Cara Memulai Investasi Hanya 5 Menit
September 17, 2020Bagaimana Gay Menubuhi Seksualitasnya?
September 20, 2020KATALIS
Posisi Anak-anak dalam Ilmu Sosial (Kontekstual): Agensi dan Budaya
oleh Yogi Maulana Wahyudin
Pada suatu waktu ketika sedang menjalankan penelitian, saya melihat beberapa anak memiliki ketertarikan lebih pada aktivitas menggambar, menulis, bermain, dan bercerita satu sama lain. Ada satu momen yang tidak bisa terlupakan.
Dua orang anak tampak sangat tertarik ketika saya sedang menyelesaikan gambar sketsa ruangan kelas tempat mereka belajar. Saya menunjukan gambar itu pada mereka. Kemudian, salah satu dari mereka menunjuk pada gambar dan berkata dengan artikulasi yang sangat tidak jelas, “Ini kursi.” Saya mengangguk dan segera merobek dua lembar kertas dari buku gambar tersebut dan membagikannya kepada mereka. Disertai dengan alat menggambar, kami bertiga menggambar bersama-sama dengan suasana yang sunyi. Ketika salah satu anak menyelesaikan gambarnya, dia berusaha menunjukkannya dan seperti mengajukan sebuah pertanyaan, ‘“Apa ini?” Gambarnya tampak seperti sebuah rumah dan meja. Untuk membuat dia lebih tertarik, saya pura-pura tidak tahu. Saya terus menggelengkan kepala, pura-pura tidak tahu bentuk apa yang sedang dia tunjukan dari gambarnya. Sampai akhirnya saya mengerti ternyata dia sedang bercerita sesuatu yang berhubungan dengan kelas, belajar, dan tempat di mana aktivitas menulis dan belajar itu dikerjakan.
Saat itu saya sangat menikmati aktivitas menggambar yang kami lakukan bersama. Tidak hanya menggambar, tetapi saya juga mendapatkan pengalaman berharga bagaimana anak-anak dengan kepolosannya bercerita dan mengajari saya tentang apa yang dia gambar pada saat itu..
***
Cerita itu adalah catatan dari pengalaman saya melakukan penelitian partisipatif bersama anak-anak. Pengalaman tersebut memberi inspirasi bagi proses kreatif saya untuk menemukan jalan keluar dari keadaan buntu yang saya alami saat penelitian di lapangan. Suatu kebuntuan yang disebabkan oleh beberapa kondisi yaitu: Pertama, proses wawancara tidak dapat berjalan dengan optimal karena anak-anak kesulitan menangkap maksud dari setiap pertanyaan yang saya ajukan sekaligus kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide dan perspektifnya. Ini adalah sebuah situasi penelitian yang sangat kompleks. Situasi di mana secara komunikatif saya dan anak-anak tidak terhubungan dengan baik. Hambatan komunikatif mempengaruhi proses pendalaman (in depth) dalam penelitian partisipatif secara nyata. Kedua, proses observasi dan pendalaman tidak dapat berjalan dengan baik karena anak-anak sangat mudah mengubah stimulus eksternal menjadi responnya yang berbentuk ketakutan. Dalam situasi demikian, saya benar-benar kebingungan dan anak-anak ketakutan sehingga saya tidak mendapatkan kepercayaan dan berujung pada terhambatnya proses pendalaman.
Melalui kisah ini saya ingin mengakui bahwa salah satu teknik penting dalam sebuah penelitian, yakni teknik eksplorasi data yang didesain berdasarkan klaim universalitas perkembangan anak, tidak sepenuhnya mampu mengakomodasi kompleksitas dunia anak-anak itu sendiri. Setiap anak-anak berdasarkan kompleksitasnya mengilhami pendekatan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Penting untuk memahami realitas melalui mata anak-anak itu sendiri dan bersama-sama dengan mereka menemukan akses untuk mengeksplorasi pengalamannya secara komprehensif. Dengan kata lain, kisah ini tepat untuk disebut sebagai penelitian ‘bersama’ anak-anak, bukan penelitian ‘terhadap’ anak-anak.
