Menjadi Ayah dan Hidup Seperti Seharusnya
September 15, 2018Normalisasi Reproduksi dan Dampaknya terhadap Pembangunan
September 15, 2018Makna
Pernikahan dan Kekerabatan sebagai Transaksi
Pernikahan seringkali diidentikkan dengan kesakralan yang didasarkan pada romantisme. Seakan-akan ada sebuah dorongan intuitif manusia yang ingin ada dalam ikatan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Setidaknya itu yang bisa ditemukan pada film-film drama, lagu-lagu cinta, tren pesta pernikahan seperti bridal shower, pertunangan, foto pre-wedding, paket bulan madu dan lain-lain. Individu yang menikah kemudian akan membangun sebuah keluarga baru berdasarkan konsep “darah lebih kental daripada air.”
Keluarga yang sah secara hukum maupun agama lalu menjadi sebuah komunitas terkecil dalam masyarakat yang dibangun atas dasar cinta kasih. Penekanan akan pentingnya peran keluarga sebagai “madrasah pertama” yang kelak akan menghasilkan generasi unggul digunakan untuk membedakan manusia dari hewan perihal kawin dan menghasilkan keturunan.
Setidaknya hal ini dijelaskan pada UU Perkawinan 1974 yang mendefinisikan perkawinan sebagai kesepakatan yang mulia dengan basis perasaan, cita-cita ideal, dan agama. Dalam pengertian hukum yang berlaku di Indonesia, pasangan yang menikah “diwajibkan” untuk membangun rumah tangga dengan dasar cinta, hormat, dan kesetiaan. UU Perkawinan juga mengatur peran tiap anggota keluarga dengan kewajiban peran kepala keluarga pada suami dan mengurus rumah tangga diserahkan kepada istri.
Menurut antropolog William A. Haviland, sebagaimana bentuk-bentuk relasi lain yang dikenal di masyarakat, meski dengan pola yang beragam, pernikahan merupakan sebuah transaksi atau kerjasama ekonomi antara laki-laki dan perempuan, seperti halnya jual beli. Ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan alat tukar berupa mahar (dowry) di banyak kebudayaan. Dalam sistem masyarakat yang patriarkis, mahar merupakan “mata uang” yang diserahkan kepada pihak perempuan yang ingin dinikahi. Nilai mahar harus setara dengan nilai ekonomi berdasarkan kualitas tertentu seperti tingkat pendidikan atau asal keluarga. Semakin tinggi dan penting posisi calon pengantin dalam masyarakat, semakin besar nilai ekonominya. Pihak yang menyerahkan mahar kemudian dapat memiliki perempuan yang keluarganya telah menerima mahar tersebut. Pada saat akad atau perjanjian pertukaran dilaksanakan, umumnya pihak yang membuat perjanjian adalah calon suami dan ayah dari calon istri.
Karena itu, dalam ilmu sosial, pernikahan dan kekerabatan (kinship) merupakan sebuah ‘institusi.’ Maksudnya, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang diatur oleh negara. Menurut antropolog Inggris, Edmund R. Leach, definisi pernikahan di antaranya berkaitan dengan status hukum orang tua terhadap anak, monopoli atas seksualitas, hak atas jasa, spesifik untuk istri ini termasuk jasa pekerjaan domestiknya, hak atas properti milik pasangan, persekutuan kepemilikan untuk kepentingan anak-anak, serta pertalian keturunan (affinity).
Pernikahan dan kekerabatan sebetulnya tidak lepas dari kontrak ekonomi dan politik yang dipengaruhi oleh pola masyarakat pada waktu dan ruang tertentu. ~ Rima Febriani Share on XKarena dasar pernikahan tergantung pada norma yang berlaku pada masyarakat, maka pernikahan sebaiknya tidak didefinisikan dengan sempit. Pola pernikahan dan kesepakatan antar pihak dapat berlaku di sebuah kelompok namun dianggap tabu di kelompok lain. Meski demikian, secara umum pernikahan merupakan kontrak yang meliputi sistem ekonomi, kepemilikan atas properti (baik harta maupun manusia), serta pembagian kerja. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya. Secara politis, melangsungkan pernikahan berarti melegalkan sebuah ikatan yang kemudian memberikan hak dan kewajiban serta status yang diakui oleh negara.
