Dari Bitcoin ke Blockchain
September 16, 2020Kapitalisme di Persimpangan Jalan
September 16, 2020Makna
Mengenai Kesenjangan Inklusi Keuangan Digital
oleh Yani Parasti
Salah satu cara untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara adalah melalui data Produk Domestik Bruto (PDB), atau dikenal dengan Gross Domestic Product (GDP). Menurut Badan Pusat Statistik, PDB dapat digunakan sebagai salah satu indikator kemampuan sumber daya dan ekonomi suatu negara.
Secara umum, PDB menghitung seluruh jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri dalam satu tahun. Cara menghitung PDB sendiri adalah dengan menghitung seluruh kuantitas jumlah barang dan jasa yang dijual dan diproduksi di dalam pasar, lalu mengalikannya dengan harga barang dan jasa pada saat itu.
Penghitungan PDB dapat dibagi berdasarkan harga dasar dan harga konstan. PDB berdasarkan harga dasar akan menghitung nilai barang dan jasa berdasarkan harga yang berlaku setiap tahun. Sedangkan PDB berdasarkan harga konstan akan menghitung nilai barang dan jasa berdasarkan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasarnya.
Sementara itu, barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri bisa dibagi dalam beberapa kategori: seperti konsumsi, investasi, konsumsi barang dan jasa oleh pemerintah, lalu ekspor dan impor. Supaya tidak terjadi penghitungan berulang terhadap PDB, maka harus dipastikan juga bahwa nilai yang diambil adalah nilai akhir dari barang dan jasa, dan bukan barang setengah jadi (atau dikenal juga dengan intermediate goods).
Selain itu, PDB juga dapat digunakan untuk menghitung Produk Nasional Bruto (PNB) yang dapat diperoleh dengan menambahkan PDB dan pendapatan neto dari luar negeri. Secara umum, pendapatan neto menghitung jumlah pendapatan dari faktor produksi dari penduduk Indonesia di luar negeri (baik modal maupun tenaga kerja), dikurangi dengan faktor produksi dari penduduk warga asing yang diterima di Indonesia.
Berdasarkan artikel dari Foreign Policy (2011), PDB ditemukan oleh Simon Kuznets, seorang ekonom pada National Bureau of Economic Research, Amerika Serikat, pada tahun 1937. Ide awal Kuznets adalah menjadikan PDB sebagai metode yang mampu mengukur kesejahteraan ekonomi negara secara keseluruhan. Pada Konferensi Bretton Woods di tahun 1944, yang juga melahirkan institusi finansial internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF), PDB dijadikan parameter untuk mengukur ekonomi dan juga well-being suatu negara. Namun, dalam pidatonya saat menerima penghargaan Nobel di tahun 1971, Kuznets menekankan bahwa PDB hanyalah mengukur output dan tidak bisa dijadikan ukuran dalam melihat well-being.
Di samping itu, Kuznets juga menemukan bahwa terdapat relasi antara PDB dengan tingkat ketimpangan/kesenjangan suatu negara (atau inequality). Perlu digarisbawahi, bahwa pada umumnya ketimpangan dapat dilihat melalui dua perspektif.
Pertama, ketimpangan kesempatan (atau inequality of opportunity). Amartya Sen menyatakan bahwa persamaan kesempatan menggarisbawahi bagaimana individu dapat mencapai kebahagiaan (atau well-being) dan juga memperoleh kesempatan yang sama dengan orang lain untuk mencapai mimpinya.
Perspektif kedua adalah mengenai ketimpangan pendapatan/hasil (atau inequality of outcomes). Perspektif ini cukup bertolak belakang dengan perspektif yang pertama, di mana dalam perspektif ini yang dikedepankan adalah jumlah penghasilan dan kondisi ekonomi.
Ketimpangan pendapatan/hasil juga mengindikasi adanya distribusi barang dan jasa yang tidak merata. Salah satu parameter yang sering digunakan untuk mengukur adanya ketimpangan pendapatan/hasil adalah dengan koefisien Gini. Terlepas dari berbagai keterbatasannya, koefisien Gini masih sering digunakan sebagai parameter untuk ketimpangan pendapatan.
