Filsafat Kausalitas dalam Perspektif Al-Ghazali dan Hume: Sebuah Perbandingan
September 4, 2023Bersiasat di Tengah Kabut Asap: Polusi dan Bisnis Udara Bersih di Indonesia
September 20, 2023Photo by James Tiono on Unsplash
Katalis
Persoalan Bahasa dan Budaya pada Nama-Nama Kafe di Malang Raya
oleh Riqko Nur Ardi Windayanto
Pada Februari 2023 lalu, penelitian saya dan Dr. Tri Mastoyo Jati Kesuma terbit pada Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia dengan judul “Nama-Nama Kafe di Malang Raya: Bentuk, Makna, dan Refleksi Sosiokultural”. Penelitian kami berupaya untuk menunjukkan dan menjelaskan bahwa seratus nama kafe yang kami himpun tidaklah netral karena nama-nama tersebut dipilih dengan berbagai pertimbangan.
Ada makna budaya yang tersimpan di balik nama-nama tersebut. Kami membahasnya dengan perspektif linguistik antropologis. Linguistik antropologis tidak melihat bahasa secara terbatas sebagai subbidang dalam antropologi, tetapi “pintu masuk” untuk membaca kebudayaan. Jadi, dari nama-nama kafe sebagai praktik berbahasa, kita bisa memahami persoalan budaya.
Penelitian kami membicarakan aspek kebahasaan nama-nama kafe terlebih dahulu, yaitu bentuk dan makna. Makna di sini tidak cukup hanya makna referensial (makna yang ditunjuk oleh nama-nama kafe), tetapi juga makna sosiokultural atau makna dalam konteks budaya yang lebih luas.
Permainan Bunyi Bahasa pada Nama-Nama Kafe
Penelitian linguistik antropologis tidak terlepas dari beberapa teori linguistik mikro, yaitu kajian bahasa yang memusatkan perhatiannya pada struktur internal bahasa tersebut. Dalam penelitian ini, yang kami gunakan sebagai teori bantu adalah (1) ortografi atau ejaan, (2) fonologi untuk membahas bentuk bunyi bahasa, (3) morfologi untuk membahas penggunaan bahasa dan pembentukan nama, serta (4) sintaksis untuk membahas konstruksi frasa (gabungan kata) yang membangun nama-nama tersebut.
Hasil penelitian kami menemukan bahwa terdapat nama kafe yang dibuat dengan ejaan van Ophuijsen (biasanya dikenal dengan istilah ejaan lama), seperti nama Djawara Coffee, Rodjo Kopi, Oemah Koempoel, Roemah Kantja, dan Tjakap. Terdapat lambang bunyi dj, oe, dan tj.
Secara fonologis (ilmu yang mengkaji bunyi bahasa), kami melihat bahwa banyak nama kafe dibuat dengan permainan bunyi bahasa, yaitu mengubah suatu bunyi pada kata tertentu sehingga menghasilkan kata dengan bunyi bahasa yang berbeda. Permainan tersebut meliputi pengurangan dan penambahan bunyi, adaptasi, penggunaan basa walikan (bahasa lokal di Malang yang penyusunan katanya dibalik), substitusi (penggantian) bunyi, kontraksi (pemendekan), dan asimilasi (peleburan). Sebagai contoh, kami memiliki data (1) Bataputi Coffee House, (2) Dialoogi Space and Coffee, (3) Cofferensi, (4) Ngalup Cafe, (5) Ngopa-Ngopi Malang, (6) Sans Coffee, dan (7) CJDW Coffee.
Nama Bataputi Coffee House merupakan contoh pengurangan bunyi karena bunyi /h/ pada kata bataputih dihilangkan sehingga menjadi bataputi. Sebaliknya, nama Dialoogi Space and Coffee justru merupakan penambahan. Kata dialoogi berasal dari kata dialoog dalam bahasa Belanda sehingga bisa dilihat bahwa ada penambahan bunyi /i/. Nama Cofferensi merupakan adaptasi, yaitu pengubahan yang lebih luas dengan mengubah suku kata atau bagian kata dengan kata yang lain. Kami menginterpretasikan bahwa kata konferensi diadaptasi dengan mengubah bagian konfe menjadi coffee. Pada nama Ngalup Cafe, kata ngalup merupakan pembalikan (walikan) dari kata pulang. Nama Ngopa-Ngopi Malang merupakan contoh nama dengan substitusi bunyi, yaitu bunyi /a/ pada ngopa digantikan dengan /i/ pada ngopi.
Kemudian, kami melihat bahwa kata sans berasal dari kata santai yang dipendekkan dengan menghilangkan suku kata tai. Terakhir, kami menemukan asimilasi, yaitu perubahan bunyi karena ada bunyi di dekatnya. Kita sering mendengar orang mengucapkan bunyi [c] menjadi [s]. Jadi, CJDW dibaca SJDW. Maksudnya adalah seje dhewe atau ‘berbeda sendiri dibandingkan yang lain’.