Bagaimana Ilmu Sosial (Modern) Memahami Anak-anak
Pengetahuan tentang masa kanak-kanak yang dominan dalam kebudayaan modern saat ini adalah pengetahuan yang diproduksi oleh cara pandang orang dewasa mengenali anak-anak. Produksi pengetahuan di Indonesia masih menempatkan anak-anak sebagai objeknya. Dunia sosial dikonstruksikan oleh orang-orang dewasa, dan bagaimana anak-anak dikonstruksikan oleh dunia sosial termasuk di dalam proses yang sama. ‘Suara’ anak-anak tidak pernah muncul dalam konstruksi dan rekonstruksi dunia sosial dimana anak-anak itu hidup. Dalam cara pandang ini masyarakat dianalogikan sebagai orang dewasa ‘yang rasional’, kemudian berusaha mengenali anak-anak sebagai yang berbeda, kurang berkembang, dan membutuhkan penjelasan. Chris Jenks (1996) bahkan mampu memetakan paradigma ilmu sosial dalam memahami anak-anak. Salah satu yang berhasil diidentifikasinya adalah persepsi yang menganalogikan ‘anak-anak sebagai orang-orang liar’. Persepsi ilmu pengetahuan yang semacam ini tentu tidak mungkin terlahir dalam sebuah kekosongan sosial dan relasi kekuasaan di dalamnya. Melainkan tumbuh dalam kekeliruan paradigmatis ilmu sosial dalam memahami anak-anak.
Secara reflektif, Jenks mengajak para ilmuwan sosial untuk melihat kembali bagaimana persepsi ilmu pengetahuan yang digunakan selama ini untuk memahami anak-anak telah sangat mendehumanisasi anak-anak itu sendiri. Lebih jauh, anak-anak dan masa kanak-kanaknya telah terjerembab menjadi objek pasif yang dengan sangat mudah digambarkan sebagai karikatur oleh pengetahuan yang bias moralitas kedewasaan.
Dua teori besar yang paling dominan dalam disiplin ilmu sosial untuk memahami anak-anak dan juga menjadi bagian dari kekeliruan paradigmatis sebagaimana diuraikan oleh Jenks adalah teori sosialisasi dan psikologi perkembangan. Kedua teori besar ini berangkat dengan asumsi dasar dimana masa kanak-kanak sebagian besar dipahami dalam hal perkembangan biologis dan kognitif melalui konsep ‘pematangan’ (maturation). Implikasi serius dari kekeliruan tersebut adalah miskonsepsi/manipulasi sepihak dan upaya sistematis menutupi pengalaman sosial dan konteks kultural masa kanak-kanak yang sangat otentik dan spesifik.
Allison James, Chris Jenks, dan Alan Prout mengatakan bahwa anak-anak bukan hanya subjek pasif dari struktur dan proses sosial. Anak-anak harus dan memang seharusnya dilihat sebagai agen aktif dalam konstruksi dan penentuan kehidupan sosialnya sendiri, kehidupan sosial orang-orang di sekitar mereka, dan dunia sosial dimana mereka hidup. Saat anak-anak dilihat sebagai agen aktif dari struktur dan proses sosial dalam kehidupannya sendiri, di titik itulah dunia sosial dituntut oleh pengetahuan yang reflektif untuk mengakui bahwa anak-anak memiliki sejarah dan anak-anak juga memiliki kemampuan reflektif atas perjalanan sejarah kehidupannya yang sangat spesifik dan kontekstual.
Sesuai argumen Paul Antze dan Michael Lambeck, memori atau ingatan adalah sebuah diskursus identitas yang melayani konstruksi dan rekonstruksi diri dalam proses sosial yang panjang. Celakanya dalam konteks anak-anak, karena mereka belum menghabiskan waktu hidup yang cukup panjang dan belum menemukan benturan-benturan sosial dalam perjalanan kehidupannya, mereka kerap dipersepsikan tidak memiliki sejarah dan tidak memiliki kemampuan reflektif atas sejarah kehidupannya sendiri. Pengetahuan-pengetahuan dominan dalam dunia modern lebih memposisikan anak-anak dalam klaim universalitas perkembangan biologisnya saja. Hal yang terlupakan adalah bahwa anak-anak tumbuh dalam konteks budaya serta struktur nilai masyarakat tertentu yang sangat spesifik. Kompleksitasnya harus diakomodasi dalam setiap produksi pengetahuan. Alih-alih mereduksi otentisitas anak-anak berdasarkan budaya dan struktur masyarakatnya, penelitian kemasyarakatan dan budaya di Indonesia seharusnya mampu mengedepankan produksi pengetahuan yang kontekstual bersama dengan kompleksitas anak-anak itu sendiri. Kompleksitas yang terbentuk dalam proses sosial dan hibridisasi budaya tertentu dimana anak-anak itu hidup.
Paparan ini secara khusus berusaha untuk mendiskusikan kembali posisi anak-anak dalam produksi pengetahuan di Indonesia. Dimulai dengan mengurai hubungan antara konsep ‘anak-anak sebagai subjek partisipasi’ dan ‘anak-anak sebagai aktor sosial’. Gagasan ini sering kali disamakan, digunakan dalam satu tarikan nafas, dan ini benar-benar mengaburkan perdebatan tentang partisipasi anak. Oleh karena itu, kita harus memahami agensi anak-anak melalui pengamatan empiris kapasitas anak yang berkembang. Kapasitas anak untuk mempengaruhi dinamika sosial, seperti proses partisipasi, adalah non-linear, spesifik konteks dan terikat pada refleksivitas individu. Karena itu, agensi anak perlu dipahami dalam sifat tindakan kumulatif dan rekursif.
