Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
October 31, 2024Sistem Demokrasi yang tidak Demokratis: Pelajaran dari Politik Duopoli Amerika Serikat
November 11, 2024Photo by rhsupplies on Unsplash
OPINI
Vasektomi, Otonomi Tubuh Laki-laki, dan Pemberontakan Maskulinitas
oleh Farid Muttaqin
Program Keluarga Berencana (KB) menjadi salah satu kebijakan paling ‘berhasil’ yang diterapkan di Indonesia. Secara dominan menyasar perempuan sebagai pengguna kontrasepsi (alat mencegah kehamilan), program KB merepresentasikan dan mengokohkan patriarkisme melalui politik keluarga tradisional, yaitu sebuah sistem sosial yang mendudukan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi perempuan.
Politik keluarga tradisional yang dikukuhkan oleh rezim Suharto mengadopsi nilai-nilai patriarkal dalam budaya Jawa yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama yang harus dihormati secara berlebihan. Sebaliknya, perempuan dikonstruksi sebagai penanggung jawab peran-peran reproduksi yang diteguhkan bukan hanya secara kultural, melainkan juga secara resmi (official) melalui kebijakan dan program-program pemerintah. Upaya itu berhasil digunakan untuk mengonsilidasi politik Orde Baru.
Program KB: Status Quo
Kebijakan KB yang patriarkal merupakan proses kodratisasi (upaya untuk meneguhkan kodrat) dan naturalisasi tubuh perempuan sebagai mesin reproduksi. Dianggap secara eksklusif sebagai kodrat perempuan, program KB juga semakin mengasingkan laki-laki dari peran reproduksi dan menjauhkan peran reproduksi dari laki-laki. Artinya, peran-peran reproduksi dianggap hanya cocok untuk perempuan dan tidak kompatibel untuk laki-laki. Peran reproduksi yang basisnya domestik itu, pada akhirnya, juga semakin mengasingkan perempuan dari kerja-kerja di luar rumah atau yang biasa dikonstruksi sebagai kerja produktif.
Dengan kata lain, kebijakan KB yang didasari oleh politik keluarga dan norma gender tradisional membakukan segregasi (pembagian) peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Hal itu juga semakin menegaskan tidak adanya ruang bebas untuk mengerjakan peran gender dan mengekspresikan identitas gender secara lebih cair (fluid). Paradigma dualisme gender, termasuk artikulasinya pada dualisme pekerjaan yang bersifat produksi-reproduksi, yang kini menjadi arena interseksi antara patriarkisme dan kapitalisme, semakin kokoh menjadi basis sosial-politik di Indonesia.
Bergesernya Paradigma soal KB
Sejak akhir 1980an, saat gelombang baru gerakan perempuan atau feminisme global yang ikut menjalar ke Indonesia semakin tumbuh-bergerak, kebijakan KB pun mulai menjadi salah satu sasaran advokasi. Pada masa itu, mulai berkembang pandangan kritis atas program KB yang hampir sepenuhnya menargetkan perempuan sebagai pengguna utama alat kontrasepsi.
Setelah Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan 1994 di Kairo untuk pertama kalinya mengenalkan kerangka pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), aspek kesetaraan gender semakin solid diterapkan dalam melihat kebijakan KB di Indonesia. Sejarah perkembangan gerakan perempuan merupakan konteks sosio-historis yang sangat penting untuk memulai menerapkan gender mainstreaming sekaligus mengkritik kebijakan KB dengan menggunakan kerangka analisis gender.
Pendekatan gender sangat penting dalam merevolusi dan mentransformasi paradigma ‘kodrat’ atas tubuh perempuan dan laki-laki. Tak seperti kodrat yang dipahami secara umum, di mana peran dan identitas sosial harus mengikuti kondisi ketubuhan (biological determinism), gender menyediakan pilihan untuk menjalani peran dan identitas sebagai perempuan atau laki-laki yang melampaui kondisi ketubuhan dan biologisnya. Pun, tidak seperti kodrat yang tradisional, konservatif, baku, kaku, dan dualistis, gender mendorong kebebasan, kelenturan, dan keragaman.
