Nenek moyangku adalah masyarakat tangguh: Kearifan Lokal dalam adaptasi perubahan iklim
March 18, 2021Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
March 18, 2021Makna
Di Balik Kontroversi Pengembangan Wisata Superpremium
oleh Gregorius Afioma
Pada bulan Oktober 2020, foto komodo berhadapan dengan truk di Pulau Rinca—salah satu pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)—menyita perhatian banyak orang. Pasalnya, pembangunan geopark di habitat alami satwa langka itu menandai pertama kalinya muncul kendaraan berat seperti truk dan eskavator di dalam habitat alami komodo yang dijaga ketat dan dibiarkan alami selama bertahun-tahun. Berbagai pihak dan media serentak mengkritisi cara pemerintah mengembangkan pariwisata berbasis konservasi yang bisa mengancam kepunahan satwa liar itu.
Kontroversi itu sebenarnya secuil potret dari konflik dalam pengembangan pariwisata berbasis alam superpremium (lebih eksklusif dengan harga yang mahal dan batasan kuota) di Labuan Bajo, ibu kota kabupaten Manggarai Barat, NTT. Sejak tahun 2014, Labuan Bajo digadang menjadi destinasi superpremium karena keberadaan satwa purba, varanus komodoensis. Dalam rangka itu, pemerintah gencar membangun infrastruktur, meningkatkan investasi, dan mempermudah regulasi serta birokrasi melalui pembentukan Badan Otorita Pariwisata-Labuan Bajo Flores (BOPLBF). Semua rencana itu tidak hanya berlangsung di dalam kawasan inti konservasi, Taman Nasional Komodo yang seluas 173 ribu hektar, tetapi juga di sekitar kota Labuan Bajo, sebagai zona penyanggah.
Persoalannya, walau menjanjikan kemajuan bagi masyarakat dan peningkatan usaha konservasi, konflik dan perlawanan terhadap rencana ini justru semakin bermunculan dan semakin panas. Penolakan dan protes yang ada di antaranya adalah terhadap pembentukan BOPLBF, privatisasi kawasan TNK, privatisasi pantai publik, dan masalah tanah di sekitaran kota Labuan Bajo. Sebagian besar protes itu dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan TNK, pelaku wisata, LSM, pegiat lingkungan, dan aktivis setempat.
Pertanyaannya, mengapa pengembangan pariwisata superpremium selalu ditentang, ditolak, dan menimbulkan kontroversi? Penentangan bahkan datang dari pihak yang diklaim sebagai penerima manfaat seperti masyarakat dalam kawasan konservasi dan pelaku wisata. Di sini, saya akan coba uraikan tiga alasan pokok di balik protes tersebut. Alasan-alasan ini antara lain menyangkut persoalan ekologis dan branding wisata alam, ruang hidup masyarakat, dan ketimpangan akses terhadap sumber daya wisata.
Branding wisata alam dan Ancaman Ekologis
Sudah lama dikenal karena keberadaan satwa liar and keeksotisan alamnya (baik daratan maupun lautan) membuat pelaku wisata dan orang lokal memahami bahwa daya tarik pariwisata di bagian Barat pulau Flores tersebut tidak lain adalah karena alam dan satwa liarnya. Keberadaan komodo hanyalah sebagian dari daya tarik itu. Sementara, daya tarik lain yang sedang berkembang adalah keberadaan pulau-pulau kecil, wisata diving, snorkeling, dan lanskap indah pulau-pulau kecilnya.
Akan tetapi, perkembangan itu bukan tanpa masalah. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya kunjungan, ancaman terhadap lingkungan pun semakin tinggi. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kunjungan meningkat dari sekitar 90 ribu kunjungan pada tahun 2015 menjadi sekitar 221 ribu di tahun 2019. Beberapa kasus yang sering muncul antara lain seputar masalah kerusakan terumbu karang, sampah, kebakaran kawasan konservasi, dan membludaknya kunjungan ke dalam area konservasi.
Di tingkat pelaku wisata, penduduk dalam kawasan, dan otoritas Balai Taman Nasional Komodo, masalah seperti ini sudah sering didiskusikan. Mereka peduli dengan keberlanjutan alam. Menariknya, gagasan solusinya pun sudah perlahan-lahan muncul ke permukaan. Di antaranya adalah upaya carrying capacity. Carrying capacity adalah pembatasan atau pengaturan akses ke suatu destinasi. Sayangnya, entah mengapa, solusi-solusi organik tersebut lamban menjadi keputusan politik. Padahal, semua pihak telah memahami pentingnya keberlanjutan lingkungan.
Alih-alih berangkat dari solusi-solusi yang melibatkan semua pihak tersebut, pemerintah pusat dan pemprov NTT menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut melalui kebijakan yang bersifat top-down, sepihak, dan sangat kontroversial. Contohnya, gagasan tiket berbayar 1000 USD atau sekitar 14 juta rupiah , pembangunan jurassic park, dan izin investasi dalam kawasan. Gagasan-gagasan itu adalah upaya yang dianggap dapat menurunkan jumlah turis, mengurangi interaksi dengan komodo, dan mempersiapkan destinasi eksklusif bagi wisatawan yang berduit.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya mengabaikan prinsip demokrasi, tetapi juga tidak sesuai dengan prinsip konservasi dan daya tarik pariwisata alam itu sendiri, dikarenakan dampaknya yang merusak lingkungan dan diabaikannya faktor penting dalam pariwisata alam seperti sensasi menikmati kehidupan alam liar.
Sebagai contoh, pembentukan jurassic park. meskipun dibahasakan sebagai “penataan”, kenyataannya pembentukan ini bukan saja akan membangun bangunan baru yang melibatkan berbagai alat berat dan mengubah lanskap alami dalam kawasan, tetapi juga mengubah model pariwisata berbasis alam. Perubahan juga akan terasa oleh wisatawan, dari yang sebelumnya mereka bisa merasakan sensasi berjalan di alam liar, berubah menjadi sensasi dikerangkeng dalam bangunan super megah yang terpisah dengan alam., Pada saat bersamaan, izin privatisasi dalam habitat komodo diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada beberapa korporasi. Tentu perusahaan-perusahaan tersebut akan kemudian membangun resort, restoran, dan berbagai bangunan di sana.
Dikarenakan berbagai rencana tersebut, banyak pihak yang mengkhawatirkan masa depan Taman Nasional Komodo. Langkah-langkah yang diambil dalam perencanaan wisata superpremium tersebut mengancam keberlanjutan satwa langka komodo karena banyaknya bangunan yang muncul dan merusak citra pariwisata yang berbasis alam tersebut.
Mengganggu ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat
Ancaman lain dari pengembangan wisata superpremium adalah terganggunya ruang hidup dan mata pencarian masyarakat di sekitar kawasan TNK, baik di dalam maupun di luar kawasan, baik masyarakat biasa maupun pelaku wisata. Penduduk yang tinggal di dalam kawasan sebagian besar adalah nelayan dan pelaku wisata seperti pematung dan penjual patung atau suvenir. Sementara, di luar kawasan, kebanyakan masyarakat adalah nelayan,petani, serta pelaku wisata seperti guide, pemilik usaha kapal wisata, dan agen travel.
Dalam kasus Pulau Komodo, wisata premium sempat membuat mereka terancam direlokasi. Meski tidak terjadi, tempat jualan mereka tetap harus dipindahkan ke Pulau Rinca. Perubahan ini tidaklah mudah. Dikarenakan perubahan itu, ongkos dan waktu yang mereka keluarkan akan semakin bertambah. Bayangkan, dari yang tadinya berjualan di kawasan kampung sendiri, nanti mereka mesti menyeberang sekitar 2-3 jam per hari dengan perahu motor untuk menjual dagangannya. Sementara itu, di tempat yang baru tidak ada jaminan penjualan mereka akan untung atau tidak, karena semuanya bergantung kepada turis.
Meski menjanjikan kesejahteraan, dalam kenyataannya upaya menyingkirkan masyarakat lokal, usaha kecil, dan upaya konservasi menjadi kian nyata. ~ Gregorius Afioma Share on XSelain itu, banyaknya pulau yang diprivatisasi juga mengancam ruang hidup penduduk di pulau-pulau kecil di dalam dan sekitar kawasan TNK, yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Konflik antara nelayan dan otoritas kawasan konservasi merupakan lagu lama. Akarnya, kawasan laut semakin banyak diarahkan untuk wisata diving dan snorkeling. Imbasnya, ruang hidup nelayan semakin dibatasi. Melalui pengembangan wisata superpremium, eskalasi konflik akan semakin tajam. Bercermin dari yang sudah terjadi, akses terhadap kawasan pesisir atau lautpun akan diperketat.
Sementara itu, dampak perubahan model pengembangan ke arah superpremium juga dirasakan oleh pelaku wisata kelas menengah. Kontrol dan penguasaan kawasan TNK yang diberikan kepada segelintir pengusaha mempersempit ruang usaha pelaku wisata kelas menengah. Dengan memberlakukan kuota yang memperbolehkan masuk hanya sekitar 50 ribu wisatawan per tahun, terjadi penurunan drastis jumlah wisatawan. Wisatawan yang masuk pun mungkin hanya akan ditangani oleh agen-agen wisata yang “terseleksi”.
Model wisata superpremium akan menyingkirkan banyak pelaku wisata seperti guide, penyedia kapal wisata kelas menengah, dan agen travel. Padahal, pariwisata disebut sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak karena memberikan ruang untuk tumbuhnya partisipasi bisnis dari orang per orang (usaha kecil) dan komunitas lokal. Dengan demikian, pengembangan wisata premium tidak hanya mengancam untuk merusak lingkungan, tetapi juga mencaplok ruang hidup masyarakat melalui sistem kerja bisnis eksklusif yang akan ditawarkan.
Mempertajam ketimpangan penguasaan sumber daya alam
Sebagai sumber devisa negara, pengelolaan kawasan konservasi semakin menimbulkan rasa tidak adil dalam penguasaan sumber daya alam. Sumber daya alam (kapital) di sektor pariwisata yang dibicarakan di sini adalah tanah, pantai, pulau-pulau kecil, pesisir, dan laut.
Jika sebelumnya kuasa atas tanah, kawasan pesisir, pantai, dan pulau-pulau bergantung kepada mekanisme pasar, kini pemerintah turut memfasilitasi alih kepemilikan dan kuasa atas sumber daya alam melalui kebijakan. Dengan kata lain, pemerintah memberikan karpet merah kepada investor-investor besar, alih-alihmemberikan perlindungan kepada pemilik-pemilik usaha kelas menengah dan hak-hak masyarakat setempat.
Campur tangan pemerintah tampak dalam pembentukan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores melalui Pepres No. 32 tahun 2018. Lembaga yang sudah berulang-ulang diprotes dan ditolak ini bertujuan antara lain untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah negara demi kepentingan investasi. Ada 400 hektar tanah yang dikelola BOP dan sedang dipersiapkan untuk investor. Sementara, masyarakat lokal sendiri kesulitan untuk mendapatkan tanah di sekitar wilayah Labuan Bajo.
Desain wisata superpremium akan mempertajam ketimpangan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang ada. ~ Gregorius Afioma Share on XTidak hanya itu. Lahan seluas 560 hektar di bagian selatan Kota Labuan Bajo (wilayah yang berbatasan dengan Taman Nasional Komodo) akan dialihfungsikan menjadi Kawasan Ekonomi khusus. Pembangunan ini memiliki dampak ekologis dan sosial yang serius, di antaranya peminggiran masyarakat pesisir untuk akses kawasan pesisir dan laut dalam kawasan TNK.
Dengan demikian, semakin terlihat jelas bahwa desain wisata superpremium akan mempertajam ketimpangan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang ada. Dalam jangka panjang, sektor pariwisata akan semakin dikuasai segelintir orang dan memprioritaskan wisatawan yang berkantong tebal.
Ketiga potret yang paradoks ini menjadi alasan ini di balik berbagai gerakan penolakan pengembangan wisata superpremium selama ini. Meski menjanjikan kesejahteraan, dalam kenyataannya upaya menyingkirkan masyarakat lokal, usaha kecil, dan upaya konservasi menjadi kian nyata–baik melalui regulasi, kebijakan, maupun praktik-praktik keseharian.
Bacaan Lebih Lanjut
Bacaan Lanjutan Dale, C. J. P., & Afioma, G. (2020). Puzzling Confluence of Conservation and Ecotourism in Komodo National Park, Indonesia. Dapat diakses di https://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/handle/2433/256096 |
Gregorius Afioma lahir 7 Mei 1989 di Manggarai, Flores dan menempuh pendidikan menengah di Seminari Pius XII Kisol (2002-2008). Kemudian, Gregorius melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2009-2013). Semasa kuliah, Gregorius aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler kampus, di antaranya menjadi ketua senat pada tahun 2012. Selain itu, sejak tahun 2014, Gregorius juga aktif dalam mengembangkan media online yang meliputi isu-isu sosial politik lokal di Flores di www.floresa.co. Sejak tahun 2015, Gregorius mulai menetap di Labuan Bajo dan bekerja pada NGO Lokal, sunspirit for justice and peace yang fokus pada riset dan advokasi, gerakan orang muda, dan pengembangan komunitas tenun.
Artikel Terkait
Bagaimana konservasi satwa langka sebaiknya dipahami
Konservasi keanekaragaman hayati merupakan bagian penting dalam hidup Sabhrina Gita Aninta, pendiri Tambora Muda Indonesia, jaringan konservasionis muda Indonesia. Di Catatan Pinggir ini, Sabhrina berbagi tentang pentingnya kepedulian dan pemahaman kita tentang konservasi. Yuk, baca!Mengenal Permasalahan Sampah di Indonesia
Pengalaman Joshua Valentino memimpin Rekosistem, sebuah startup yang fokus dalam pengelolaan sampah, layak dipelajari untuk lebih paham tentang solusi yang kita bisa lakukan dan usahakan untuk pengelolaan sampah demi masa depan lingkungan Indonesia yang lebih baik.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?