni Berpikir Kontemplatif
Keraguan terhadap manfaat ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, dan sejarah sebenarnya telah dijawab oleh seorang filsuf masyhur asal Inggris bernama Bertrand Russell. Dalam esainya yang berjudul Useless Knowledge, Russell mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua kategori, yakni useless knowledge (pengetahuan yang tidak bermanfaat) dan useful knowledge (pengetahuan yang bermanfaat).
Saat menyebut useless knowledge, Russell merujuk pada ilmu-ilmu seperti filsafat, sastra, sejarah, dan ilmu-ilmu lainnya yang tidak memberikan dampak ekonomi secara langsung dan solusi praktis bagi kehidupan manusia. Sementara, ketika mengatakan useful knowledge, ia merujuk pada ilmu-ilmu yang dapat menciptakan solusi praktis pada kehidupan manusia dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, seperti fisika, biologi, kimia, ekonomi, dan lain-lain.
Namun, dengan mengidentifikasi suatu pengetahuan sebagai useless knowledge, Russell tidak bermaksud mengatakan bahwa itu adalah jenis pengetahuan yang benar-benar tidak berguna atau sia-sia. Russell menggunakan istilah itu hanya dalam artian bahwa jenis pengetahuan ini memiliki fungsi terbaik bukan pada sisi-sisi praktis dan ekonomis, melainkan pada hal-hal lain yang lebih bersifat non-praktis. Jadi, baik useless knowledge maupun useful knowledge, sebenarnya memiliki manfaat di wilayahnya masing-masing.
Manfaat dari useless knowledge yang dimaksud Russell adalah mendorong dan mendukung kebiasaan berpikir secara kontemplatif, yaitu berpikir dengan mendalam dan menimbang segala hal secara objektif (tanpa dipengaruhi pertimbangan pribadi) serta menghindari sikap dogmatis (terpaku pada satu ajaran tanpa sikap kritis). Manfaat semacam itu, menurut Russell, memiliki dampak yang lebih besar bagi peradaban manusia, daripada yang mampu diberikan oleh usefull knowledge.
Useless knowledge mendorong kebiasaan berpikir secara kontemplatif, yaitu berpikir dengan mendalam, menimbang segala hal secara objektif, dan menghindari sikap dogmatis. ~ M. Ja'far Baihaqi Share on XUntuk menjadi seseorang yang tidak dogmatis, kita perlu berhenti menganggap suatu hal mengandung kebenaran pasti. Menurut Russell, tidak ada hal yang benar seutuhnya tanpa memiliki kesalahan dan sisi ketidaksempurnaan. Sementara untuk menjadi objektif, kita perlu menyadari adanya keinginan dan nafsu pribadi yang termuat di dalam setiap tindakan dan pikiran kita. Supaya bisa dikatakan objektif, kita perlu terbebas dari keduanya.
Menjadi tidak dogmatis dan objektif dapat dimungkinkan jika kita mau dan mampu bertukar pikiran dengan seseorang yang memiliki pandangan berbeda. Kita pun perlu berbesar hati untuk mengoreksi dan mengesampingkan keyakinan kita, bila terdapat bukti yang tidak memadai atas keyakinan yang kita pegang. Tidak hanya berdiskusi, menjadi tidak dogmatis dan objektif juga hanya dimungkinkan jika kita memiliki kebebasan, baik kebebasan dari luar maupun dari dalam. Kebebasan dari luar berarti tidak ada sanksi hukum dan tekanan ekonomi atas pandangan yang kita percayai. Sementara kebebasan dari dalam berarti kita terbebas dari ego dan emosi dalam mempercayai suatu pandangan.
Kebiasaan berpikir kontemplatif sangat berguna bagi kehidupan kita, baik secara pribadi maupun umum. Manfaat paling besar dari kebiasaan berkontemplasi adalah mencegah kejahatan, kekejaman, kematian, dan penderitaan umat manusia. Russel percaya bahwa segala jenis kejahatan yang ada di dunia ini mayoritas bersumber dari kecenderungan untuk bertindak tanpa memiliki pertimbangan yang memadai. Menurutnya, kejahatan semacam ini akan reda, bahkan mungkin hilang, jika kita mau berkontemplasi dan mematangkan pertimbangan sebelum bertindak.