Bentuk Kata dan Makna yang Menyertainya
Selanjutnya, dalam hal morfologi (ilmu bahasa tentang bentuk kata), kami membahas kode bahasa (bagaimana bahasa yang digunakan?) dan pembentukan nama (bagaimana nama-nama kafe terbentuk?). Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa dari 100 nama kafe, 63 (63%) nama menggunakan satu bahasa (bahasa tunggal), sedangkan 37 (37%) nama menggunakan dua bahasa (bahasa campuran).
Secara umum, bahasa tunggal yang paling banyak digunakan adalah bahasa Indonesia, yaitu sebanyak 42 dari 63 nama atau 67%. Misalnya adalah Kopi Rindu, Kopi Ruang Hati, Sini Kopi, Biji Kopi, dan Daun Coklat. Sementara itu, bahasa campuran yang paling banyak digunakan adalah campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yaitu 15 dari 37 atau 40%, seperti pada nama Jelang Senja Coffee dan Bukit Delight.
Adapun nama-nama kafe dibentuk dengan beberapa cara. Kami menemukan kontraksi (penggabungan beberapa kata), abreviasi (pemendekan atau penyingkatan kata), akronim (penggabungan beberapa suku kata menjadi kata), singkatan dengan pengekalan huruf pertama, singkatan dengan pengekalan silabel pertama dan kedua, kata majemuk reduplikasi atau kata ulang, dan afiksasi atau pengimbuhan. Kami memiliki data (1) Belidikita Malang, (2) Dialoogi Space & Coffee, (3) Warsu, (4) CLBK, (5) CJDW Coffee, (6) Janji Jiwa, (7) Ngopa-Ngopi Malang, (8) Alfath Coworking Space & Coffee.
Nama Belidikita merupakan satu kata, padahal kata ini sebetulnya disusun dengan kontraksi, yaitu beli + di + kita. Pada nama Dialoogi Space & Coffee simbol & merupakan bentuk abreviasi untuk menggantikan kata dan. Sementara itu, kami juga menemukan akronim yang dengan menggabungkan suku kata kedua kata tersebut. Misalnya, kata warung memiliki suku kata war dan kata susu memiliki suku kata su sehingga digabung menjadi warsu.
Nama CLBK adalah singkatan yang kepanjangannya Cara Loe Bikin Kopi. Begitu pula, CJDW juga singkatan yang berarti c/seje dhewe, hanya saja singkatan ini diambil dari suku katanya. Nama Janji Jiwa adalah kata majemuk atau penggabungan dua kata. Nama Ngopa-Ngopi Malang merupakan pengulangan kata ngopi dengan perubahan bunyi dari /a/ ke /i/ seperti yang dibahas di atas. Terakhir, nama Alfath Coworking Space & Coffee menunjukkan pengimbuhan antara kata co- dan work- + -ing.
Secara sintaksis, kami menemukan bahwa 82 dari 100 nama kafe merupakan frasa, yaitu nama yang terdiri dua atau lebih unsur dan tiap unsur itu memiliki maknanya sendiri-sendiri. Kami mengelompokkan 82 nama tersebut menjadi frasa menerangkan-diterangkan (MD) dan frasa diterangkan-menerangkan (DM).
Frasa MD, misalnya, adalah Nirmana Kopi, Madakaripura Coffee, dan Sambang Cafe. Kata kopi, coffee, cafe, dan semacamnya merupakan kata generik/umum yang diterangkan dengan kata nirmana, madakaripura, dan sambang sebagai nama diri/khusus. Sementara itu, frasa DM, misalnya, adalah Kopi Jelata, Kedai B38, Coffee C8 Malang, Cafe Cangkir, dan Cangkrukan Manggar.
Selanjutnya, berbagai nama generik yang ada kami kelompokkan berdasarkan makna yang direferensikan. Ada empat makna yang kami temukan, yaitu produk, usaha/tempat usaha, geografi, serta kombinasi produk dan geografi. Makna produk terlihat pada nama-nama kafe yang menggunakan nama kopi, coffee, koffie, dan es kopi. Makna usaha/tempat usaha tampak pada nama bernama generik cafe, warung, warung kopi, warung publik, kedai, kedai kopi, kopitiam, coworking space, coffee house, space & coffee, dan roastery. Makna geografi ada pada nama yang berunsur kata Malang.
Kafe tidak hanya menjadi ruang konsumsi minuman dan makanan, tetapi juga memproduksi dan mengonsumsi berbagai wacana lewat obrolan dan diskusi. ~ Riqko Windayanto Share on XTerakhir, kombinasi kedua makna ada pada nama yang bernama generik Malang, Kopi Kaliurang, dan Coffee Taman Merjosari. Nama-nama generik ini, dengan kata lain, menunjukkan, baik langsung maupun tidak, produk yang ditawarkan, model usaha atau tempat usaha, dan lokasi kafe yang bersangkutan.
