Konsep Mini
1. Penghayat Kepercayaan
Individu atau kelompok yang menganut sistem kepercayaan yang tidak terdaftar dalam enam agama resmi di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu). Sering kali memiliki tradisi dan praktik spiritual yang berbeda dari dari agama-agama arus utama seperti agama leluhur.
2. Mayoritarianisme
Istilah yang merujuk pada praktik yang mengedepankan dominasi atau pengaruh mayoritas dalam konteks sosial, politik, atau agama. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kelompok mayoritas mendominasi atau mempengaruhi kebijakan dan norma masyarakat.
Di Indonesia, penghayat kepercayaan memang sudah mengalami sejarah panjang diskriminasi akibat politik agama, yaitu upaya negara yang memasukkan penganut agama ke dalam kategori agama yang diakui (agama resmi) dan agama yang tidak diakui (agama tidak resmi).
Politik agama menjadikan agama sebagai alat legitimasi kuasa dan kontrol terhadap warga negara yang menganut agama atau kepercayaan yang dianggap berbeda. Upaya politik itu dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan memobilisasi tekanan massa atas nama kepentingan dan identitas agama mayoritas. Agama mayoritas dianggap sebagai kelompok utama dan berhak membuat keputusan terkait kepentingan masyarakat secara keseluruhan—selanjutnya disebut dengan mayoritarianisme. Praktik semacam itu sering dilakukan melalui kekuatan partai politik, bahkan juga campur-tangan negara lewat kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Lewat politik agama, Samsul Maarif, dalam bukunya Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur, mengatakan bahwa agama didefinisikan secara eksklusif berdasarkan perspektif agama dominan. Negara menentukan mana yang beragama dan yang tidak/belum beragama. Kelompok-kelompok yang dianggap tidak penting secara politik menjadi sulit diakomodasi dalam sketsa kewargaan di Indonesia. Potret buram itu menunjukkan kuatnya mayoritarianisme dalam kenyataan politik dan berbangsa di Indonesia.
Diskriminasi melalui politik agama di Indonesia berawal ketika sistem parlementer yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo jatuh, walau telah berhasil memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 dengan perolehan suara 60%. Ketidakmampuan pemerintahan Ali menangani berbagai persoalan membuat Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin, yaitu pembentukan sistem pemerintahan baru yang ditandai dengan pengesahan Dekrit Presiden 1959. Presiden Soekarno (dan Angkatan Darat) menempatkan diri sebagai pemegang kekuasaan independen di luar kendali parlemen yang kekuasaannya tidak dapat dijatuhkan.
Karakteristik sistem politik pada masa Demokrasi Terpimpin adalah otoriter, sentralistik, dan terpusat. Hasilnya kemudian adalah produk hukum yang sama: otoriter, sentralistik, dan terpusat. Mengenai itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam Teori Hukum Responsif, menunjukkan bahwa karakteristik sistem politik dari pemerintahan yang berkuasa akan sangat menentukan karakter dari produk hukum yang dihasilkan. Semakin otoriter suatu rezim, semakin otoritatif pula hukum yang ditetapkan.
Benar saja, sebagai akibat dari adanya Dekrit Presiden 1959, muncul penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dengan lahirnya jenis peraturan baru, yaitu Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem norma hukum di Indonesia.
Pada saat itu, pemerintah mengesahkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang muncul sebagai respon atas berkembangnya berbagai organisasi kebatinan atau kepercayaan dalam masyarakat. Mereka dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama dan dipercaya sebagai bentuk pelanggaran hukum yang menyalahgunakan serta menodai agama. Bahkan, disebutkan pula bahwa berkembangnya organisasi-organisasi tersebut akan membahayakan ‘kesucian’ agama-agama yang ada.
Konteks lain yang melatarbelakangi lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut adalah ketegangan politik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai berhaluan agama. Menteri Agama pada saat itu, KH. Saifudin Zuhri, dalam biografinya, menuliskan bahwa hasutan politik oleh PKI telah mempromosikan ateisme (tidak mengakui adanya Tuhan) yang berpotensi merongrong kredibilitas agama dan golongan pemuka agama.
