Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
June 27, 2021Budaya Populer: Pembodohan Massa atau Ruang Daya Laku Konsumen?
June 27, 2021Catatan Pinggir
Tubuh Digitalku, Milik Siapa?
oleh Ellen Kusuma
Pengantar Redaksi:
Dunia digital bergerak begitu cepat dan bebas, tapi apakah ia aman? Di artikel Catatan Pinggir ini, Ellen Kusuma dari Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet memaparkan pentingnya melindungi tubuh digital alias data-data yang tercipta dari aktivitas kita di internet.
“Kak, aku ingin foto dan video telanjangku dihapus. Apakah bisa dilakukan?”
Jawaban singkatnya: Bisa, tapi banyak syaratnya. Jawaban panjangnya: Bisa, dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tambahan, seperti: Telah beredar di mana saja foto dan video itu? Apakah hanya di media sosial? Atau sudah tersebar melalui Direct Message (pesan langsung)? Mungkinkah ada yang telah menyimpannya di hard disk atau cloud storage (tempat penyimpanan berbasis online)? Selain itu, siapa saja yang telah menyimpannya? Apakah hanya penerima pertama? Atau mungkin sempat ia sebarkan ke orang lain, yang lalu menyebarkannya ke orang lain lagi? Lantas, ada berapa banyak salinannya? Apakah penerima hanya menyimpan satu salinan, atau sempat diperbanyak dan disimpan berbagai tempat, bahkan dicetak?
Situasi di atas, walau bukan hal baru, marak terjadi akhir-akhir ini. Kegiatan menyebarkan konten intim non-konsensual (tanpa persetujuan) ini kerap disebut dengan istilah revenge porn (balas dendam dengan menyebarkan pornografi). Istilah ini mungkin terdengar catchy, namun sebetulnya cukup bermasalah. Istilah ini mengimplikasikan bahwa permasalahan ada pada korban; seakan korban yang salah duluan, dan pelaku hanya balas dendam melalui “tubuh” korban yang masih bisa diaksesnya. Tindakan ini memperlakukan konten intim yang mungkin dibagikan korban kepada orang terpercaya sebagai produk industri pornografi semata.
Sayangnya, situasi inilah yang dengan paling gamblang menunjukkan bahaya tersembunyi dari dunia digital. Tubuh digital kita rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Bahaya ini dianggap tersembunyi, karena banyak yang tidak sadar akan risikonya. Selain itu, hingga saat ini, belum ditemukan pula solusi yang mumpuni untuk mengatasi berbagai potensi kekerasan yang mungkin terjadi pada tubuh digital kita.
Sebelum mempelajari cara melindunginya, kita harus pahami dulu apa itu tubuh digital.
Bukan Sekadar Data atau Jejak Digital, Kini Kita Punya Tubuh Digital
Tubuh bukanlah konsep yang asing. Biasanya, kita mengenalnya dalam konteks jasmaniah—yang dapat dilihat dan disentuh. Dengan pemahaman ini, tubuh dapat didefinisikan sebagai identitas sosial pemiliknya, yakni gambaran diri dan segala persepsi yang melekat dan dilekatkan pada diri itu. Tubuh juga bersifat otonom. Artinya, tubuh berada dalam kekuasaan kita sebagai pemiliknya. Kitalah yang mengendalikannya.
Paling tidak, begitu semestinya.
Kepemilikan atas tubuh memang merupakan hak istimewa seseorang. Namun, ketika membicarakan tubuh sebagai identitas sosial, pasti tidak lepas dari norma yang dipegang masyarakat. Seperti di Indonesia, yang sayangnya menganut norma yang masih menjunjung nilai-nilai patriarki, masyarakat lebih mengekang, mengatur, dan menuntut tubuh perempuan untuk selalu menuruti standar yang ditentukan male gaze, yaitu cara pandang laki-laki yang diberikan segudang privilese oleh budaya patriarki.
Kalau tubuh jasmaniah saja tidak sepenuhnya bersifat otonom, bagaimana dengan tubuh digital? Jangankan bicara otonom, cakupan tubuh digital saja masih banyak di antara kita yang belum tahu.
Hidup di dunia yang berkaitan erat dengan teknologi digital, kita pun memiliki tubuh-tubuh digital. Tubuh-tubuh ini tercipta dari berbagai aktivitas yang kita lakukan dengan perangkat digital yang sering kita gunakan untuk mempermudahkan berbagai aspek kehidupan.
Secara sederhana, tubuh digital adalah data-data yang tercipta dari aktivitas kita di internet. Tubuh digital ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kita. ‘Tubuh’ ini berupa data pribadi, seperti nama lengkap, foto berisikan wajah, atau foto tubuh kita. Selain itu, masih ada banyak lagi bagian tubuh digital yang nyaris selalu kita abaikan. Biasanya bagian tubuh digital tersembunyi ini bersifat metadata alias data di dalam data. Misalnya, saat membagikan suatu foto atau video, data yang kita sebar sebetulnya tidak hanya gambaran wajah dan tubuh kita saja. Foto atau video tersebut juga bisa memuat detail lain; seperti jenis kamera yang digunakan, pengaturan pengambilan foto atau videonya, hingga geotag (penandaan geografis) yang menunjukkan lokasi saat foto itu diambil.
Perlu diingat bahwa semua data pribadi ini bukanlah sekadar data ataupun jejak yang tinggal di dunia digital saja. Apa yang terjadi pada tubuh digital kita juga bisa membawa konsekuensi nyata pada kita, layaknya pada tubuh jasmani sendiri.
Secara sederhana, tubuh digital adalah data-data yang tercipta dari aktivitas kita di internet. Tubuh digital ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kita. ~ Ellen Kusuma Share on XSeperti Sebuah Jaringan Saraf, Tubuh Digital Saling Terhubung
Lantas, memang kenapa jika data pribadi kita diketahui oleh orang lain di internet? Apa bedanya dengan saat kita bersosialisasi di dunia nyata, di mana orang-orang sekitar juga bisa mendapat berbagai informasi tentang diri kita?
Yang jarang dibahas sehari-hari tentang tubuh digital (data pribadi di dunia digital) adalah keterhubungan satu data dengan data lainnya. Data-data ini juga mudah untuk dicari, diperbanyak, dikumpulkan, dan digunakan oleh berbagai pihak untuk tujuan apapun, termasuk untuk merugikan seseorang.
Sayangnya, keterhubungan dan kemudahan akses ini sering kali tidak disadari, atau bahkan diketahui, oleh para pengguna teknologi digital. Dari data berupa nama atau deretan nomor telepon saja, identitas lain yang dimiliki seseorang dapat diketahui secara instan oleh pihak lain.
Baru-baru ini, saya mendampingi sebuah kasus ancaman penyebaran konten intim non-konsensual. Pelaku dan korban tidak saling mengenal di dunia nyata, mereka hanya bertemu di aplikasi kencan, dan tidak pernah bertukar nama asli. Keduanya kemudian melakukan video call sex menggunakan sebuah aplikasi percakapan lain. Interaksi ini ternyata direkam oleh pelaku.
Saat itu, informasi yang dimiliki pelaku hanya nomor ponsel korban. Namun, dengan nomor tersebut, pelaku berhasil menemukan nama lengkap asli korban. Hal ini bisa pelaku lakukan hanya dengan menggunakan aplikasi yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasi nomor ponsel dan memblokir para scammer (penipu). Dari nama asli tersebut, pelaku pun menemukan tubuh digital lainnya milik korban, seperti akun Instagram, informasi kontak teman-teman korban dari penggunaan mention (penyebutan akun) yang ditemukan dalam postingannya, domisili korban, dan data lainnya.
Situasi yang dihadapi korban jadi sulit. Rasa aman yang muncul karena adanya anonimitas saat berhubungan intim secara virtual, dengan segera hilang karena nomor ponselnya terhubung dengan data-data pribadinya yang lain yang dengan mudah dicari tahu oleh pelaku.
Perlu diketahui bahwa tubuh digital lebih rentan terhadap ancaman daripada tubuh fisik. Hal ini karena tubuh digital tidak hanya bisa diciptakan atau diperbanyak oleh kita sendiri, tetapi juga oleh orang lain. Ada banyak situasi di mana tubuh digital kita diproduksi, direproduksi, atau aksesnya dengan mudah dibagikan oleh orang lain. Misalnya, ketika orang memotret atau merekam kita, menyebutkan (mention) atau menandai (tag) akun kita, atau menyebarkan nomor ponsel kita. Bahkan,dengan tindakan sesederhana mengunduh sebuah aplikasi, seperti aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal atau mengisi sebuah kuis online di media sosial, saja sudah memberikan akses ke data-data (tubuh digital!) yang ada di ponsel kita.
Salah satu kasus yang bisa kita jadikan contoh adalah skandal data Cambridge Analytica yang mengintervensi pemilihan umum presiden di Amerika Serikat pada 2016 silam. Siapa sangka dari iseng mengisi kuis di Facebook, data-data pengguna—seperti konten yang disukai, jumlah like, lokasi, fotonya, dan jaringan pertemanan—kemudian dimanfaatkan dan diolah untuk memanipulasi psikologis pemilik akun tersebut dalam strategi kampanye untuk memenangkan Donald J. Trump.
Perlu diketahui bahwa tubuh digital lebih rentan terhadap ancaman daripada tubuh fisik. Hal ini karena tubuh digital tidak hanya bisa diciptakan atau diperbanyak oleh kita sendiri, tetapi juga oleh orang lain ~ Ellen Kusuma Share on XMengelola Tubuh Digital
Mengelola tubuh digital adalah hal yang kompleks, karena kita harus memetakan seluruh tubuh digital yang kita miliki. Sebagai pengguna rutin perangkat digital dan pengguna internet yang bukan baru sehari atau dua hari saja, tentu sudah banyak tubuh digital kita yang beredar di mana-mana, mulai dari yang kita tahu, sudah lupakan, hingga yang sama sekali tidak kita ketahui. Proses pengelolaan ini tidaklah mudah. Bahkan, mungkin di tengah jalan kita akan terpikir untuk berhenti melakukannya. Namun, kita harus berani merelakan kenyamanan demi keamanan digital kita.
Untuk itu, sebaiknya kita mulai dengan mencatat seluruh tubuh digital yang dimiliki. Pencatatan ini bisa diawali dari tubuh digital yang memiliki bentuk fisik, seperti ponsel, laptop, komputer, flash disk, atau hardware/perangkat keras digital apapun yang menyimpan data pribadi kita. Lalu, kita bisa melanjutkan ke tubuh digital yang bentuknya non-fisik berupa data dan metadata—baik yang disimpan di perangkat digital maupun penyimpanan komputasi awan (cloud storage). Selain itu, kita juga perlu mengamankan data yang ada di akun-akun digital, seperti akun media sosial, aplikasi percakapan, aplikasi kencan, email, aplikasi transportasi online, aplikasi permainan online, dan aplikasi hiburan berbasis online lainnya.
Setelah melakukan pendataan, kita bisa memperhitungkan keamanan tubuh digital tersebut satu persatu. Hal ini dapat dilakukan dengan memetakan siapa saja yang bisa mengaksesnya dan apakah mereka orang yang bisa dipercaya. Pertimbangan tersebut penting karena, seperti yang kita sering dengar, jejak digital bersifat abadi. Jejak digital seringkali bertahan lebih lama dari hubungan kita dengan orang lain, bahkan saat kita meninggal pun jejak digital itu akan tetap ada. Supaya lebih aman, periksalah dan kelola jejak digital kita yang sudah beredar saat ini. Contohnya, jika ada akun media sosial yang sudah tidak pernah lagi digunakan atau tidak relevan lagi dengan saat ini, lebih baik kita deaktivasi atau hapus saja akunnya.
Selain itu, lakukan juga penyesuaian pengaturan keamanan dan privasi pada setiap tubuh digital kita.Misalnya dengan menggunakan password yang kuat (minimal 14 karakter dengan campuran huruf kecil dan besar, angka, serta simbol), mengaktifkan opsi Autentikasi 2-Faktor (2FA), dan memastikan perangkat yang digunakan terenkripsi (diamankan dengan sandi). Selain itu, baiknya akun-akun yang digunakan juga sudah memiliki end-to-end encryption atau E2EE (enkripsi ujung-ke-ujung), sehingga tidak mudah untuk disadap oleh pihak lain.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan digital, adalah pentingnya melakukan pemeriksaan tubuh digital secara rutin. Sama seperti saat merawat jasmani kita, mungkin ada satu-dua kesalahan atau gangguan yang terjadi tanpa diketahui, maka perlu untuk memeriksa keamanan tubuh digital kita secara rutin.
Ellen Kusuma adalah Kepala Subdivisi Digital At-Risks di SAFEnet, sebuah lembaga non profit berbasis di Bali, Indonesia, yang mengadvokasi isu hak digital sebagai HAM di kawasan Asia Tenggara. Saat ini berfokus di isu kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ia juga menjadi pengamat dan peneliti media digital di Jakarta Center for Cultural Studies, lembaga riset yang meretas tegangan dan wacana di Indonesia.
Artikel Terkait
Media, Kita, dan Kebenaran
Kenyataan hidup (realitas) kita sekarang tidak cuma dibentuk oleh keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Media memainkan peran penting dalam menentukan apa yang kita anggap benar atau salah. Dengan kemasan ciamik, media membuat kita menuruti ideologi tertentu. Lalu gimana caranya kita bisa memahami media secara kritis? Yuk, baca artikel ini.Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
Media bukan cuma sesuatu yang kita tonton, baca, atau bagikan ke teman-teman. Di artikel ini, Regina Widhiasti menjelaskan peran penting media dalam mengubah pola pikir, ideologi, dan memori kolektif.Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
Kelompok minoritas seksual banyak mengalami representasi media yang tidak hanya salah, tapi juga tidak adil dan punya risiko menyakiti serta mendorong munculnya kekerasan. Lalu, bagaimana kita bisa merepresentasikan kelompok minoritas seksual secara adil?