Contoh paling tipikal yang bisa kita pakai adalah praktik terorisme atas nama agama. Dalam The End of Faith, filsuf Sam Harris mengatakan kalau absennya praktik berpikir kontemplatif menjadi asal muasal terorisme. Menurutnya, para teroris terjebak dalam cara berpikir yang dogmatis dan sama sekali tidak objektif alias tidak didasari rasionalitas sebelum melancarkan aksinya. Mereka enggan berdiskusi dengan kelompok yang berlawanan pandangan. Bahkan, jika mereka mau untuk berdiskusi pun, mereka tidak akan mau mengoreksi kepercayaannya, sekalipun itu terbukti tidak memadai.
Padahal, jika mereka mau berpikir secara kontemplatif, lalu sedikit saja menurunkan ego dan amarah, mereka akan menyadari bahwa kebenaran bisa saja terejawantah dalam beraneka macam pandangan. Saya kira, sependapat dengan Harris, tidak akan ada lagi gerakan terorisme yang menewaskan banyak orang tak bersalah jika cara berpikir ini dipakai. Ini hanyalah satu contoh, akan ada lebih banyak lagi kekejaman yang musnah jika kita mau menerapkan cara berpikir kontemplatif.
Manfaat lain dari kebiasaan berpikir secara kontemplatif adalah mengantarkan manusia menuju kebahagiaan yang sesungguhnya (hakiki). Seperti yang kita tahu, banyak orang yang saat ini merasa belum bahagia, sehingga mereka mencoba mencari kebahagiaan dengan, salah satunya, mengasosiasikan kebahagiaan dengan kekayaan. Mereka pun berlomba-lomba menjadi kaya, tetapi ternyata kekayaan belum juga membuat mereka bahagia.
Banyak pula orang yang merasa kebahagiaannya terletak pada kesenangan, sehingga mereka melakukan apa pun yang bisa membuat dirinya senang. Namun, setelah merasa senang, mereka masih juga belum kunjung bahagia. Orang yang terbiasa berpikir kontemplatif tidak akan terjebak dalam pencarian kebahagiaan yang tak berkesudahan semacam itu. Mereka akan menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya terletak pada rasa syukur dan penerimaan diri, sehingga mereka pun akan bahagia walau tanpa harta dan dalam keadaan menderita.
Catatan Akhir
Setelah semua uraian di atas, saya kira kita telah sampai pada satu kesimpulan bahwa useful knowledge bukan satu-satunya pengetahuan yang layak dimiliki dan dikaji. Useless knowledge yang kerap dianggap tidak secara langsung berhubungan dengan akumulasi kekayaan pun layak dipelajari. Sudah selayaknya dunia pendidikan kita mengajarkan kedua ilmu itu secara seimbang.
Menegaskan kembali keyakinan Russell, ia telah menunjukkan bahwa peran yang dimainkan oleh useless knowledge untuk mendukung dan mempromosikan kebiasaan berpikir secara kontemplatif tidak dapat diabaikan. Russell begitu optimis melihat dunia akan menuju ke arah yang lebih baik dari yang pernah kita bayangkan sebelumnya apabila dipenuhi oleh orang-orang dengan kebiasaan berpikir kontemplatif.
M. Ja’far Baihaqi adalah mahasiswa gabut yang sedang belajar menulis.
Artikel Terkait
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
Sifat baik dan buruk manusia perlu dipandang secara dinamis dan fleksibel sebagai cara menyeimbangkan hidup.Hakikat Pendidikan yang Hampir Terlupakan
Pendidikan adalah suatu upaya terencana yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik tentunya bermacam-macam sehingga para pendidik hendaknya mampu melihat dan mengasah beragam potensi yang dimiliki peserta didiknya. Dengan penerapan pendidikan yang sesuai dengan hakikat pendidikan itu, peserta didik diharapkan bisa berkembang menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
Di Catatan Pinggir ini, Dr. Ni Made Ras Amanda G., Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana dan Pegiat Literasi Digital dari Japelidi, berbagi tentang pentingnya menjadi warganet yang bijak dan kritis. Bagaimana caranya?