Pernikahan juga mengatur kegiatan seksual dan reproduksi yang secara administratif akan mengatur hak dan kewajiban keturunan yang lahir dari ikatan tersebut. Michel Foucault memaknai pernikahan sebagai lembaga yang mengatur fungsi reproduksi di luar relasi seksual. Pasangan yang diketahui berada dalam status pernikahan yang legal “diawasi” oleh publik, termasuk perihal kegiatan seksual. Pasangan dilarang mencari kebutuhan seksual selain dari suami atau istrinya. Kesetiaan (fidelity) adalah hasil dari ketaatan kepada hukum ketimbang penghormatan terhadap pernikahan itu sendiri sebab kesetiaan merupakan bagian dari perjanjian yang sifatnya mengikat. Seiring perkembangan zaman, pernikahan kemudian tidak lagi menjadi semata kebutuhan tetapi juga keinginan pribadi. Hal ini membuat posisi suami dan isteri, menurut Foucault, bisa setara. Meski demikian, Stephanie Coontz tetap melihat ketimpangan posisi ini, terutama pada posisi perempuan yang sebelumnya menjadi milik ayahnya beralih ke suaminya.
Kritik-kritik terhadap institusi pernikahan hampir selalu berpusat pada ketidaksetaraan posisi dalam keluarga. Posisi tidak hanya ditentukan gender dan usia, tetapi juga relasi kuasa ekonomi dan politik, termasuk yang terjadi pada akibat imperialisme. Bangsa-bangsa yang mengalami babak kolonialisme dalam sejarahnya juga melahirkan bentuk kekerabatan baru antar bangsa. Pada masa kolonialisme Belanda, di Hindia Belanda dikenal sebuah sistem bernama pergundikan. Cerita pergundikan paling ternama tentu saja Nyai Ontosoroh dalam roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Laki-laki Belanda yang tinggal di Hindia Belanda mengambil perempuan pribumi untuk dijadikan nyai atau teman hidup yang tinggal bersamanya tanpa ikatan pernikahan yang sah. Dari relasi ini kemudian lahirlah keturunan Eurasia yang dikenal dengan sebutan Indo. Tineke Hellwig mengatakan bahwa praktik ini didasarkan pada pemenuhan kebutuhan nafsu para laki-laki Belanda. Soal perlakuan terhadap para nyai bisa beragam, tergantung kesepakatan, namun tidak ada perjanjian yang sah secara hukum seringkali menyulitkan hak para nyai atas anak-anak mereka yang menyandang nama belakang Belanda. Posisi kolonial yang superior memuluskan praktik ini sehingga bahkan seorang perempuan yang telah bersuami bisa diambil paksa dari pernikahannya untuk dijadikan gundik.
Praktik pernikahan ganda tentu saja tidak hanya terjadi dalam lingkup kolonialisme. Praktik beberapa ikatan yang dilakukan oleh satu pihak juga ditemukan dalam beberapa agama dan masyarakat. Konsep ini dikenal dengan nama poligami dengan praktik poligini (pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan) yang paling banyak dilakukan dan poliandri (pernikahan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki). Poligami kemudian lebih dikenal dengan pengertian poligini dan mengundang perdebatan dalam masyarakat yang patriarkis.
Di Indonesia modern, Kartini pernah mengutarakan kegelisahannya terhadap konsep ini (selain pada pernikahan itu sendiri yang menurutnya tidak adil pada kaum perempuan) yang didasarkan pada pengalamannya sendiri sebagai anak yang lahir dari praktik poligami yang banyak ditemukan pada kaum bangsawan Jawa yang sangat hierarkis dan akhirnya dialaminya sendiri ketika menjadi isteri keempat Bupati Rembang.
Dari catatan Susan Blackburn atas Kongres Perempuan Indonesia Pertama tahun 1928 di Yogyakarta yang menjadi cikal bakal Hari Ibu, perihal ketidaksetaraan perjanjian dan posisi perempuan dalam sebuah perkawinan telah dibahas, misalnya pada pidato RA Soedirman dari Poetri Boedi Sedjati yang berjudul “Pergerakan Kaoem Istri, Perkawinan dan Pertjeraian”. Kongres yang dihadiri oleh perwakilan berbagai perkumpulan yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa juga membahas perkara talak, peran isteri dalam rumah tangga dan pergerakan, serta pernikahan anak. Setelah Indonesia merdeka, konsep pernikahan yang ideal berubah seiring dengan perkembangan politik pada masa itu.
Saskia E. Wieringa mencatat pada masa awal kemerdekaan gerakan politik perempuan Gerwani memperjuangkan monogami untuk diatur dalam undang-undang dan gerakan perempuan Islam juga bergerak di akar rumput untuk mengedukasi pernikahan yang Islami. Gerwani dan perempuan-perempuan aktivis selama tahun 1950an membayangkan keluarga sosialis yang ideal di mana isteri dan/atau ibu selain bertanggung jawab domestik juga berkontribusi pada masyarakat. Di era Demokrasi Terpimpin, UU Perkawinan dibahas di parlemen yang mengatur monogami, kehidupan keluarga, dan pembagian kerja rumah tangga. Di masa Orde Baru, keluarga yang ideal kemudian diinstitusionalisasi melalui Program Keluarga Berencana serta larangan praktik poligami bagi PNS dan ABRI.
Demikianlah, pernikahan dan kekerabatan sebetulnya tidak lepas dari kontrak ekonomi dan politik yang dipengaruhi oleh pola masyarakat pada waktu dan ruang tertentu. Rumah tangga juga tidak sepenuhnya merupakan wilayah privat karena ia kemudian menjadi bagian dari publik dan negara yang berkontribusi pada status kekuatan hukumnya yang sah. Romantisme pernikahan dan kekerabatan tetap didorong melalui berbagai cara dengan tujuan untuk melanggengkan institusi pernikahan yang ideal dan stabil yang berperan pada masyarakat yang dicita-citakan.
Referensi
- Baay, R. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (trans.). Depok: Komunitas Bambu.
- Blackburn, S. (2008). The first Indonesian Women’s Congress of 1928, Melbourne: Monash University Press.
- Coontz, S. (2005). Marriage, a History: How Love Conquered Marriage. USA: Penguin Books.
- Foucault, M. (1990). The History of Sexuality Vol. 2: The Use of Pleasure, R. Hurley (trans.). New York: Vintage Books.
- Haviland, W.A. (1999). Cultural Anthropology. Ninth Edition. New York: Harcourt Brace College Publishers.
- Hellwig, T. (2008). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (trans.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Leach, E. R. (1971). “Polyandry, Inheritance and The Definition of marriage: With Particular Reference to Sinhalese Customary Law”, Rethinking Anthropology, New York: Humanities Press, 105-113.
- Stoler, A. L. (2010) Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. Berkeley: University of California Press.
- Wieringa, S.E. (2002). Sexual Politics in Indonesia. The Hague: Institute of Social Studies.
Bacaan Lanjutan
- Koning, J., Nolten, M., Rodenburg, J., & Saptari, R. (2013). Women and households in Indonesia: cultural notions and social practices. Routledge.
- Stoler, A. L. (2010). Carnal knowledge and imperial power: Race and the intimate in colonial rule. Univ of California Press.
- Lévi-Strauss, C. (1969). The elementary structures of kinship. Transl. from the French by James Harle Bell, John Richard von Sturmer and Rodney Needham, ed. Eyre & Spottiswoode.
- Nancy, C. (2000). Public Vows: A History of Marriage and the Nation.