Dengan kata lain, konteks kultural dan kehendak diri dalam potensinya menjadi penentu kompleksitas dunia anak-anak. Maka sudah saatnya anak-anak menjadi subjek bagi proses produksi pengetahuan tentang anak-anak itu sendiri, dan tentang proses-proses sosial dimana anak-anak itu hidup (world-child), termasuk bagaimana proses-proses produksi pengetahuan seharusnya bergerak untuk melibatkan ‘suara’ anak-anak dalam konteks budaya dan agensi anak-anak.
Dari Penelitian ‘terhadap’ Anak-anak Menjadi Penelitian ‘bersama’ Anak-anak
Keterlibatan anak-anak dalam penelitian telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir, didorong oleh perubahan dalam undang-undang dan pengakuan yang lebih besar tentang hak anak untuk ‘didengar’ mengenai masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Sebuah langkah untuk meneliti ‘bersama’ daripada ‘terhadap’ anak-anak telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dengan penekanan pada penjelajahan dunia anak-anak melalui mata mereka sendiri daripada melalui mata orang-orang dewasa di sekitarnya.
Dalam disiplin sosiologi misalnya kita mengenal konsep anak-anak sebagai tools of analysis atau alat analisa bersama dengan konsep-konsep lain seperti gender, status, dan kelas. Sebuah konsep untuk melihat bagaimana dinamika sosial dapat dijelaskan secara berbeda terkait dengan siapa yang terlibat di dalamnya. Keterlibatan individu itulah yang kerap kali dilihat dalam berbagai konsep seperti gender, status, kelas, dan termasuk konsep usia.
Penelitian ‘bersama’ anak-anak artinya tidak hanya melihat bagaimana suatu fenomena terjadi dan berimplikasi terhadap anak-anak, tetapi lebih fokus pada bagaimana suatu peristiwa dapat dijelaskan dalam narasi anak-anak. ~Yogi Maulana Share on XAkan tetapi, anak-anak sebagai individu yang memiliki kesadaran insani dan potensi serta kapasitasnya dalam mempengaruhi dinamika sosial selalu terdomestikasi dalam stereotip keluarga, ataupun sekolahan. Sehingga penyelidikan-penyelidikan empiris tentang masa kanak-kanak dalam topik lain seperti, pekerjaan, kesehatan, politik, pertanian, sejarah perang, krisis ekonomi, bahkan pandemi seperti hari ini jarang melibatkan ‘suara’ anak-anak dalam produksi data sosiologis yang kontekstual. Penelitian ‘bersama’ anak-anak artinya tidak hanya melihat bagaimana suatu fenomena terjadi dan berimplikasi terhadap anak-anak, tetapi lebih fokus pada bagaimana suatu peristiwa dapat dijelaskan dalam narasi anak-anak. Dalam konteks historiografi misalnya, penulisan sejarah perang selalu berpusat pada aktor perang atau elit kepentingan suatu konflik yang tentu saja dalam narasi orang dewasa. Dalam paradigma baru studi masa kanak-kanak pusat narasi adalah anak-anak, misalnya bagaimana jika peristiwa perang dinarasikan oleh anak-anak, atau bagaimana jika situasi sosial saat pandemi dimaknai dan dinarasikan oleh anak-anak melalui mata anak-anak itu sendiri bukan oleh mata orang-orang dewasa di sekitarnya.
Pergerakan paradigma semacam ini bukan sama sekali suatu hal yang baru dalam ilmu sosial arus utama (mainstream), terutama berkaitan dengan bagaimana sosiologi masa kanak-kanak menemukan kesenjangan-kesenjangan yang vital. Celah kesenjangan antara teori-teori Barat yang kerap kali digunakan sebagai kerangka berpikir dengan kompleksitas anak-anak yang sangat spesifik, ditambah keunikan ‘dunia selatan’ (Global South), dan keragaman situasi kultural di mana mereka hidup. Suatu fenomena yang logis apabila terdapat gerakan ilmu pengetahuan yang meragukan relevansi dari teori-teori dengan klaim universalitas yang cenderung memaksakan realitas masa kanak-kanak yang sangat spesifik sesuai konteks kultural dan struktur sosial di mana anak-anak itu hidup. Sudah sepatutnya setiap proses produksi pengetahuan melihat kesenjangan ini, perbedaan yang tidak hanya tumbuh dalam latar biologis, tetapi juga berkembang menjadi lebih kompleks karena setiap anak memiliki latar budaya, latar sosial, latar ekonomi, dan latar politik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Isu kontekstualitas dalam diskursus metodologi harus dipikirkan ulang. Terbukti, dalam perkembangannya terjadi perubahan-perubahan penting yang bersifat paradigmatis berkaitan dengan bagaimana seharusnya sebuah metode penelitian bekerja secara tepat dalam keseluruhan sistem produksi pengetahuan. Bekerja secara tetap artinya mampu digunakan dengan baik, terhindar dari situasi apriori yang mengasumsikan anak-anak secara universal dan menegasikan kondisi spesifik baik secara kognisi, afeksi, maupun konasi.
Anak-anak hidup berdampingan dengan budaya, struktur nilai, dan proses sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dan mempengaruhi kondisi spesifiknya. Melihat anak-anak berdasarkan konteksnya yang spesial dan spesifik merupakan suatu premis yang mempertanyakan sekaligus mendekonstruksi universalitas perkembangan anak. Tidak hanya mempertanyakan relevansi penelitian-penelitian yang berpijak pada asumsi universalistik tentang anak-anak. Akan tetapi, mampu mendesak untuk memikirkan kembali desain-desain teknis dari keseluruhan proses produksi pengetahuan yang tidak relevan dengan situasi berbeda di mana anak-anak itu hidup, seperti konteks sosial dan budaya seperti apa yang tumbuh bersama dengan mereka, serta latar politik dan ekonomi seperti apa yang menyertainya tumbuh.
Bacaan Lebih Lanjut
- Antze, P., & Lambeck (eds) (1996). Tense Past: Cultural Essays in Trauma and Memory. London: Routledge.
- Cree, V., Kay, H., and Tisdall, K. (2002). ‘Research with children: sharing the dilemmas’. Child & Family Social Work 7: 47–56.
- Darbyshire, P., MacDougall, C. and Schiller, W. (2005). ‘Multiple methods in qualitative research with children: more insight or just more?’. Qualitative Research 5(4): 417–36.
- Fargas-Malet, M., McSherry, D., Larkin, E., & Robinson, C. (2010). ‘Research with Children: Methodological Issues and Innovative Techniques’. Journal of Early Childhood Research, 8(2), 175–192. doi:10.1177/1476718×0934541.
- Faulkner, J. (2016). Young and Free: [Post]colonial Ontologies of Childhood, Memory and History in Australia. London: Rowman and Littlefield.
- Greene, S. & Hill, M. (2005). Researching children’s experiences: methods and methodological issues. dalam: Greene S and Hogan D (eds) Researching Children’s Experience. London: SAGE, pp. 1–21.
- Hill, M. (2006) ‘Children’s voices on ways of having a voice: children’s and young people’s perspectives on methods used in research and consultation’. Childhood 13(1): 69–89.
- James, A. (2005). Life Times: Children’s Perspectives on Age, Agency and Memory across the Life Course. Edited by Jens Qvortrup. Studies in Modern Children: Society, Agency, Culture. New York: Palgrave Macmillan.
- James, A., Jenks, C. and Prout, A. (1998) Theorizing Childhood. Cambridge: Polity.
- Jenks, C. (1996). Childhood. London: Routledge.
Yogi Maulana Wahyudin saat ini masih berusaha menyelesaikan revisi skripsi dengan harapan bisa yudisium sebelum bulan November dan lulus dari Sosiologi UGM. Setalah sebelumnya sibuk dengan penelitian pada anak-anak Tuli di Pesantren Abata sebagai topik skripsi, kali ini saya masih akan bersentuhan dengan dunia anak-anak terutama dalam kerja-kerja etnografis untuk mencatat dan merefleksikan pengalaman visual anak-anak di dunia digital. Selain rebahan, saya juga hobi baca buku-buku sastra anak, dan nonton film-film dengan tokoh utama anak-anak. Selain tertarik dengan dunia anak-anak, saya juga tertarik dengan dunia Tuli, dan dunia mistis/dunia lain.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini
Artikel Terkait
Sistem Demokrasi yang tidak Demokratis: Pelajaran dari Politik Duopoli Amerika Serikat
Baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, keduanya sebenarnya memperlihatkan bahwa politik merupakan kendaraan para pemodal untuk memuluskan akumulasi kekayaan mereka melalui lobi proses pengambilan kebijakan.Vasektomi, Otonomi Tubuh Laki-laki, dan Pemberontakan Maskulinitas
Keputusan melakukan vasektomi mendobrak anggapan bahwa KB merupakan proses pendisiplinan tubuh laki-laki yang dianggap hanya valid untuk melakukan peran non-reproduksi dan kerja yang dikategorisasikan produktif.Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
Hewan juga mempunyai kesadaran, bahasa, dan budaya. Ini menantang kepongahan manusia yang selama ini digambarkan sebagai satu-satunya makhluk paling agung dan berkuasa di muka bumi.