Dibandingkan dengan nama generik, nama diri pada nama-nama kafe tentu saja sangat beragam karena nama inilah yang membedakan kafe satu dengan kafe yang lain. Kami menemukan bahwa ada 12 domain makna yang ditunjukkan oleh nama diri pada nama-nama kafe tersebut, yaitu lingkungan sosial, orientasi waktu, aktivitas, identitas pengelolaan, geografi, biotik, tokoh, ekspresi cinta, sifat, penunjuk, pelengkap, dan astronomi. Berbagai domain makna tersebut perlu diperluas ke arah makna kebudayaan atau refleksi sosiokultural sebagaimana implikasi dari perspektif linguistik antropologis yang kami gunakan.
Makna Sosiokultural dalam Nama-Nama Kafe
Kami menemukan bahwa ada kecenderungan untuk menamai kafe dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal itu mengesankan modernitas bahwa kafe dikelola secara modern, baik dalam penyajian produk maupun interior dan kesan yang ditawarkan. Itulah sebabnya, seiring berjalannya waktu, banyak nama kafe menggunakan nama-nama generik semacam coworking space, coffee house, space & coffee, dan roastery.
Kafe tidak hanya menjadi ruang konsumsi minuman dan makanan, tetapi juga memproduksi dan mengonsumsi berbagai wacana lewat obrolan dan diskusi sebagai bentuk euforia di ruang publik pasca-Orde Baru lewat budaya nongkrong dan ngopi. Itulah mengapa, terdapat beberapa nama yang berasosiasi dengan budaya tersebut, seperti Tjakap (bercakap), Cofferensi (konferensi dalam arti berbicara/berdiskusi), Dialoogi (berdialog), dan Koempoel (berkumpul).
Banyak nama-nama kafe di Malang yang merepresentasikan wacana third wave coffee, yaitu kafe yang memiliki peralatan atau mesin pengolah kopi, kenyamanan furnitur, daya tarik karyawan, sajian musik, dan harga. Wacana ini juga tampak pada nama kafe Amstirdam Coffee yang menarasikan asal kopi dan identitas lokal karena Amstirdam berarti Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit. Artinya, kopi di kafe itu dipasok dari empat kecamatan di Kabupaten Malang.
Wacana third wave coffee tidak terlepas dari kondisi di Malang Raya, terutama di Kota Malang, yang banyak dihuni oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi sebagai kalangan muda yang dekat dengan budaya nongkrong dan ngopi. Nama-nama tersebut memuat nilai simbolis yang mencerminkan identitas dan keinginan mahasiswa atas kafe-kafe tersebut, misalnya sebagai tempat bersantai, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan aktivitas ruang publik lainnya.
Lekatnya budaya ngopi membuat banyak kafe berkembang di berbagai lokasi, yang pada lanjutannya lokasi tempat pun menjadi dasar penamaan. Misalnya, Cangkrukan Manggar dan Gladiol Cafe terletak di Jalan Manggar dan Jalan Gladiol, kawasan Soekarno-Hatta. Budaya ngopi tersebut juga sering kali diromantisasi dan memengaruhi penamaan kafe. Nama-nama kafe seringkali melambangkan cinta, perasaan, kenangan, dan kerinduan sehingga kopi tidak hanya terkait dengan minuman, tetapi ekspresi psikologis. Misalnya, Janji Jiwa dan Kopi Sandaran Hati.
Soal Asumsi Peneliti dan Keterbatasan Studi
Penelitian kami, pada akhirnya, menegaskan dasar penelitian bahwa nama-nama kafe sebagai praktik kebahasaan mengarahkan pada praktik kebudayaan sehingga dengan membahas bentuk dan makna kebahasaannya, dapat diketahui makna sosiokultural di balik nama-nama kafe tersebut.
Hanya saja, perlu digarisbawahi bahwa secara metodologis, penelitian ini menggunakan metode reflektif-introspektif. Pembongkaran makna sosiokultural merupakan asumsi peneliti sebagai penutur bahasa Indonesia untuk menerka-nerka makna di baliknya dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman. Pembongkaran makna itu bisa saja berbeda dengan makna yang dibangun oleh pembuat nama kafe. Penguatan secara metodologis, misalnya dengan wawancara terhadap pemilik kafe sebagai pembuat nama, bisa dilakukan untuk validitas yang lebih berterima ke depannya.
Riqko Nur Ardi Windayanto bisa dipanggil Riqko, menamatkan studi S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada pada Februari 2023 dengan memfokuskan bidang minatnya pada filologi (kajian pernaskahan kuno), khususnya naskah-naskah Melayu. Saat ini, ia menjadi asisten peneliti di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dalam penelitian mengenai wabah, bencana, dan penyakit dalam naskah/teks Melayu.
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.