Tudingan itu menguat seiring kemenangan golongan komunis di beberapa negara, seperti China dan Vietnam. Dengan demikian, ketegangan politik antara PKI dan beberapa partai berbasis agama yang saling melecehkan dasar ideologi masing-masing telah berdampak buruk pada posisi kelompok penghayat kepercayaan.
Tak dapat dipungkiri, telah terjadi pula pergeseran pendekatan dari cara-cara damai menjadi serangan-serangan agresif dalam berpolitik. Pada saat yang sama, terjadi juga ketegangan antara penghayat kepercayaan dan kelompok agama, terutama di wilayah yang menjadi basis penghayat kepercayaan.
Salah satu ilustrasi mengenai ketegangan tersebut tampil dalam karya Clifford Geertz, ahli Indonesia asal Amerika Serikat, berjudul Modjokuto: The Social History of Indonesian Town yang terbit pada tahun 1965. Perjalanan etnografi Geertz meninggalkan jejak dan menjadi hikayat bagi kajian antropologi agama. Geertz, dalam kajian itu, menampilkan Modjokuto sebagai salah satu wilayah di Jawa Timur yang mengalami Kristenisasi dan Islamisasi.
Di Modjokuto, Islam menjadi agama mayoritas walaupun, pada mulanya, kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sapto Darmo paling diminati masyarakat sekitar era 1950-an hingga 1960-an. Sayangnya, keberadaan kepercayaan lokal itu tidak berumur panjang setelah terjadinya benturan politik antara santri atau putihan (kelompok yang mempraktikan Islam secara ‘murni’) dengan abangan (kelompok yang mempraktikan Islam berpadu dengan tradisi lokal) menjelang meletusnya peristiwa 1965. Sejak saat itu, praktik beragama yang inklusif mengakomodasi kelompok penghayat kepercayaan mengalami pergeseran dan perubahan drastis sampai menumbangkan eksistensi mereka di kota itu.
Politisasi agama pun terjadi kian masif setelah tragedi 1965. Secara terang-terangan, masyarakat dipaksa untuk memilih lima agama resmi versi pemerintah. Orang-orang abangan yang secara politik lebih banyak menyandarkan harapan dan cita-cita keadilan kepada PKI “dihabisi” tanpa ampun, kecuali mereka yang berlindung di bawah payung agama untuk menyelamatkan keluarganya. Mereka, secara perlahan, teralienasi dari kelompoknya dan beralih ke wadah organisasi keagamaan ‘resmi’ untuk melindungi diri. Jika tidak, mereka akan dikejar-kejar oleh Tim Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem).
Praktik itu masih terus berlangsung sampai Orde Baru berkuasa. Ada satu masa dimana para penghayat kepercayaan merasa dirangkul, misalnya saat pengesahan TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1973 yang mengakui kesetaraan antara agama dan kepercayaan. Sayangnya, begitu cuaca politik berubah, kelompok penghayat kepercayaan kembali dijatuhkan seiring kebutuhan politik rezim Orde Baru untuk merangkul kelompok agama ‘resmi’.
Perlahan, upaya penghayat kepercayaan untuk meraih kesetaraan memperoleh titik terang ketika Mahkamah Konstitusi memutus kata agama setara dengan kata kepercayaan melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut perlu dihargai sebagai ‘capaian antara’ yang tidak dapat terwujud tanpa kerja-kerja advokasi dan pendampingan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil. Putusan tersebut juga merupakan buah dari kerja-kerja kolaboratif yang berjalan di komunitas penghayat dan agama leluhur. Sebagai capaian antara, pendakian menuju kesetaraan itu masih terjal dan panjang. Upaya ini memerlukan kolaborasi dan iklim politik yang kondusif bagi tumbuhnya kewargaan yang inklusif.