Dalam penelitiannya, Kuznets menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan suatu negara. Di sini, pertumbuhan ekonomi diukur dengan PDB per kapita, sementara ketimpangan dilihat menggunakan koefisien Gini. Melalui penelitiannya, Kuznets mengungkapkan bahwa negara dengan PDB per kapita yang rendah akan mengalami tingkat ketimpangan yang moderat (first stage of development). Selanjutnya, Kuznets mengasumsikan bahwa akan terjadi pergeseran area kerja dari primer ke sekunder, yang ditandai dengan penggunaan mesin dan manufaktur. Kuznets melanjutkan bahwa pekerja di bidang manufaktur akan mengalami peningkatan pendapatan, sehingga terjadi income gap antara individu. Di tahap inilah ketimpangan akan semakin tinggi (second stage of development). Namun, ketika perekonomian negara semakin maju dan baik, PDB per kapita semakin baik, sistem negara juga akan semakin baik. Negara akan mencoba mendorong sistem upah (seperti upah minimum), sehingga ketimpangan akan semakin kecil (final stage of development). Teori Kuznets tersebut juga sering digambarkan dengan kurva “U” terbalik, sebagai bentuk hubungan non-linear.
Hasil tugas akhir saya ternyata sejalan dengan teori Kuznets tersebut.
Dalam tugas akhir, saya menulis mengenai bagaimana inklusi keuangan digital dapat berpengaruh terhadap kesenjangan pendapatan. Saat ini, digitalisasi di berbagai sektor sudah tidak dapat dihindari lagi. Termasuk pada sektor inklusi keuangan.
Berdasarkan pengertian yang diberikan World Bank (2018), inklusi keuangan merupakan suatu kondisi di mana seluruh individu dan sektor bisnis dapat memperoleh akses terhadap finansial secara mudah dan dengan harga terjangkau. Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa inklusi keuangan adalah “bentuk pendalaman layanan keuangan yang ditujukan untuk masyarakat, yang berada di kelompok piramida bawah (kaum menengah bawah)”.
Inklusi keuangan diharapkan dapat menolong masyarakat untuk melakukan kegiatan finansial secara formal. Contohnya seperti menabung secara aman dan juga melakukan transaksi. Lalu, ketika sudah memiliki akses keuangan formal secara memadai, diharapkan masyarakat juga dapat melakukan kegiatan finansial jangka panjang. Misalnya, melakukan pembelian asuransi, melakukan pinjaman atau kredit untuk tujuan bisnis, atau berinvestasi. United Nations Capital Development Fund (UNCDF) mengungkapkan bahwa inklusi keuangan berfungsi penting sebagai enabler terhadap pencapaian Sustainable Development Goals 2030. Inklusi keuangan juga memperoleh atensi dari forum ekonomi internasional, yaitu Group of 20 (G20).
Inklusi keuangan digital mulai mendapatkan atensi saat jumlah kepemilikan teknologi digital mulai meningkat dengan pesat. Data dari World Bank menyebutkan bahwa jumlah pengguna internet di seluruh dunia meningkat secara signifikan dari 1 milyar pengguna di tahun 2005 menjadi 3,2 milyar pengguna di tahun 2015.
Alangkah baiknya bila negara dan stakeholder lainnya tidak hanya mengupayakan peningkatan infrastruktur, tapi peningkatan kapasitas dan literasi finansial juga perlu didorong di seluruh kawasan. ~Yani Parasti Share on XSementara itu, penggunaan telepon genggam telah mencapai 98% di negara maju, dan 80% di negara berkembang. Kemajuan FinTech (atau Financial Technology) juga menjadi salah satu pemicu untuk berkembangnya inovasi teknologi dalam sektor finansial. Data dari McKinsey (2014) menyebutkan bahwa penggunaan FinTech dapat mengurangi beban biaya pada pelayanan sektor keuangan sekitar 80%-90%.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat apakah inklusi keuangan digital dapat memberikan dampak, termasuk pada pertumbuhan ekonomi dan juga ketimpangan, seperti ketimpangan sosial. Namun, pada umumnya penelitian dilakukan pada level single-country, sehingga saya mencoba untuk melihat efek dari inklusi keuangan digital dari level lintas negara.
