“Kenyamanan” dan Kebebasan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Orang Asing
June 2, 2020Kontribusi Film untuk Pendidikan
June 3, 2020Catatan Pinggir
Refleksi Kritis Penerima Beasiswa
oleh Raisa Lestari Niloperbowo
Pengantar Redaksi:
Sejak remaja, Raisa ingin sekali tinggal di luar negeri. Ia pun berambisi melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri dengan mencari beasiswa. Di Catatan Pinggir ini, Raisa menceritakan pengalaman kuliah di luar negeri yang tidak selalu semanis harapannya.
Arai, tokoh di buku Sang Pemimpi, pernah bilang: “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” Dan sebagaimana petuah Arai, Tuhan benar-benar memeluk mimpi saya. Pada 2017, saya berangkat untuk melanjutkan studi S2 di Korea Selatan dengan beasiswa penuh dari negara. Setelah dua tahun, saya kembali ke Indonesia berbekal status lulusan luar negeri dengan harapan mudah dalam mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. Namun, saya dihadapkan pada kenyataan lain.
Sejak remaja saya selalu memiliki aspirasi untuk tinggal di luar negeri. Bagi saya, tinggal di negara lain memiliki daya tariknya tersendiri. Kesempatan untuk memakai long coat dan boots saat musim dingin, bepergian menggunakan subway, akses terhadap teknologi yang lebih canggih, serta hidup di antara masyarakat yang tertib adalah beberapa contoh daya tarik itu.
Segala sesuatu tentang luar negeri sudah pasti keren dan menyenangkan, begitu persepsi saya dulu, yang sebetulnya cukup dangkal juga bila dipikir-pikir sekarang.
Demi mewujudkan angan-angan tersebut, saya pun mulai menyusun strategi. Saat itu saya berpikir hanya ada dua cara untuk mewujudkan obsesi untuk menikmati salju di luar negeri dengan secangkir cokelat panas: kuliah jurusan Hubungan Internasional (HI), kemudian lulus dan menjadi diplomat, atau melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri dengan mencari beasiswa. Sebuah strategi yang sifatnya foolproof dalam bayangan saya.
Akan tetapi, ekspektasi dan realita, sudah pasti, tak selalu berakhir sama. Belajar ilmu HI ternyata tidak sebatas haha-hihi dalam bahasa Inggris, hafal di luar kepala setiap nama ibu kota negara, dan diterima beasiswa maupun CPNS ternyata tidak semudah daftar rekening Jenius. Pada kenyataannya, saya butuh waktu sampai lima tahun untuk lulus sebagai mahasiswa HI dengan IPK yang biasa saja. Alhasil, prospek untuk bekerja sebagai diplomat dan diterima beasiswa pun sangat gelap.
Selain pada saat itu pemerintah mengadakan moratorium penerimaan CPNS, saya juga ditolak oleh beberapa lembaga pemberi beasiswa. Malas untuk berusaha lebih jauh dan tuntutan memiliki pemasukan yang stabil, akhirnya membuat saya jadi budak korporat yang mengabdikan waktu, jiwa, dan raga bagi kemaslahatan perusahaan selama tiga tahun. Artinya apa? Angan-angan tinggal di luar negeri seketika tertiup angin.
Until I decided it no longer serves my purpose.
Merasa stuck dan tidak berkembang, baik secara karier maupun personal, saya mengevaluasi ulang rencana hidup dengan bertanya apa yang ingin saya capai. Kali ini, saya berpikir untuk kembali bersekolah dengan motivasi berbeda: keyakinan bahwa gelar master akan memberi competitive advantage bagi akselerasi jenjang karier sampai level manajerial.
Tak hanya itu, semenjak mempelajari keberhasilan Korea Selatan dalam mengkapitalisasi budaya populer demi kepentingan negaranya, saya menjadi tertarik untuk menggabungkan ilmu pemasaran dengan politik, salah satunya, dengan mempelajari nation branding, sebuah konsep yang kala itu belum digarap serius oleh pemerintah Indonesia.
Ide tersebut lantas tercantum dalam motivation letter yang saya kirim pada universitas maupun lembaga pemberi beasiswa. Ditambah janji bahwa apa yang saya pelajari akan berguna bagi negara. Terdengar pretentious? Well, saya harus bisa meyakinkan mereka bahwa memberikan kesempatan bersekolah bagi saya tidak akan sia-sia.
Bayangkan, panitia harus memilih segelintir dari puluhan ribu orang dengan jejak rekam prestasi beragam serta pelbagai ide inovatif untuk memajukan bangsa. Faktor keberuntungan dan subjektivitas pewawancara bermain besar dalam hal ini, dan mendapatkan beasiswa tidak semata mengandalkan prestasi, tetapi juga strategi memenangkan persaingan.
Saya sadar bahwa penerima beasiswa tidak berasal dari mereka yang paling pintar, melainkan oleh mereka yang berhasil meyakinkan panitia seleksi. Meyakinkan bahwa menyelesaikan studi adalah prioritas Anda, bahwa Anda akan kembali dan menggunakan ilmu yang didapat untuk mengabdi pada negara. Yang lebih penting lagi: meyakinkan bahwa Anda berbeda dari peserta lainnya. Saya pribadi bahkan harus meyakinkan pewawancara bahwa di usia 26 tahun yang saya inginkan bukanlah menikah, tetapi melanjutkan studi S2.
Berhasil lolos beasiswa negara, diterima di salah satu universitas terpandang di Korea Selatan, dan memeluk erat pengalaman multikultural merupakan ego booster yang mujarab. Terlebih, pujian dan ekspresi kagum seringkali dilontarkan pada saya, baik itu dari keluarga, teman, sampai tetangga.
Ini yang kemudian mendorong saya untuk selalu berusaha tampil ‘sempurna’ sebagai seorang mahasiswa beasiswa. Nilai yang berkualitas, di samping kegiatan luar kampus yang beragam sampai bonus feed Instagram yang menyilaukan mata. Bagaimanapun, saya harus terlihat menjalani hidup yang sesuai dengan ekspektasi orang lain kepada saya, tak peduli jika saya mengalami depresi.
Ada masanya saya merasa lebih baik dibandingkan banyak orang, percaya jika cap lulusan luar negeri akan meningkatkan value hingga berkali lipat. Kecenderungan elitisme ini senantiasa terbawa sampai saatnya kelulusan mendekat dan mesti cari pekerjaan.
Saya sadar bahwa penerima beasiswa tidak berasal dari mereka yang paling pintar, melainkan oleh mereka yang berhasil meyakinkan panitia seleksi. ~ Raisa Lestari Share on XSecara berkala saya selalu meng-update profil LinkedIn, dengan harapan akan ada perusahaan yang tertarik dan menawarkan pekerjaan sebelum saya kembali ke Tanah Air. Realitanya, meski sempat mengikuti proses wawancara, saya belum mendapatkan pekerjaan, bahkan ketika memasuki waktu kepulangan ke Indonesia.
Memang, awalnya saya berusaha untuk mencari pekerjaan di Korea Selatan, berharap perusahaan tempat saya bekerja paruh waktu akan menawarkan kontrak sebagai pegawai tetap dan berkenan mensponsori visa tinggal saya. Ini didasari oleh motivasi untuk tinggal di luar negeri lebih lama dan mengumpulkan pundi-pundi uang lebih banyak. Namun, niatan saya untuk ingkar janji pada negara tidak direstui ibu, dan kita tahu betapa kuatnya petuah sang ibu, bukan?
Kesulitan mencari pekerjaan menampar keras muka saya. Saya merasa gelar yang saya dapat dari kampus luar negeri seperti tidak ada artinya. Everyone has a Master’s degree, I am not special. Sebuah pemikiran, yang jika dilihat ke belakang, memperlihatkan bagaimana sombongnya diri saya.
Hasil melanjutkan studi di luar negeri, dengan beasiswa penuh dari negara, saya kerdilkan menjadi sebatas berapa banyak tawaran kerja yang saya dapat, seberapa tinggi gaji yang ditawarkan, dan seberapa prestisius posisi pekerjaan tersebut. Saya gagal mengamalkan janji yang saya tulis. Saya lupa bahwa mengenyam pendidikan di Indonesia masih menjadi hak istimewa yang tidak didapatkan oleh banyak orang, lebih-lebih lagi kesempatan bersekolah di luar negeri.
Beruntungnya, dua bulan setelah kepulangan saya ke Indonesia, saya mendapatkan pekerjaan di satuan kerja kementerian yang visi dan misinya menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pemasukan devisa utama Indonesia. Melalui posisi saya saat ini, saya dapat menerapkan ilmu serta pengetahuan yang didapatkan dari hasil studi dan juga secara nyata berkontribusi pada usaha menjadikan negara ini lebih baik. Jika ada pelajaran yang saya petik dari proses serta pengalaman sekolah di luar negeri adalah untuk tidak pernah sombong dan merasa lebih baik dari siapapun, karena apa yang saya dapatkan semata-mata tak lebih dari privilese.
Raisa Lestari Niloperbowo adalah seorang jagoan kandang yang terkadang tidak berani mengungkapkan opininya di media sosial dan hanya berani lantang di depan rekan-rekannya. Tertarik dengan isu feminisme, komunikasi politik serta personal branding. Setelah bekerja di sektor swasta, Raisa sekarang berusaha menavigasi karirnya sebagai seorang ASN yang mengurusi promosi pariwisata. Ia menikmati proses 10 langkah skincare setiap malam sambil berharap kulitnya akan tampak sehat dan segar bagai sop buah. Kontak via Instagram @raisalestari atau e-mail: [email protected].
Artikel Terkait
Kontribusi Film untuk Pendidikan
Untuk meratakan kesempatan pendidikan dan memberikan ruang baru bagi para guru dan siswa, Anggun berinisiatif mendirikan Sinedu.id (Sinema Edukasi).Refleksi Kritis Penerima Beasiswa
Sejak remaja, Raisa ingin sekali tinggal di luar negeri. Ia pun berambisi melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri dengan mencari beasiswa. Di Catatan Pinggir ini, Raisa menceritakan pengalaman kuliah di luar negeri yang tidak selalu semanis harapannya.“Kenyamanan” dan Kebebasan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Orang Asing
Pengalaman mengajar Bahasa Indonesia membuat Amalia Puri Handayani dan Marissa Saraswati memikirkan kembali posisi perempuan dan relasi kuasa antara orang asing dengan orang Indonesia dalam pendidikan. Yuk, simak Catatan Pinggir mereka ini.