Di mana Posisi Perempuan dalam Pemilihan Umum?
October 22, 2023Memaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
October 23, 2023Makna
Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
oleh Fuadil ‘Ulum
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin mendekat dan perbincangan tentang politik elektoral di Indonesia pun semakin menghangat. Salah satu aspek yang paling menonjol dalam perdebatan ini adalah peran kaum muda dalam proses politik.
Dengan jumlah populasi yang mendominasi, kaum muda dianggap sebagai potensi suara besar yang bisa memengaruhi hasil pemilu. Namun, apakah kita benar-benar memahami kaum muda dengan baik?
Pembahasan mengenai kaum muda dan Pemilu sering kali hanya fokus pada pemenangan, sehingga kita cenderung abai memahami persoalan yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda terlalu sering dianggap hanya sebagai objek, bukan sebagai individu dengan kebutuhan, harapan, dan aspirasi yang beragam.
Sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan adalah jumlah kaum muda yang mencapai 56,5% dari 204,8 juta total daftar pemilih tetap (DPT). Dalam konteks politik, angka ini sudah cukup untuk menggarisbawahi pentingnya memahami kaum muda secara mendalam. Opini dan preferensi mereka memiliki peran sentral dalam proses ini. Tingkat literasi dan perhatian mereka pada isu-isu publik serta dinamika politik berpotensi memengaruhi sikap politik kelompok pemilih lainnya.
Dalam artikel ini, saya akan menggali lebih dalam mengenai tantangan dan potensi yang dihadapi oleh anak muda dalam Pemilu. Kita akan melihat bagaimana kaum muda bisa menjadi subjek yang signifikan dalam Pemilu jika dipahami secara holistik.
Efek Usia dan Efek Generasi
Untuk memahami kaum muda, kita dapat menggunakan dua model penjelasan, yakni efek usia (the consequences of age/life-cycle effects) dan efek generasi (generational effects).
Pertama, penjelasan efek usia mengacu pada ide bahwa seseorang dianggap “muda” ketika mereka berada pada fase transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Ini mencerminkan kondisi umum yang melekat pada kaum muda yang cenderung berubah seiring bertambahnya usia.
Kedua, penjelasan efek generasi menekankan pengalaman unik kelompok usia muda yang dipengaruhi oleh konteks sosial. Ini menunjukkan bahwa karakteristik kaum muda dalam satu era dapat berbeda secara signifikan dari generasi sebelum dan sesudahnya. Yang menarik, model ini berpandangan bahwa karakteristik kaum muda yang dipengaruhi pengalaman unik di masa mudanya tersebut akan cenderung tetap konsisten seiring bertambahnya usia mereka.
Kedua model penjelasan itu relevan untuk memahami dinamika, kebutuhan, dan sikap kaum muda dalam konteks politik. Saya mengambil contoh isu lapangan pekerjaan dan krisis iklim. Pemahaman mengenai efek usia dapat menjelaskan bahwa kaum muda sering kali dihadapkan pada tantangan, seperti disyaratkan memiliki pengalaman ketika melamar pekerjaan pertama yang mereka sendiri pun mengalami keterbatasan pengalaman akibat usianya yang masih muda. Sementara itu, pada isu krisis iklim, kaum muda adalah kelompok di masa depan yang paling terdampak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, entah itu kebijakan yang mengatasi atau malah memperparah krisis iklim.
Di sisi lain, melalui penjelasan efek generasi, kita melihat bahwa kaum muda saat ini memiliki ciri khasnya sendiri. Mereka tumbuh di era teknologi, terhubung di media sosial, dan mengalami dampak krisis pandemi COVID-19 yang memengaruhi interaksi sosial mereka. Dalam hal kebijakan, kaum muda saat ini membutuhkan fasilitas yang memudahkan mereka untuk terkoneksi secara daring, tetapi juga merindukan interaksi langsung di ruang publik, sehingga tetap membutuhkan fasilitas ruang publik yang inklusif. Inilah gambaran kompleksitas yang perlu dipahami terkait aspirasi kaum muda dalam politik.
Ketika kita mempertimbangkan implikasi dari dua model penjelasan itu, kita dapat memahami karakteristik kaum muda dalam Pemilu. Apakah sikap mereka terhadap politik dipengaruhi oleh usia atau lebih oleh pengaruh generasinya, atau justru dipengaruhi kedua model itu sekaligus?
Kedua model tersebut berguna untuk memahami cara mereka terlibat dalam politik dan bagaimana kepentingan mereka dapat diakomodasi. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang dua model penjelasan itu, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan kaum muda dalam Pemilu.
Siapa yang (Berhak) Mewakili Kaum Muda?
Sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Secara formal, bagaimana kondisi keterwakilan politik kaum muda saat ini? Siapa saja yang mewakili kaum muda dalam politik formal? Bagaimana latar belakang politik yang melandasi keterwakilan mereka? Terakhir, yang paling penting adalah sejauh mana kaum muda terjembatani dalam proses politik?
Pada Pemilu 2019, jumlah calon legislatif (caleg) dengan usia di bawah 40 tahun adalah sebesar 27,7% dengan 13,5% di antaranya terpilih sebagai anggota legislatif. Jika melihat ke kelompok umur di bawah 30 tahun, ada 10,2 % caleg dan 4% atau 24 orang di antaranya terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode 2019-2024.
Namun, angka-angka di atas menceritakan lebih dari sekadar statistik. Mereka memunculkan kenyataan tentang latar belakang dan hak istimewa (privilege) politik yang dimiliki oleh kaum muda yang berhasil duduk di kursi parlemen. Misalnya, dari 24 anggota DPR kaum muda, 20 di antaranya memiliki latar belakang politik yang kuat. Mereka berasal dari keluarga yang memiliki modal ekonomi dan sosial yang signifikan, seperti kepala daerah, anggota DPR, pejabat lembaga negara, petinggi partai, pengusaha, dan tokoh masyarakat.
Salah satu aspek lain yang patut diperhatikan adalah pemberian nomor urut 1 dan 2 kepada caleg. Kedua nomor ini biasanya diberikan kepada caleg prioritas yang dianggap memiliki peluang besar untuk menang. Lagi-lagi, dalam beberapa kasus, caleg muda yang mendapatkan nomor urut 1 dan 2 adalah mereka yang memiliki privilese politik, sementara para caleg muda lainnya harus bersaing dalam posisi yang lebih sulit. Hal itu mengisyaratkan bahwa keterwakilan kaum muda dalam politik di Indonesia masih jauh dari ideal.
Dalam Pemilu 2024 nanti, tantangan yang dihadapi kaum muda untuk terlibat dalam politik akan semakin kompleks. Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa isu-isu seperti korupsi menjadi perhatian utama bagi 85% kaum muda, sementara 82% dari mereka juga sangat khawatir terhadap masalah kerusakan lingkungan. Namun, partai politik belum sepenuhnya memprioritaskan isu-isu itu dalam agenda politik mereka. Semua partai politik, dalam survei tersebut, hanya memberikan perhatian kurang dari 5% terhadap isu iklim.
Pada kenyataannya, kaum muda juga menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu publik. Misalnya, mereka memobilisasi berbagai aksi mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti yang terjadi di aksi #ReformasiDikorupsi. Kaum muda juga turut menawarkan solusi nyata atas berbagai persoalan publik lewat beragam inisiatif, seperti KawalPemilu, Kitabisa, BijakMemiilih, dan inisiatif-inisiatif lainnya. Namun, aktivisme politik tersebut masih dianggap tidak terlalu berarti dalam dunia politik praktis. Keterlibatan kaum muda di politik sering kali hanya dinilai sebagai “suara yang berisik (noise)”.
Makanya, pendekatan pemerintah terhadap mereka pun hanya ada dua: antara menggunakan cara mengekang atau malah mengabaikannya. Hal itu cukup berlawanan mengingat suara kaum muda sangat diinginkan ketika Pemilu, tetapi ketika sudah menjabat, suara mereka sering tidak didengar.
Partai Politik Tidak Ramah Kaum Muda?
Tidak heran kalau kaum muda sekarang banyak yang skeptis pada partai politik. Alasannya bermacam-macam. Survei CSIS Indonesia misalnya, menunjukkan bahwa hanya 1,1% dari mereka yang terlibat dalam partai politik. Hal ini menciptakan kesenjangan antara tingginya kekhawatiran kaum muda terhadap isu-isu sosial dan politik dengan rendahnya keterlibatan mereka dalam proses politik formal. Sebagian besar kesenjangan ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan yang rendah terhadap partai politik. Survei PolGov UGM terhadap mahasiswa juga menunjukkan bahwa partai politik adalah salah satu institusi dengan tingkat kepercayaan yang rendah, hanya sekitar 42,08%.
Selain kepercayaan yang rendah, minimnya keterlibatan kaum muda dalam partai politik juga disebabkan oleh struktur politik yang tidak ramah pada mereka. Keterlibatan dalam politik formal masih menghadapkan mereka pada hambatan biaya yang tinggi (high barrier to entry). Sementara mayoritas anak muda menghadapi tantangan lapangan pekerjaan yang nyata, terlibat dalam politik sering kali dianggap mustahil karena memerlukan modal besar. Terlebih lagi, pemerintah baru saja mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dinilai semakin menciptakan ketidakpastian atas jaminan kerja yang layak bagi kaum muda.
Kenyataan itu membuat hanya segelintir kaum muda yang sudah memiliki privilese berupa akses lebih mudah ke modal ekonomi, sosial, dan politik yang bisa melenggang bebas ke panggung politik praktis. Ini menciptakan paradoks di mana peran kaum muda sangat dibutuhkan dalam politik, tetapi peluang mereka untuk terlibat secara substantif masih sangat terbatas.
Selain itu, sistem Pemilu yang ada, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup, juga tidak menjamin keterlibatan kaum muda. Di dalam sistem proporsional terbuka, mereka harus bersaing dengan kandidat lainnya dari partai yang sama. Hal ini menyebabkan mereka harus mengandalkan jejaring dan sumber daya pribadi, yang tidak dimiliki oleh semua kaum muda. Sementara pada sistem proporsional tertutup, kecenderungan kaum muda yang dianggap belum matang, pembangkang, dan tidak bisa diajak kerja sama pun menghalangi peluang mereka untuk dimajukan oleh partai politik. Artinya, partai politik tentu akan lebih mengutamakan kader partai yang bisa dikendalikan dan memberikan keuntungan pragmatis bagi partai.
Kita Bisa Apa?
Kekuatan paling penting yang dimiliki oleh kaum muda dalam politik sebenarnya bukan hanya sebagai pemilih (voters), tetapi juga sebagai rakyat (demos).
Sebagai voters, kaum muda menggunakan hak pilih mereka untuk memilih pemimpin yang mereka percaya mencerminkan visi dan aspirasi mereka. Namun, peran mereka tidak berakhir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang hanya berlangsung selama lima menit. Lebih dari itu, kaum muda adalah rakyat yang memiliki tanggung jawab untuk mengawasi praktik kekuasaan yang terbentuk dari hak pilih yang mereka gunakan. Dengan cara pandang itu, partisipasi kaum muda seharusnya tidak hanya terbatas pada keikutsertaan dalam pemilihan pemimpin setiap lima tahun sekali.
Kita, sebagai kaum muda, memiliki potensi besar untuk mengorganisasi diri dan menjadi bagian integral dari proses politik yang berkelanjutan. ~ Fuadil 'Ulum Share on XKita, sebagai kaum muda, memiliki potensi besar untuk mengorganisasi diri dan menjadi bagian integral dari proses politik yang berkelanjutan. Peran kaum muda dalam mengawasi kinerja para pemimpin dan mendorong pertanggungjawaban politisi harus menjadi tugas jangka panjang yang melekat dalam kesadaran kita. Kita tidak cukup hanya mengalir dalam euforia kampanye dan awal keterpilihan pemimpin. Peran sejati kita sebagai demos terletak pada kemampuan kita untuk tetap kritis dan berpartisipasi dalam mengawasi tindakan pemerintah sepanjang masa jabatan mereka.
Bacaan Lebih Lanjut
Bal, S. et al. (2003). The role of social support in well-being and coping with self-reported Cammaert, Bart. et al. (2016). Youth Participation in Democratic Life: Stories of Hope and Disillusion. London: Palgrave Macmillan. Faisal, Muhammad. (2017). Generasi Phi: Memahami Milenial Pengubah Indonesia. Jakarta: Republika. Suzanne Naafs & Ben White. (2012). Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies, The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:1, 3-20, DOI: 10.1080/14442213.2012.645796 |
Fuadil ‘Ulum bekerja sebagai peneliti di Pusat Kajian Politik, Universitas Indonesia (Puskapol UI). Selama bekerja, ia terlibat dalam beberapa kegiatan penelitian dan advokasi mengenai Pemilu, masyarakat sipil, dan isu-isu lain terkait demokratisasi. Secara personal, ia tertarik dengan isu-isu mengenai ketimpangan, kaum muda, dan politik digital. Saat ini ia sedang terlibat dalam riset yang membahas mengenai penerapan digital government di Indonesia.
Artikel Terkait
Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
Masyarakat patriarki membayangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga, memiliki karakter dominan, tidak emosional, dan tidak rapuhMemaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
Di Catatan Pinggir ini, Elvira Rumkabu (Ira) bercerita tentang pandangan politiknya sebagai seorang perempuan Papua. Ira tersadar bahwa perempuan Papua perlu terlibat di politik praktis untuk merebut kekuasaan yang didominasi karakter maskulin.Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
Kaum muda memang penting berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi, sudahkah dunia politik praktis ramah pada kaum muda? Bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik?