Identitas dan Permasalahannya
January 30, 2018Musik, Murakami, dan “Ma”
January 30, 2018Makna
Agensi : Kemampuan Berpikir dan Bertindak
Hidup itu penuh dengan pilihan. Rangkaian pilihan dalam kehidupan kita merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mengkristal dalam keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan negara. Apa yang telah diajarkan turun-temurun menentukan pilihan-pilihan yang dianggap wajar ketika kita sedang membuat keputusan, seperti: apa yang saya lakukan untuk menyambung hidup sehari-hari? Apa alasan saya menikah? Bagaimana saya menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar saya?
Kita tenggelam dalam anggapan bahwa kita dibentuk oleh sesuatu yang lebih besar dari kita, yaitu suatu sistem yang disebut struktur sosial. Tidak ada keunikan. Pengalaman setiap manusia disamaratakan. Sejumlah pemikir dalam aliran poststrukturalisme (poststructuralism), seperti Jean Baudrillard dan Michel Foucault, menolak cara berpikir tersebut. Menurut mereka, manusia bukan hanya merupakan produk dari kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang menyamaratakan bentuk kehidupan, pengetahuan, dan kesadaran. Michel Foucault, seorang filsuf dari Prancis, ikut urun rembuk. Ia bilang begini: individu punya kekuasaan untuk menentukan identitasnya, menjadi majikan akan tubuh dan hasratnya, juga memberikan kebebasan bagi dirinya sendiri. Namun, itu semua dibatasi oleh hubungan kita dengan kehidupan sosial. Jadi, kekuasaan yang kita miliki perlu mengandalkan pemikiran yang kritis dan pertimbangan moral. Itulah celah agensi. Dengan kata lain, agensi adalah kapasitas seseorang untuk menentukan aksinya sendiri.
Semua manusia secara alamiah memiliki agensi, kapasitas untuk membuat dan berkomitmen terhadap perubahan. Apalagi, setiap orang dibekali dengan latar belakang sosial dan politik beragam yang membentuk kehidupannya. Demikianlah yang disebutkan Maud Eduards, pakar kajian politik dan gender dari Swedia. Oleh karena itu, semakin banyak hak istimewa yang kita miliki (bisa karena kelas sosial, ekonomi, politik, ras, agama, gender, dan lainnya), pilihannya pun semakin banyak. Kemungkinan besar, agensi bisa terus dilatih, bahkan digunakan dengan lebih mudah. Kabar baiknya, ini berarti kaum marjinal—antara lain perempuan, orang-orang yang dimiskinkan, atau masyarakat adat—juga memiliki agensi. Bahkan, Jean Baudrillard, seorang filsuf dari Prancis, juga menegaskan pentingnya kaum marjinal untuk terus melatih agensi mereka sebagai bentuk kritik terhadap apa-apa yang sudah ajek.
Semua manusia secara alamiah memiliki agensi, kapasitas untuk membuat dan berkomitmen terhadap perubahan. ~ Amalia Puri Share on XKita bisa coba bicara soal agensi perempuan. Dalam pemikiran feminisme Barat, yang sering dianggap progresif, agensi perempuan cenderung diartikan sebagai kapasitas perempuan dalam menyadari pentingnya melawan adat, tradisi, dan hambatan lainnya. Saba Mahmood, seorang antropolog asal Amerika Serikat, mengkritik aliran feminisme itu yang menganggap pengalaman hidup perempuan sebagai satu kesatuan. Seakan-akan semua perempuan ingin menjadi setara dan bebas dari dominasi laki-laki. Bahkan, ketika bicara soal agensi pun, para feminis tersebut kerap terjebak dalam cara berpikir yang dominan.
Saba Mahmood memberikan contoh ciamik. Pada 1970-an, feminis berkulit putih dari kelas menengah mengusulkan agar perempuan tidak terjebak dalam lembaga pernikahan yang sering menjadi sumber masalah kehidupan mereka. Namun, pendapat itu tidak sesuai dengan pengalaman orang suku asli dan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Mereka punya sejarah panjang terkait perbudakan, pembunuhan massal, dan rasisme yang malah memecah dan merusak keluarga dan komunitas mereka. Mahmood membuktikan dalam karya-karyanya bahwa agensi terbentuk secara berbeda-beda berdasarkan kepribadian, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing. Menurutnya, agensi bukan melulu berorientasi pada kekuasaan yang membawa perubahan, tapi juga merujuk pada keinginan untuk hidup yang berkelanjutan, keadaan berimbang, dan stabilitas. Maka itu, agensi erat sekali hubungannya dengan tubuh, diri, dan moral serta lokasi budaya dan situasi politik. Baik dan benar bagi kita belum tentu dirasakan demikian bagi orang lain, walaupun kita merasa ‘progresif.’
Referensi
- Eduards, Maud L. (1994) ‘Women’s agency and Collective Action’ in Women’s Studies International Forum, Vol. 17, No. 213, pp. 181-186.
- Walsh, D.F. (1998) ‘Structure/agency’. In: C. Jenks (ed.) Core sociological dichotomies. London etc.: Sage, 8-33.
- Mahmood, Saba. (2001) ‘Feminist Theory, Embodiment and the Docile Agent: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival’, in Cultural Anthropology 10(2): 202-236.
Bacaan Lanjutan
- Abu Lughod, Lila (2009) ‘Dialects of women’s empowerment: The International Circuitry of the Arab Human Development Report 2005’ in the International Journal of Middle East Studies 41: pp 83–103
- Kabeer, Naila. (2001) `Empowerment from Below: Learning from the Grassroots’, in Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development Thought, London: Verso, pp. 223-263
- Mahmood, Saba. (2005) Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject. United Kingdom: Princeton University Press.
Artikel Terkait
Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
Hidup itu penuh dengan pilihan. Rangkaian pilihan dalam kehidupan kita merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mengkristal dalam keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan negara.