Kolaborasi lintas sektor, seperti yang dilakukan oleh beberapa organisasi dalam Intersectoral Collaboration of Indigenous Religion (ICIR), tentu saja memerlukan atmosfer politik yang demokratis. Demokrasi, dalam konteks ini, tidak terletak pada kondisi demografis dan statistik yang hanya melihat jumlah populasi terbanyak. Pendek kata, demokrasi tidak identik dengan kehendak mayoritas, melainkan pada pilihan untuk tidak meninggalkan kepentingan mereka yang lemah. Prinsip ini harus menjadi pondasi agenda kewargaan yang menjamin partisipasi dan pengakuan/rekognisi berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Dalam konteks itu, penghayat kepercayaan harus dipandang sebagai subjek dengan hak yang sama dengan agama-agama “resmi” untuk berpartisipasi dalam Pemilu serta memilih calon yang mereka anggap sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka. Selain itu, penghayat kepercayaan juga memiliki hak yang sama untuk mengajukan diri sebagai kandidat dalam pemilihan umum.
Sayangnya, sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membawa angin segar, saya mengamati hal itu juga menimbulkan ketegangan antara ‘penghayat yang beragama’ dan ‘penghayat murni’. Jaminan legal bagi penghayat kepercayaan untuk ‘terintegrasi’ dengan negara tidak serta merta menyelesaikan masalah stigma yang terlanjur laten akibat dampak dari diskriminasi berlarut terhadap mereka.
Beberapa penghayat kepercayaan yang tergabung dalam organisasi penghayat memilih menuliskan ‘agama’ di identitas kependudukannya. Sebaliknya, tidak semua penghayat kepercayaan bersedia melakukan hal semacam itu. Pertimbangannya beragam, tetapi salah satu yang cukup dominan adalah soal harmoni di lingkungan sosialnya. Mereka, yang memilih tidak mengubah identitas kependudukan menganggap hal itu akan mengubah relasinya dengan anggota masyarakat di lain sekitarnya.
Di satu sisi, terkait mayoritarianisme dan demokrasi, perlu diterima juga bahwa anggapan suara penghayat kepercayaan tidak signifikan adalah bagian dari proses demokrasi itu sendiri. Aspek mayoritas dan minoritas tentu selalu menjadi isu dalam perjalanan demokrasi di negara mana pun. Namun, Robert Hefner, Antropolog asal Amerika Serikat, dalam Agama Leluhur dan Kemajuan Besar Demokrasi Indonesia, berpesan kalau yang jauh lebih mendasar sebenarnya bukanlah soal siapa mayoritas dan siapa yang minoritas, melainkan perjalanan dan pengalaman bersama dalam memperkuat martabat manusia.
Kita memerlukan cara pandang yang lebih optimis terhadap proses demokrasi yang bermakna dan berpihak pada kelompok minoritas (keagamaan). ~ Valerianus Beatae Jehanu Share on XPerlu disadari bahwa persoalan mayoritarianisme, yang seringkali muncul dalam dinamika elektoral, sesungguhnya tidak hanya terjadi di komunitas agama di Indonesia. Fenomena itu merupakan dampak dari dinamika politik yang muncul di berbagai tempat. Memelihara sentimen yang saling mengeksklusikan berdasarkan identitas sudah menjadi pola yang sering dipakai oleh banyak tokoh politik dan di banyak tempat. Makanya, kita memerlukan cara pandang yang lebih optimis terhadap proses demokrasi yang bermakna dan berpihak pada kelompok minoritas (keagamaan).
Amanah Nurish. 2019. Agama Jawa: Setengah Abad Pasca Clifford Geertz. LKiS, Yogyakarta. Clifford Geertz. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Komunitas Bambu, Depok. Muhammad Isnur (ed.). 2012. Agama, Negara, dan Hak Asasi Manusia. LBH Jakarta. Samsul Maarif. 2017. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia. Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Zainal Abidin Bagir, Asfinawati, Suhadi, dan Renata Arianingtyas, 2019. Membatasi Tanpa Melanggar: Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies, CRCS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. |
Valerianus Beatae Jehanu adalah Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia pernah bekerja untuk pendidikan politik dan advokasi kebebasan beragama atau berkepercayaan di Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Saat ini, ia juga aktif sebagai Kepala Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart