Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
January 26, 2022“Pemuda Harapan Bangsa?” Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
January 26, 2022Catatan Pinggir
Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
oleh Brurce Mecca
Pengantar Redaksi:
Di Catatan Pinggir ini, Brurce Mecca yang bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim, menggambarkan pandangannya tentang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.
Krisis iklim adalah isu yang kompleks. Melalui tulisan ini, aku terinspirasi untuk memandang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.
“Mohon kencangkan sabuk pengaman dan selamat menikmati penerbangan Anda,” ucap kepala pramugari yang ramah di penerbangan rute Jakarta menuju Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Aku mengencangkan sabuk pengaman, memandang ke jendela kabin, seraya mencuri dengar seorang penumpang di sebelahku yang menggumamkan doa untuk keselamatan perjalanan.
Lepas Landas
Hari itu, aku berangkat ke salah satu kabupaten penghasil batu bara terbesar di Kalimantan Timur, yakni Kabupaten Berau. Hampir dua pertiga dari pendapatan Berau berasal dari batu bara. Sebagai sumber energi fosil non-terbarukan, batu bara termasuk sumber energi “kotor” karena intensitas emisi karbonnya yang tinggi memperparah perubahan iklim, serta adanya dampak negatif lingkungan lainnya seperti polusi udara dan pencemaran tanah akibat aktivitas pertambangan.
Pemerintah Kabupaten Berau, yang menyadari akan bahaya ketergantungan terhadap batu bara sebagai sumber pendapatan asli daerah, memutuskan untuk melakukan diversifikasi ekonomi (menambah jenis sumber pendapatan, dalam rangka mengurangi risiko kerugian akibat ketergantungan berlebih terhadap suatu sumber pendapatan) ke sumber potensial lainnya, seperti perkebunan. Lebih spesifiknya, pemerintah setempat berminat untuk mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit. Saat itu, aku mau membantu mereka dengan memberi rekomendasi teknis bagaimana Berau dapat terlepas dari jerat ketergantungan terhadap batu bara dan beralih ke sumber pemasukan daerah lainnya yang lebih “berkelanjutan”. Tapi, aku tahu banyak perdebatan akan terjadi ketika menyebut perkebunan kelapa sawit sebagai sektor “berkelanjutan”.
Sebagai seorang analis di bidang perubahan iklim, kadang aku kesulitan untuk menjelaskan pekerjaanku kepada orang lain. Kadang, kesulitan itu berakar dari kurangnya pengertian kebanyakan orang akan definisi perubahan iklim. Kadang solusinya terkesan mudah: jelaskan saja definisinya. Selesai. Tapi, kesulitan meningkat tajam ketika aku harus menjawab, “Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap krisis iklim dan apa solusinya?”
Hal tersebut sulit untuk dijawab karena krisis iklim adalah krisis yang bersifat struktural, dan hal yang struktural bisa jadi sulit untuk dicerna. Biar aku jelaskan.
Untuk kita yang “melek” politik, era pasca reformasi Indonesia adalah era tumbuhnya kesadaran secara pesat atas permasalahan struktural di negara ini, baik itu kemiskinan, korupsi, pelanggaran HAM, nepotisme, oligarki, dan lain sebagainya. Hal ini karena (1) mendekati akhir Orde Baru, semakin banyak orang menyadari bahwa struktur pemerintahan mempengaruhi nasib semua orang, dan (2) setelah Orde Baru, semakin banyak orang merasakan pentingnya untuk menggunakan kacamata struktural dalam melihat suatu permasalahan di masyarakat, sehingga solusi yang lebih efektif dan permanen dapat tercipta. Akibatnya, reformasi 1998 menjadi salah satu tonggak terbangunnya pemahaman-pemahaman lebih luas di masyarakat terkait pentingnya struktur tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam demokrasi dan pentingnya mencegah kekuatan untuk terpusat pada satu figur atau institusi.
Semestinya, krisis iklim juga dipandang sebagai permasalahan yang bersifat struktural. Krisis iklim terjadi karena struktur ekonomi kita yang ekstraktif dan cenderung mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang demi memperkaya diri sendiri pada saat ini. Struktur ekonomi kita cenderung memberi insentif terhadap “pengabaian” akan krisis iklim, sebagaimana terlihat dari semakin tingginya tren investasi ke sektor ekstraktif yang kotor seperti batu bara kendati sudah banyak orang mengerti nyatanya dampak krisis iklim.
Krisis iklim terjadi karena struktur ekonomi kita yang ekstraktif dan cenderung mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang demi memperkaya diri sendiri pada saat ini. ~ Brurce Mecca Share on XJadi, terkait jawaban siapa yang bertanggung jawab terhadap krisis iklim dan apa solusinya, penting untuk aku memperjelas konteksnya bahwa krisis iklim bukan sebatas isu teknis yang membutuhkan solusi teknis atau isu institusional yang membutuhkan solusi reformasi kelembagaan dan birokrasi. Isu krisis iklim bersifat struktural, mengakar pada budaya pengabaian massal terhadap dampak negatif dari ekonomi ekstraktif di masa depan. Sehingga, solusi dari krisis iklim haruslah merombak struktur ekonomi ekstraktif tersebut.
Ketinggian 35,000 Kaki
Langit biru dan awan laksana dataran kapas terhampar luas sejauh mataku memandang. Aku duduk dengan nyaman di dalam kabin burung besi yang direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan hidup manusia selama beberapa jam kedepan.
Kurang dari 20% populasi di dunia pernah menaiki pesawat terbang, sebuah teknologi tinggi yang mengeluarkan emisi karbon secara intensif ke atmosfer dan memperparah krisis iklim. Data juga menunjukkan, 1% dari populasi di dunia bertanggung jawab terhadap 50% emisi yang dihasilkan oleh industri penerbangan.
Jika kamu juga sering bepergian dengan pesawat, berarti kamu termasuk golongan elit di dunia. Bersama-sama, kita berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca yang akan turut merugikan mayoritas orang di dunia yang belum pernah, serta mungkin tidak akan pernah, menginjakkan kakinya di dalam kabin pesawat.
Krisis iklim memerlukan pemahaman terkait keadilan (climate justice). Seperti kasus emisi penerbangan, terdapat ketimpangan antara pihak-pihak yang lebih bertanggung jawab akan krisis iklim dan pihak-pihak yang terdampak.
Di level global, negara-negara kaya “berhutang” terhadap negara-negara berkembang yang turut merasakan dampak krisis iklim akibat praktik kolonialisme ekstraktif mereka di masa lampau—sebuah konsep yang disebut utang iklim (climate debt). Di Indonesia, sektor lahan dan energi yang berkontribusi ~80% emisi gas rumah kaca nasional juga tidak lepas dari ketimpangan. Sekitar 1% dari populasi Indonesia menguasai 59% kepemilikan lahan, serta figur-figur politik di Indonesia masih banyak terasosiasikan dengan bisnis batu bara.
Jadi, tentu setiap orang, institusi, dan agensi memiliki porsi tanggung jawab yang berbeda-beda terhadap krisis iklim.
Krisis iklim memerlukan pemahaman terkait keadilan (climate justice). Seperti kasus emisi penerbangan, terdapat ketimpangan antara pihak-pihak yang lebih bertanggung jawab akan krisis iklim dan pihak-pihak yang terdampak. ~ Brurce Mecca Share on XMenurun
Pemandangan dari jendela kabin bertransisi seiring pesawat melandai. Untuk beberapa saat, sulit untuk tidak tertegun akan hutan tropis Kalimantan Timur yang terbentang luas seperti karpet hijau raksasa.
Kemudian, seiring pesawat mendekati tanah, hamparan hijau tersebut berubah, ibarat buah mangga hijau yang terkelupas dan menunjukkan dagingnya karena aktivitas pertambangan batu bara. Sesekali, pemandangan tersebut berubah menjadi petak-petak jalan dan atap-atap bangunan, lengkap dengan rentetan pohon berwarna hijau yang tertata rapi; perkebunan sawit.
Menimbang selera Berau yang sangat haus akan batu bara dan sawit, apakah potret-potret seperti inikah yang Berau harapkan untuk masa depannya? Ataukah dengan memandang lanskap ini dari ketinggian 10.000 kaki, harapan tersebut akan berubah?
Potret di atas adalah contoh Antroposens (anthropocene) atau manifestasi menakjubkan yang umat manusia mampu lakukan di muka bumi ini—khilafah. Antroposens adalah suatu era yang menjadi tonggak dominasi peradaban manusia sehingga menciptakan dampak signifikan terhadap sistem geologi dan ekosistem planet Bumi, termasuk diantaranya perubahan iklim. Hamparan hijau hutan belantara Kalimantan pun takluk di hadapan manusia dan tangan kreatif-nya. Kendati perlu pula diingat bahwa tangan-tangan ahli tersebut jugalah yang menyebabkan umat manusia terjebak dalam bencana ekologis dan krisis iklim.
Di Indonesia, potret seperti ini tentu tidak terlihat di Berau saja. Tentu kita bisa membayangkan setiap orang, dari setingkat taipan perkebunan sampai petani musiman, dapat termotivasi untuk meningkatkan pundi-pundi penghidupan dengan memanfaatkan sumber daya alam nusantara yang dihadiahkan Tuhan. Bukankah alam diciptakan untuk kepentingan umat manusia?
Mungkin pertanyaan tepatnya adalah, “Umat manusia yang mana?” Kepentingan terhadap sumber daya alam yang seperti apa, yang semestinya didahulukan, atau semestinya diberhentikan?
Mendarat
Akhirnya, pesawat mendarat di dataran Kalimantan Timur. Disambut terik matahari, aku turun dari pesawat.
Dengan niat membantu Kabupaten Berau lepas dari sumber pemasukan ekstraktif satu ke sumber ekstraktif lainnya, aku merenung – apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak tahu, dan sejujurnya tidak begitu yakin, kalau rekomendasi dari studi yang akan aku lakukan dapat digunakan oleh pemerintah setempat untuk merombak struktur ekonomi daerah ini. Iya, mungkin aku tidak bisa melakukan banyak untuk Berau.
Mungkin yang aku bisa lakukan hanyalah menjawab pertanyaan orang-orang di sekitarku terkait pekerjaanku. Menjelaskan terkait krisis iklim sebagai permasalahan struktural.
Selain itu, yang bisa kulakukan adalah menikmati pengalaman penerbangan yang menyenangkan.
Brurce Mecca (Uce) adalah seorang ahli di bidang pembiayaan dan kebijakan perubahan iklim. Uce mendalami keterkaitan antara aliran modal dan krisis iklim, serta bagaimana lanskap kebijakan nasional dapat diarahkan untuk memicu pertumbuhan ekonomi yang ramah iklim. Saat ini, Uce bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim yang beroperasi di Indonesia. Brurce memiliki gelar Master of Environmental Science dari Yale University dan gelar Sarjana Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung.
Artikel Terkait
Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
Di Catatan Pinggir ini, Brurce Mecca yang bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim, menggambarkan pandangannya tentang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.“Pemuda Harapan Bangsa?” Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
Yang muda itu sering dianggap jaminan masa depan, ancaman, atau bahkan konsumen ideal. Memangnya cuma itu aja ya peran kaum muda?