Krisis Usia Dua Puluhan: Tantangan dan Bagaimana Memaknainya
March 7, 2020Kamu Tidak Sendiri
March 7, 2020Makna
Siksaan Emosional
oleh Garvin, M.Psi., Psikolog
Siksaan emosional, atau lebih populer dengan nama emotional abuse dan bisa juga disebut sebagai siksaan psikologis (psychological abuse) atau siksaan mental (mental abuse) – adalah sebuah bentuk siksaan yang bisa dilakukan dalam bentuk verbal, dominasi, isolasi, atau menyebarkan informasi buruk seseorang dengan tujuan untuk menyerang kesejahteraan emosional dan psikologis seseorang. Siksaan emosional umumnya diketahui terjadi pada pasangan, terutama dari laki-laki terhadap perempuan; tetapi siksaan emosional juga bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti dalam pola asuh orangtua, bullying, intimidasi, atau tekanan mental di tempat kerja. Tentu saja, siksaan emosional ini bisa menyebabkan berbagai dampak negatif yang signifikan dalam hidup seseorang.
Siksaan emosional bisa muncul dalam berbagai pola, tetapi ada tiga pola yang umum muncul: (1) agresi, (2) penyangkalan, dan (3) pengerdilan. Ada tindakan yang disengaja untuk menyakiti korban, sehingga disebut sebagai agresi. Agresi yang terjadi bisa secara aktif, dimana pelaku secara langsung mengucapkan sesuatu yang menyakitkan kepada korban. Atau, dalam bentuk agresi pasif di mana pelaku menyangkal keberadaan korban. Contohnya, ketika dengan sengaja menolak untuk mendengar ungkapan korban, menolak untuk berkomunikasi dengan korban, atau bahkan sengaja mengabaikan korban agar korban mendapatkan perasaan tidak nyaman. Bentuk lainnya adalah dengan sengaja meremehkan atau mengkerdilkan hal positif yang sudah dilakukan oleh korban, atau mengkerdilkan hak yang seharusnya bisa korban peroleh.
Dampak Negatif
Siksaan emosional ini bisa menyebabkan trauma psikologis kepada korban, seperti kecemasan, depresi, atau bahkan stres pasca trauma (PTSD). Sebagai contoh, wanita yang pernah mendapatkan siksaan emosional akan lebih merasa kesepian dan putus asa dalam hubungan romantis. Anak yang mendapatkan siksaan emosional dari keluarga juga akan merasakan depresi kronis maupun rasa marah terhadap keluarganya. Bahkan, anak-anak yang mendapatkan siksaan emosional akan jauh lebih mungkin berperilaku negatif di tengah masyarakat sebagai pelampiasan atas pemendaman rasa tertekan dan marahnya.
Siksaan Emosional dalam Hubungan Romantis
Kasus siksaan emosional yang sering muncul ke permukaan adalah siksaan emosional dalam hubungan romantis, baik dalam pacaran maupun pernikahan. Dalam pernikahan, biasanya kita mendengar KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang identik dengan siksaan fisik saja, padahal siksaan emosional juga bisa termasuk ke dalam KDRT.
Dalam masyarakat yang bersifat patriarkis atau yang berpihak pada laki-laki, umumnya kekerasan emosional yang terekspos dilakukan oleh pihak laki-laki kepada perempuan, walaupun sebenarnya kekerasan emosional juga bisa dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki. Ketika pihak perempuan bersikap posesif dan melarang laki-laki untuk melakukan aktivitasnya, misalnya, dengan ancaman-ancaman tertentu yang membuat laki-laki merasa bersalah, itu saja sudah termasuk ke dalam siksaan emosional. Atau ketika laki-laki menuntut perempuan untuk serba bisa dan serba memenuhi kemauan laki-laki, dengan ancaman bahwa perempuan yang tidak bisa memenuhi keinginan prianya adalah perempuan yang gagal, maka termasuk ke dalam siksaan emosional juga jika perempuan itu merasa tertekan dengan tuntutan-tuntutan tersebut.
Siksaan emosional dalam hubungan romantis sangatlah manipulatif. Kita dibuat seolah bersalah, untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipersalahkan kepada kita.
Siksaan emosional ini bisa menyebabkan trauma psikologis kepada korban, seperti kecemasan, depresi, atau bahkan stres pasca trauma (PTSD) ~ Garvin Share on XSiksaan Emosional dalam Pola Asuh
Indonesia, selayaknya budaya-budaya lainnya di Asia, sangat menghargai dan menjunjung tinggi orangtua. Kontras dengan masyarakat barat di mana orangtua lebih membebaskan anak terhadap pilihan hidupnya, orangtua di kawasan Timur biasanya sudah menentukan pilihan-pilihan hidup untuk anaknya. Mulai dari jurusan kuliah, pekerjaan, sampai dengan jodoh.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena toh maksud dan niat orangtua pastilah baik. Namun kadang kala orangtua melakukan hal tersebut tanpa memperhatikan kebutuhan dari sang anak. Misalnya, memaksakan anak untuk mengambil jurusan kuliah tertentu yang sebenarnya di luar bakat dan minat anak. Otomatis anak akan kuliah dengan setengah hati. Namun orangtua tidak memahami hal tersebut dan memaksa anak untuk berprestasi, bahkan dimarahi jika tidak berhasil memenuhi ekspektasi orangtuanya. Anak pun menjadi tertekan. Itu sudah bisa termasuk siksaan emosional.
Atau tidak perlu jauh-jauh, berapa kali kita melihat orang tua mengancam anak untuk menuruti keinginan orangtua di depan umum? Atau berapa kali kita melihat kasus anak yang mengalami trauma mental karena orangtua terlalu memaksakan kehendaknya? Tuntutan berprestasi untuk semua bidang, tuntutan juara kelas, tuntutan ini itu, semata-mata agar orangtua bisa membanggakan anaknya di depan orangtua lain.
Siksaan Emosional dalam Dunia Pendidikan
Mungkinkah siksaan emosional terjadi di sekolah, universitas, atau institusi pendidikan lainnya? Sangat mungkin! Biasanya siksaan emosional di institusi pendidikan terjadi dalam bentuk bullying atau perundungan, ketika sekelompok siswa yang merasa lebih kuat akan menindas dan mengintimidasi siswa yang dianggap tidak akan berani melakukan perlawanan. Motif dari perundungan ini bermacam-macam, ada yang melakukannya untuk menunjukkan superioritasnya atas siswa lain, ada yang bermotif ekonomi (memalak atau meminta paksa uang jajan siswa lain), atau memaksa siswa lain untuk mengerjakan pekerjaannya. Tentu saja, korban perundungan akan merasakan tekanan secara emosional. Lebih buruknya lagi, kadangkala pihak yang berwenang seperti guru menganggap perundungan ini sebagai “hanya main-main” atau “hanya bercanda”, seperti kasus yang pernah terjadi belakangan ini di sebuah sekolah di Malang.
Siksaan emosional di dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi dalam bentuk penindasan. Sekelompok siswa atau mahasiswa yang mengisolasi atau mengucilkan siswa maupun mahasiswa tertentu juga tergolong ke dalam siksaan emosional. Siswa yang merasa terkucilkan akan mengalami perasaan rendah diri yang jika dibiarkan bisa berujung kepada permasalahan psikologis lainnya. Tentu, isu-isu seperti ini harus menjadi perhatian tegas dari pihak yang berwenang seperti guru, konselor sekolah, maupun tenaga pendidik lainnya.
Apakah siksaan emosional hanya terjadi pada antar siswa? Ternyata tidak. Beberapa kali ditemukan laporan dari mahasiswi-mahasiswi yang mendapatkan siksaan emosional dari dosennya yang berjenis kelamin laki-laki (atau dalam konteks sekolah, siswi-siswi yang mendapatkan siksaan emosional dari guru laki-lakinya). Biasanya murid perempuan ini mendapatkan pelecehan secara seksual, baik dalam bentuk verbal ataupun fisik. Jika menolak atau melapor, mereka akan diancam dengan nilai yang jelek atau tidak lulus, sehingga mereka merasa tertekan. Lebih buruknya lagi, banyak perempuan korban pelecehan seksual ini tidak berani melaporkan tindakan yang tidak pantas itu, karena banyaknya stigma sosial yang memandang negatif korban pelecehan seksual.
Jangan pernah takut untuk keluar dari lingkungan yang penuh siksaan (abusive). ~ Garvin Share on XBagaimana Cara Menghadapinya?
Kamu harus keluar dari lingkungan yang menyiksamu! Jika sahabat, pasangan, teman, guru ataupun dosen melakukan siksaan emosional kepada kamu, maka kamu harus bisa bersikap tegas. Katakan kepada pasangan atau sahabat bahwa kamu tidak ingin terlibat dalam hubungan yang tidak sehat seperti ini. Ingat, siksaan emosional adalah pintu gerbang menuju siksaan fisik (physical abuse) jika dibiarkan! Pun demikian kepada guru atau dosen, kamu harus berkata dengan tegas bahwa kamu merasa tidak nyaman dan akan melaporkan kejadian ini sekalipun diancam dengan nilai. Jangan mau ancaman nilai membuat kamu merasa lemah dan pasrah diperlakukan dengan buruk! Jika teman-temanmu menindasmu atau mengintimidasimu, katakan dengan jelas bahwa kamu tidak mau diperlakukan dengan buruk. Lagi-lagi, katakan bahwa kamu tidak akan segan-segan untuk melapor kepada pihak sekolah. Biasanya pelaku perundungan bukanlah siswa yang benar-benar berani, mereka juga akan ragu untuk menindasmu jika melihat kamu bisa melakukan perlawanan.
Jangan pernah takut untuk keluar dari lingkungan yang penuh siksaan (abusive). Jangan khawatir, kamu akan mendapatkan sahabat atau pasangan baru yang lebih sehat atau lingkungan belajar yang lebih kondusif jika kamu berani keluar. Kesehatan mentalmu adalah prioritas. Jangan sampai kamu membiarkan dirimu disiksa secara mental!
Bacaan Lebih Lanjut
Referensi English, D.J., Graham, J.C., Newton, R.R., Lewis, T.L., Thompson, R., Kotch, J.B., & Weisbart, C. (2009). At-risk and maltreated children exposed to intimate partner aggression/violence: What the conflict looks like and its relationship to child outcomes. Child Maltreatment, 14(2), pp.157-171. Follingstad, D.R., Coyne, S., Gambone, L. (2005). A representative measure of psychological aggression and its severity. Violence and Victims, 20(1), pp.25–38. Karakurt, G., & Silver, K.E. (2013). Emotional abuse in intimate relationships: The role of gender and age. Violence and Victims, 28(5), pp.804-821. Loring, MT. (1994) Emotional abuse. New York: Lexington Books. |
Garvin adalah seorang akademisi dan praktisi psikologi yang telah mengenyam pendidikan S1 Psikologi dan S2 Profesi Psikologi (konsentrasi klinis) di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Dalam kesehariannya, ia mengajar di Program Studi Psikologi Universitas Bunda Mulia dan melakukan berbagai penelitian di bidang psikologi. Beberapa proposal penelitiannya pernah memenangkan hibah penelitian dari Dikti. Selain mengajar dan meneliti, Garvin juga aktif mengikuti berbagai konferensi ilmiah baik sebagai peserta maupun pemakalah. Berbagai karya tulis ilmiahnya sudah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah, baik tingkat regional maupun nasional. Selain itu, ia juga kerap diundang untuk menjadi narasumber seminar dalam topik-topik kesehatan mental dan pengembangan diri. Di luar aktivitasnya dalam bidang psikologi, ia juga gemar traveling. Tulisan-tulisannya tentang psikologi tersebar di beberapa media, sedangkan tulisan-tulisannya tentang traveling bisa dibaca di garvingoei.com. Untuk menghubungi Garvin, bisa melalui Instagram @garvingoei atau melalui surel [email protected]
Artikel Terkait
Menjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.Kamu Tidak Sendiri
Wajar saja kalau banyak orang merasa seperti berada di titik terendah saat menjalani sebuah fase hidup. Mereka yang sedang berada di titik terendah juga tak jarang merasa ‘tenggelam’ dalam masalahnya sendiri. Fase kritis tersebut menggambarkan kondisi psikologis yang sedang tidak stabil akibat stres yang sangat tinggi di waktu tertentu.