Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
January 26, 2022Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
January 26, 2022Catatan Pinggir
Stigma Ilmu Sosial dan Persoalan Kolaborasi Interdisipliner untuk Pembangunan yang Adil
oleh Hardya Pranadipa
Pengantar Redaksi:
Kebersamaan merupakan nilai penting untuk pembangunan berkelanjutan. Melalui tulisan berikut, Hardya Pranadipa yang bekerja dalam bidang pencegahan konflik kekerasan, keamanan, dan perdamaian membahas tentang pentingnya mengedepankan kolaborasi interdisipliner dalam menciptakan pemerataan dan keadilan dalam pembangunan demi pembangunan yang lebih inklusif dan demokratis.
Apakah ketika kita membangun infrastruktur, pabrik, lalu membuka penambangan / perkebunan baru yang membutuhkan kemampuan sudah dibarengi dengan kemampuan untuk menjawab implikasi sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat yang terdampak dari pembangunan tersebut?
Saya masih ingat betul ketika saya masih SMP dulu, siswa yang pandai matematika lebih dihargai atau diistimewakan guru, temannya, dan disegani saingannya di kelas. Padahal, ada banyak sekali pelajaran lain yang sulit. Pada saat itu, saya tidak tahu apa maksud keistimewaan ini. Kejadian serupa berlanjut ketika saya melanjutkan studi ke SMA. Saya mengamati siswa-siswi yang berlomba-lomba agar masuk jurusan IPA. Kata mereka, dengan masuk jurusan IPA, kita lebih mungkin diterima di kampus negeri dan jurusan apa saja. Selain itu, jurusan lainnya identik dengan label “buangan, cabut-cabutan, dan masa depan suram (madesu).” Saya masih ingat ketika saya melihat seorang siswi menangis-nangis didampingi oleh orang tuanya, membujuk kepala sekolah agar dimasukkan ke jurusan IPA kendati nilainya tidak mencukupi. Dalam pengalaman saya dulu, bisa menguasai pelajaran eksakta dan masuk jurusan IPA seakan merupakan suatu gengsi dan peer-pressure ketika bersekolah di zaman itu. Ketika masuk dunia perkuliahan, hal tersebut berlanjut. Saya baru menyadarinya ketika teman di lingkungan terdekat saya banyak yang mengambil jurusan-jurusan produktif yang menurut orang tua mereka dapat diserap lapangan kerja dan menjawab pertanyaan: “Ngambil xxx kamu mau jadi apa?”. Pertanyaan naif saya ketika itu: Mengapa tidak mengambil jurusan yang sesuai dengan minat dan kesukaannya? Bukankah itu tujuan pendidikan?
Setelah saya berkuliah dan berkecimpung di lapangan kerja, barulah saya merasakan, mengapa menguasai matematika, ilmu eksakta, dan teknologi itu adalah syarat hidup mapan. Itu adalah pilihan realistis. Kamu bisa hidup sejahtera di perkotaan di Indonesia ketika kamu bekerja di bidang pertambangan mineral (minyak atau batubara), perkebunan sawit, pengelolaan hutan, bisnis, konstruksi, perbankan, pegawai BUMN, atau minimal Pegawai Negeri Sipil.
Melihat ke belakang, bagaimana sektor produktif berkontribusi bagi pertumbuhan dan kekuatan ekonomi ini diciptakan, tidak bisa dilepaskan dari posisi indonesia yang dibentuk pada masa kolonial. Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang lengkap. Wilayah Nusantara diperas hasil buminya oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menyuplai kebutuhan bahan mentah seperti minyak bumi, batu bara, kayu, karet, hingga minyak kelapa sawit untuk diolah dan dijadikan komoditi yang dipasarkan kepada perusahaan industri besar negara tersebut seperti Shell.co, British Petroleum, Caltex, Billiton yang kemudian diolah menjadi komoditi berteknologi tinggi. Sampai sekarang, posisi Indonesia sebagai supplier bahan mentah atau bahan setengah jadi ini juga masih belum bergeser. Di Indonesia, terhitung banyak sekali insinyur, tetapi tidak banyak di antaranya yang mencapai S3 apabila dibandingkan dengan lulusan ilmu sosial. Hal ini memunculkan hipotesis bahwa kemungkinan permintaan lapangan kerja lebih tinggi untuk operator (baca: buruh) lapangan, sedangkan hanya sedikit yang berpikir atau ruang kondusif untuk melakukan riset dan inovasi lantas menciptakan kebijakan yang berhulu dari sana.
Bagaimana sektor produktif berkontribusi bagi pertumbuhan dan kekuatan ekonomi ini diciptakan, tidak bisa dilepaskan dari posisi indonesia yang dibentuk pada masa kolonial. ~ Hardya Pranadipa Share on XKegiatan mengakumulasi kekayaan dan mensejahterakan masyarakat kita saat ini, masih ditentukan oleh asumsi sistem pendidikan di atas–dengan meletakkan ilmu sains-teknologi lebih prioritas di atas ilmu sosial ini menjadi kenyataan hidup di masa industri dewasa ini. Industri yang berkembang saat ini didorong penuh agar kegiatan ekstraktif dan penguasaan teknologi informasi (transformasi digital), yang berkembang mampu mengakumulasi kekayaan negara, sehingga ekonomi nasional tumbuh. Ketika ekonomi berhasil tumbuh, kita mengharapkan adanya masyarakat sejahtera yang berkelanjutan. Sementara itu, pembangunan yang berkelanjutan agar prinsip-prinsip dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) tercapai membutuhkan pendekatan yang multidisipliner dengan mengedepankan keseimbangan antara ilmu eksakta dan sosio-humaniora. Hal ini merupakan jawaban atas pertanyaan: Apakah ketika kita membangun infrastruktur, pabrik, lalu membuka penambangan / perkebunan baru yang membutuhkan kemampuan sudah dibarengi dengan kemampuan untuk menjawab implikasi sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat yang terdampak dari pembangunan tersebut?
Realitas dari pengerdilan ilmu sosial-humaniora pada pembuatan keputusan untuk pembangunan menyebabkan banyaknya pembangunan infrastruktur yang dilakukan atas kalkulasi profit dan pertumbuhan ekonomi berpotensi mengorbankan alam dan hak-hak warga sekitar lokasi pembangunan. Pembangunan yang tadinya dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan, justru tidak hanya merusak alam, tetapi juga tradisi masyarakat lokal dalam mencari mata pencaharian, gaya hidup, dan warisan pengetahuan mereka dalam hubungannya menjaga kelestarian alam. Selain itu, banyak fasilitas publik dan penunjang pembangunan yang dibangun seperti jalan, jembatan, atau waduk menjadi terbengkalai dan tidak termanfaatkan karena mengesampingkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berusaha memahami bagaimana manusia dalam satu daerah bergerak dan berkehidupan.
Prioritisasi dan dominasi satu pengetahuan/pendekatan (ekonomi dan infrastruktur) dalam membangun suatu negara ini, pada praktiknya menihilkan disiplin-disiplin ilmu lain (misal sosial, budaya, antropologi, ilmu humaniora) yang memang sedari dini tidak pernah disejajarkan dengan kemampuan produksi ilmu eksakta.. Alhasil, pembangunan yang mempertahankan tradisi eksak, teknologi, dan perhitungan angka berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, layaknya keadilan yang tidak dapat dihadirkan untuk memastikan hak-hak masyarakat lokal terpenuhi. Tidak banyak yang menyadari betapa pentingnya cabang-cabang ilmu pengetahuan lain yang bertujuan untuk memenuhi hak-hak hidup lantas menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh manusia dalam pembangunan. Karena sedari awal menerima pendidikan dasar, ilmu yang memastikan pemenuhan hak-hak tersebut sudah tidak dianggap penting, bahkan dilabel ‘buangan’.
Melihat kondisi di atas, pertanyaannya penting saat ini adalah: Apakah kita sudah mengedepankan kolaborasi interdisipliner tersebut dalam menciptakan pemerataan dan keadilan dalam pembangunan? Hakikat dari sebuah pembangunan adalah proses manakala manusia mampu mengembangkan dan meningkatkan kapabilitasnya untuk teraktualisasikan sehingga mampu mencegah mereka dari kemiskinan, bencana, peperangan, penyakit. Hal tersebut dapat terwujud dengan memperoleh pendidikan yang secara kontekstual didesain untuk menjawab keempat tantangan tersebut pada lokus dunia dimana mereka tinggal.
Hakikat dari sebuah pembangunan adalah proses manakala manusia mampu mengembangkan dan meningkatkan kapabilitasnya untuk teraktualisasikan. ~ Hardya Pranadipa Share on XDalam tujuan pembangunan, sebagaimana tercantum dalam konstitusi negara ini, kita menginginkan tidak hanya agar rakyat lepas dari kemiskinan, tetapi juga peningkatan kapabilitas dan kemampuan mereka dalam mencegah ancaman kemanusiaan seperti bencana, penyakit, dan konflik kekerasan. Pertanyaannya, apakah pola pikir keseimbangan seperti ini sudah terinternalisasi ke dalam pikiran para pembuat dan rencana pembangunan? Apakah perencana pembangunan sudah memikirkan bahwa untuk beberapa waktu, pembangunan tidak selalu berfokus kepada asumsi profit seperti trickle down effect, tetapi kepada pemerataan dan pemutusan struktur penyebab manusia tidak kapabel dalam mengakses fasilitas dan infrastruktur yang sudah dibangun?
Tentu saja, menjawab dua pertanyaan ini harus dimulai dari menciptakan keseimbangan pengetahuan antara sosial-humaniora dengan sains-teknologi, antara profit dengan keberlanjutan, antara peningkatan kekayaan dengan pemenuhan hak asasi seluruh manusia. Dan, pemahaman ini perlu ditanamkan semenjak bangku sekolah dasar. Terang, bukan salah masyarakat dan orang tua yang memilih untuk bekerja, berkecimpung dalam sektor ekstraksi, dan kemudian menciptakan kultur ‘eksak adalah favorit’, ‘eksak lebih cerdas dari soshum’. Lebih jauh, hal ini adalah desain yang pemerintah ciptakan sendiri untuk mengeruk hasil bumi sekaligus menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi rakyatnya. Tentu hal ini masih mewarisi struktur pemerintah kolonial dalam menghasilkan dan mengakumulasi kekayaan. Dengan zaman transisi menuju transformasi digital saat ini, sekurang-kurangnya semua cara menumpuk itu mulai disusupi dengan penguasaan IT dan pengagungan jiwa entrepreneurship untuk menaikkan perekonomian. Lantas, dimana letak pembangunan yang berkeadilan bisa dilakukan dalam tren ini?
Pemerintah sejatinya sudah baik dalam menyediakan beasiswa dan biaya riset kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk dapat belajar bagaimana pemenuhan pembangunan bisa menciptakan keberlanjutan sekaligus akses yang seinklusif mungkin. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah kebijakan yang mengubah struktur dari ekstraksi menuju pembangunan yang lebih inklusif dan demokratis, sehingga dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Pembangunan berkelanjutan itu merupakan cita-cita semua orang, yang semoga tidak hanya mentok pada jargon. Perwujudan konkret dalam hal tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan kesetaraan pengetahuan dengan kolaborasi interdisipliner di dalam para pemangku kebijakannya. Penciptaan kolaborasi interdisipliner untuk mempertahankan ekologi pengetahuan merupakan sebuah posisi politik di tengah rimba ego sektoral para pemegang kuasa dalam pengetahuan. Ini baru soal menyejajarkan penghargaan atas pengetahuan sains-teknologi vis a vis sosial-humaniora dalam paradigma pembangunan sekarang, belum lagi PR pembangunan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan masyarakat adat, dan PR-PR lainnya.
Penciptaan kolaborasi interdisipliner untuk mempertahankan ekologi pengetahuan merupakan sebuah posisi politik di tengah rimba ego sektoral para pemegang kuasa dalam pengetahuan. ~ Hardya Pranadipa Share on XHardya Pranadipa (Dipa) lulus dari International Institute of Social Studies (ISS), Den Haag pada tahun 2018 dengan mengambil spesialisasi konflik dan perdamaian dalam studi pembangunan. Selama lebih dari 10 tahun, Dipa berkarir dalam bidang pencegahan konflik kekerasan, keamanan, dan perdamaian bersama dengan kelompok akar rumput, lembaga penelitian, NGO, pemerintah, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat ini, Dipa bekerja untuk salah satu kantor Organisasi Internasional berbasis di Jakarta yang berfokus pada peningkatan kerjasama antar lembaga dalam isu keamanan, penegakan hukum, dan membangun damai.
Artikel Terkait
Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Stigma Ilmu Sosial dan Persoalan Kolaborasi Interdisipliner untuk Pembangunan yang Adil
Kebersamaan merupakan nilai penting untuk pembangunan berkelanjutan. Melalui tulisan berikut, Hardya Pranadipa yang bekerja dalam bidang pencegahan konflik kekerasan, keamanan, dan perdamaian membahas tentang pentingnya mengedepankan kolaborasi interdisipliner dalam menciptakan pemerataan dan keadilan dalam pembangunan demi pembangunan yang lebih inklusif dan demokratis.Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
Di Catatan Pinggir ini, Brurce Mecca yang bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim, menggambarkan pandangannya tentang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.