Dengan menggunakan data dari Global Findex, IMF Financial Access Survey, dan UNU-Wider Inequality Database terhadap 31 negara, saya mencoba melihat efek inklusi keuangan digital (yang diukur dengan mobile and internet payment, kepemilikan kartu kredit, dan kartu debit) terhadap ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan koefisien Gini).
Dengan menggunakan panel data, saya menemukan bahwa inklusi keuangan digital cenderung menurunkan tingkat kesenjangan di negara maju, namun meningkatkan kesenjangan di negara berkembang. Dari hasil tersebut, saya melihat bahwa di negara maju teknologi dan infrastruktur lebih mutakhir dan merata, sehingga akses terhadap pelayanan finansial digital sudah lebih baik. Sementara di negara berkembang, mungkin akses terhadap teknologi belum merata sehingga baru sebagian kelompok yang bisa merasakan keuntungan dari inklusi keuangan digital. Hasil saya ini mungkin sejalan dengan teori Kuznets mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan.
Oleh karena itu, alangkah baiknya bila negara dan stakeholder lainnya terus mengupayakan peningkatan infrastruktur di seluruh kawasan, termasuk juga di pelosok daerah. Tidak hanya infrastruktur, peningkatan kapasitas dan ilmu terhadap produk keuangan (financial literacy) juga perlu didorong. Terlebih saat pandemi seperti saat ini, semakin banyak orang yang tidak bisa bebas bepergian, mungkin juga mengalami pengurangan terhadap penghasilan. Di samping itu, perkembangan FinTech juga perlu didukung supaya semakin banyak orang dan kalangan yang mengetahui keuntungan dari produk keuangan. Tentu saja hal itu untuk meningkatkan kualitas hidup melalui ketahanan finansial, dan juga semakin mengurangi tingkat kesenjangan.
Yani baru saja lulus dari studi master di Korea Development Institute (KDI) School of Public Policy and Management, jurusan Kebijakan Publik. Sebelum berangkat ke Korea, Yani bekerja di salah satu kementerian sebagai tenaga kontrak untuk membantu kegiatan Sherpa Indonesia di pertemuan G20. Yani tertarik dengan isu global dan kebijakan publik, dan mulai mempelajari proses pembuatan kebijakan yang berbasiskan data. Di waktu luang, Yani senang menari tradisional, mendengarkan musik, dan nonton Running Man.
Silakan berkoneksi dengan Yani melalui LinkedIn: www.linkedin.com/in/yaniparasti
Artikel Terkait
Cara Memulai Investasi Hanya 5 Menit
Untuk memulai investasi diperlukan perencanaan yang baik dan jelas. Sebagai salah satu pendiri Investhink Indonesia, Helmi memastikan apa saja yang harus kita pahami dan persiapkan untuk menentukan rencana investasi. Yuk, simak tulisan informatif berikut!Cerita Kelam dibalik Gemerlapnya Konsep Global Supply Chain
Supply chain pada level dunia (global supply chain) telah menghasilkan praktik sweatshop, dimana banyak terjadi pelanggaran ketenagakerjaan. Banyak brand besar dunia terlibat dalam praktik ini.Filantrokapitalisme: Tidak Ada Makan Siang Gratis
Filantrokapitalisme menjadi istilah yang menggambarkan tren filantropi masa kini, dimana pengusaha sebagai para ‘pemenang’ sistem ekonomi kapitalisme neoliberal bukan lagi penyumbang pasif yang ikhlas, tapi sebagai investor yang menginginkan sumbangannya kembali membawa keuntungan.