Kerja feminisme di era Orde Baru yang menerapkan kerangka gender pada program KB membuka ruang bagi partisipasi laki-laki secara lebih aktif dan ‘dekat’ dalam penggunaan alat kontrasepsi. Sumbangan feminisme sangat berarti dalam mendobrak mitos gender dan seksualitas laki-laki. Penggunaan kondom di kalangan laki-laki misalnya, mulai muncul pada era itu. Padahal, hal itu bukanlah perubahan yang sederhana, melihat kuatnya mitos mengenai penggunaan kondom yang dianggap bisa mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual.
Namun demikian, secara perlahan-lahan, laki-laki mulai menjadi bagian dari program KB dan dekat dengan aktivitas reproduksi. Salah satu contoh paling signifikan terkait hal itu adalah kampanye ‘Suami SIAGA’, yaitu program pelibatan laki-laki dalam mendukung proses kehamilan dan persalinan yang diinisiasi pada akhir masa Orde Baru. Selain itu, kini, kita pun mulai menjumpai banyaknya laki-laki yang secara lebih terbuka memutuskan untuk melakukan vasektomi atau sterilisasi.
Vasektomi dan Otonomi Tubuh Laki-Laki
Saat berbicara mengenai otonomi tubuh, di kalangan feminis sekalipun, sering kali hanya menyentuh isu soal tubuh dan pengalaman ketubuhan perempuan. Kita berprasangka bahwa opresi ketubuhan hanya dialami perempuan, sehingga wacana dan gerakan otonomi tubuh hanya relevan dalam konteks tubuh dan pengalaman ketubuhan perempuan.
Program KB yang menyasar perempuan dan mengasingkan laki-laki menjadi contoh kasus hadirnya opresi ketubuhan yang juga dialami oleh laki-laki. Kita perlu memahami bahwa KB yang mengasingkan laki-laki dari kerja reproduksi bukan menunjukkan adanya kebebasan dan otonomi laki-laki untuk mengontrol dan membuat keputusan atas tubuhnya sendiri. Sebaliknya, KB justru merupakan proses pendisiplinan bahwa tubuh laki-laki hanya valid untuk melakukan peran non-reproduksi dan kerja yang dikategorisasikan produktif.
Tubuh laki-laki dianggap harus menjadi mesin yang produktif agar bisa memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi keluarga, komunitas, bahkan bangsa dan negara. Tubuh laki-laki harus menjadi tubuh produktif agar bisa berkontribusi maksimal pada pembangunan. Oleh karena itu, ada anggapan kalau tubuh laki-laki jangan diganggu dan didistorsi dengan peran-peran domestik dan reproduktif yang tidak produktif serta tidak membuahkan kekuasaan dan kesejahteraan. Ada anggapan pula kalau tubuh laki-laki adalah tubuh yang memimpin, bukan tubuh konco wingking (teman pendamping). Tubuh laki-laki adalah tubuh publik, diorientasikan sepenuhnya untuk kerja publik yang produktif. Situasi itu menjadi arena opresi ketubuhan laki-laki serta memunculkan stigma dan diskriminasi pada laki-laki dengan profil yang tidak sesuai dengan norma dan ekspektasi.
KB merupakan proses pendisiplinan bahwa tubuh laki-laki hanya valid untuk melakukan peran non-reproduksi dan kerja yang dikategorisasikan produktif. ~ Farid Muttaqin Share on XProgram KB dan vasektomi sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lama, tetapi pendekatan yang digunakan pemerintah masih dominan ditujukan pada perempuan. Hal itu membuat pemerintah gagal mengatasi mitos-mitos soal vasektomi, terutama soal vasektomi sebagai penyebab disfungsi ereksi dan ejakulasi dini. Mitos-mitos seksualitas tersebut mengoyak langsung bangunan kokoh maskulinitas yang mewajibkan laki-laki harus tangguh dan perkasa secara seksual. Dengan mitos tersebut, vasektomi dinilai akan mereduksi kelaki-lakian serta mengancam dan melemahkan posisi laki-laki dalam hubungan intim dan relasi sosial.
Vasektomi, secara medis, adalah upaya kontrol kelahiran (birth control) melalui prosedur operasi untuk membuat kemandulan permanen pada laki-laki. Dalam konteks otonomi tubuh, vasektomi adalah tindakan seorang laki-laki atas tubuhnya untuk secara permanen tidak lagi punya kemampuan membuahi dan memiliki keturunan. Vasektomi mengubah keterasingan laki-laki pada program KB sekaligus menyiratkan keputusan merdeka mereka untuk mengontrol tubuh dan pengalaman ketubuhannya sendiri. Dengan kemandulan permanen, vasektomi menjadi pengalaman laki-laki yang memuat semangat perlawanan atas mitos maskulinitas, salah satunya adalah memiliki anak sebagai simbol dan manifestasi kuasa laki-laki. Disebut sebagai bentuk perlawanan karena vasektomi menghendaki laki-laki untuk tidak berkeinginan memiliki anak secara biologis sama sekali.
Pemberontakan pada Maskulinitas
Pengalaman vasektomi adalah pengalaman pendobrakan atas norma maskulinitas yang beracun. Pengalaman vasektomi adalah pengalaman kelaki-lakian yang tidak gentar pada norma dominan serta pengalaman maskulinitas yang menolak untuk rujuk pada mitos dalam menjalani sebuah pengalaman hidup sebagai laki-laki. Pengalaman vasektomi adalah pengalaman kritis untuk mendobrak mitos-mitos yang menyelimuti seks, seksualitas, gender, feminitas, dan maskulinitas yang dipraktikkan tanpa sadar akibat normalisasi dan naturalisasi atas pengalaman kebertubuhan. Terakhir, pengalaman vasektomi adalah pengalaman kelaki-lakian yang berani mengambil jalan alternatif untuk menjadi dan menubuhkan kelaki-lakian sesuai pilihan bebas.
Perlu dicatat, pengalaman vasektomi sebagai pengalaman otonomi tubuh dan pengalaman mendobrak mitos-mitos maskulinitas merupakan pengalaman berkesadaran, bukan pengalaman natural yang sifatnya otomatis. Pengalaman vasektomi menjadi pengalaman kritis dan penuh kesadaran memerlukan fondasi paradigma mengenai relasi yang berkeadilan di antara seluruh identitas gender, baik relasi secara seksual, personal, maupun sosial.
Relasi berkeadilan tidak hanya bersifat self-centric (berpusat pada diri) atas dasar patriarkisme, konstruksi soal maskulinitas ideal, dan male-centrism (berpusat pada laki-laki), tetapi selalu membayangkan kehadiran hak yang lain dan perlu dihormati. Kita juga perlu berhati-hati melihat keputusan vasektomi yang bersifat male-centric yang, jangan-jangan, justru menjadi ruang baru penegasan sifat laki-laki patriarkal sebagai pemegang wewenang dan kuasa tunggal dalam berbagai relasi yang tak memberi ruang negosiasi.
Di sinilah pentingnya ‘pergumulan feminis’ pada laki-laki yang memutuskan vasektomi. Feminisme memberi bekal pandangan soal keadilan, kesetaraan, anti-kekerasan, respek pada hak yang lain, dan ruang negosiasi yang setara, seraya memegang teguh kesadaran atas otonomi tubuh dan kemerdekaan dari segala mitos.
Farid Muttaqin adalah Co-Founder dan Pengelola LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES). Ia juga merupakan peneliti isu gender, seksualitas, dan feminisme di Departemen Antropologi, Binghamton University (State University of New York), New York, Amerika Serikat.
Artikel Terkait
Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
Ada kesalahpahaman bahwa feminisme berarti membenci laki-laki. Karena itu, banyak orang yang merasa enggan untuk belajar tentang feminisme. Lewat tulisan ini, penulis berusaha meluruskan miskonsepsi ini dan menjelaskan bahwa feminisme sebetulnya ada untuk semua orang.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme?