Masalah Sosial, Solusinya Apa?
June 26, 2022Muhammad Qatrunnada Ahnaf
July 6, 2022Makna
Berfilsafat: Apa Gunanya?
oleh Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Filsafat terkenal abstrak, sulit, dan tidak menjangkau keseharian manusia. Jika benar begitu, lalu sebenarnya apa itu filsafat? Apakah filsafat adalah suatu jenis “ilmu” sama seperti sains dan ilmu sosial? Lalu, apa produk dari filsafat dan adakah manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari kita?
Filsafat itu muluk-muluk. Pernyataan tersebut cukup mewakili pikiran awam perihal filsafat. Bagaimana tidak, filsafat memang membingungkan bagi pembaca umum karena filsafat sekilas tidak menyentuh kehidupan sehari-hari.
Berbicara soal berfilsafat tentu tidak lepas dari pembahasan mengenai filsafat. Itulah mengapa pembahasan ini dimulai dengan penjelasan singkat mengenai filsafat. Untuk memudahkan kita dalam memahami filsafat, kita juga akan telaah kedudukan filsafat terhadap keilmuan. Kemudian, kita akan menelaah apa saja paradigma utama dalam berfilsafat serta bagaimana paradigma tersebut berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Apa itu Filsafat?
Secara sederhana, filsafat mencakup tiga cabang: metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Metafisika bukanlah ilmu klenik, melainkan studi tentang hakikat realitas. Epistemologi merupakan studi tentang hakikat pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan studi tentang hakikat nilai. Hakikat adalah asas atau prinsip yang mendasari suatu hal. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa filsafat merupakan sebuah studi tentang asas atau prinsip yang mendasari realitas, pengetahuan, maupun nilai.
Memang benar bahwa filsafat itu abstrak. Karena filsafat itu abstrak, wajar saja para filsuf memiliki pandangan yang beragam. Berbagai pandangan filsuf tersebut lahir dari usaha mereka dalam menjawab pertanyaan filosofis terkait realitas, pengetahuan, maupun nilai. Usaha tersebutlah yang dimaksud dengan berfilsafat, dan jawaban yang muncul darinya akan memperlihatkan aliran filsafatnya. Berikut beberapa pertanyaan, aliran, serta jawaban dalam filsafat:
Berbagai aliran tersebut memberikan landasan teoretis, baik secara metafisik, epistemik, maupun aksiologis, untuk berkembangnya sebuah keilmuan. Semisal rasionalisme dalam keilmuan matematika. Kemampuan akal/rasio manusia dalam mengolah angka menjadi landasan epistemik kuat mengapa matematika merupakan sebuah bentuk pengetahuan yang sah. Di sisi lain, meski empirisme dapat dijadikan landasan untuk matematika dasar, tentu sangat sulit menjadikannya sebagai landasan untuk matematika tingkat lanjut; mengingat bahwa matematika tingkat lanjut cukup jauh dari pengalaman indrawi seperti angka kompleks -1 maupun bentuk geometris berdimensi lebih dari tiga.
Pada kasus lain, empirisme memberikan landasan epistemik yang kuat untuk keilmuan berbasis eksperimen, seperti fisika. Meski akal/rasio manusia juga memiliki peran, akal/rasio saja tidaklah cukup apabila tidak ada peran pengalaman indrawi dalam proses keilmuan berbasis eksperimen. Itulah mengapa rasionalisme tidak cukup kuat menjadi landasan untuk keilmuan berbasis eksperimen. Nah, sejauh ini dapat dipahami bahwa filsafat berperan penting dalam proses keilmuan, yakni memberikan landasan teoretis untuk berkembangnya sebuah keilmuan.
Paradigma Berfilsafat
Setiap filsuf memiliki ciri khas berfilsafatnya masing-masing, meski bukan berarti berfilsafat itu suka-suka filsuf. Walaupun filsafat itu abstrak, berfilsafat itu konkret. Secara umum, terdapat tiga paradigma utama dalam proses berfilsafat: kritis, argumentatif, dan komprehensif.
a. Kritis
Kritis bukan berarti nyinyir, melainkan melakukan penelaahan secara aktif mengenai asumsi maupun konsekuensi di balik sesuatu. Dengan kata lain, berfilsafat itu hendak mengungkap asumsi maupun konsekuensi yang mungkin sebelumnya tidak terpahami secara jelas.
Kritis bukan berarti nyinyir, melainkan melakukan penelaahan secara aktif mengenai asumsi maupun konsekuensi di balik sesuatu. ~ Muhammad Qatrunnada Ahnaf Share on XSifat kritis tidak hanya diperlukan untuk sebuah argumen, seperti dalam perdebatan. Secara umum, sifat kritis mencakup segala hal yang berhubungan dengan realitas, pengetahuan, dan nilai. Sehingga, sifat kritis dapat ditujukan pada fenomena sosial, kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian, dan sebagainya.
Sifat kritis tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati. Bagaimanapun, sifat kritis tetap terbatas pada kaidah-kaidah penalaran. Dengan demikian, sekadar menilai suka-tidak suka atau baik-buruk saja tidaklah bersifat kritis.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menerapkan sifat kritis dengan cara mempertanyakan asumsi dan konsekuensi dari informasi atau fenomena yang kita dapat atau hadapi. Terkadang kita sudah terbiasa untuk menerima begitu saja informasi maupun fenomena yang kita dapat atau hadapi. Kebiasaan tersebut dapat kita ubah dengan belajar untuk berpikir secara perlahan dan mempertimbangkan secara saksama sebab-musabab serta konsekuensi yang dihasilkan. Dengan demikian, kita membiasakan diri untuk terhindar dari informasi yang sesat dan konsekuensi yang tidak diinginkan.
b. Argumentatif
Berfilsafat itu bersifat argumentatif, namun bukan berarti berfilsafat itu gunanya hanya untuk berdebat. Argumentatif di sini berarti memiliki alur penalaran yang berdasar. Itulah mengapa logika menjadi hal yang penting dalam proses berfilsafat.
Logika merupakan studi tentang penalaran. Penalaran merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan dari hal-hal yang sudah ditentukan atau diketahui. Secara umum, terdapat dua bentuk penalaran: deduktif dan induktif.
Penalaran deduktif adalah bentuk penarikan kesimpulan yang sahih/valid dari premis yang benar atau diasumsikan benar. Sahih/valid berarti kebenaran kesimpulan yang ditarik dijamin oleh kebenaran premisnya. Dengan kata lain, penalaran deduktif bersifat pasti.
Terdapat berbagai pola penalaran deduktif. Di sini kita akan gunakan modus ponens sebagai contoh penalaran deduktif.
Semisal kita telah ketahui bahwa:
“Jika sekarang hujan maka sekarang jalanan basah.”
Kita juga tahu bahwa:
“Sekarang hujan.”
Dengan demikian, secara deduktif, dapat kita tarik kesimpulan bahwa:
“Sekarang jalanan basah.”
Berikut merupakan bentuk dari pola modus ponens:
Premis 1: Jika A maka B
Premis 2: A
Kesimpulan: B
Meski pola modus ponens bersifat pasti, perlu dipahami bahwa kepastian kesimpulannya itu hanya berlaku sejauh premisnya benar. Apabila premisnya ternyata keliru, kesimpulannya bisa jadi juga keliru.
Selain penalaran deduktif, terdapat pula penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan bentuk penalaran probabilistik dari bukti-bukti yang mendukung. Semakin sering muncul bukti yang mendukung, semakin kuat atau tinggi probabilitas kesimpulan penalaran induktif; begitu juga sebaliknya. Bagaimanapun, penalaran induktif bersifat tidak pasti meskipun kesimpulannya kuat.
Seperti penalaran deduktif, terdapat berbagai pola penalaran induktif. Salah satunya adalah pola pengulangan. Seperti namanya, pola pengulangan menarik kesimpulan dari bukti yang terjadi secara berulang. Misal:
“Setelah minum soda dan kopi susu, seseorang merasakan sakit perut.”
Pada keesokan harinya:
“Setelah minum soda dan jus mangga, ia merasakan sakit perut.”
Di lain waktu:
“Setelah minum soda dan air putih, ia kembali merasakan sakit perut.”
Berdasarkan pada ketiga bukti tersebut, secara induktif, dapat disimpulkan bahwa:
“Minum soda mungkin (probable) menyebabkan sakit perut.”
Berikut merupakan bentuk dari pola pengulangan:
Bukti 1: A dan B, setelah itu Z
Bukti 2: A dan C, setelah itu Z
Bukti 3: A dan D, setelah itu Z
…
Bukti …: A dan …, setelah itu Z
Kesimpulan: A mungkin menyebabkan Z
Kesimpulan dari pola pengulangan di atas hanya bersifat mungkin (probable) berdasarkan bukti yang mendukung. Bisa jadi bukan soda yang menyebabkan sakit perut, melainkan bisa saja disebabkan oleh kopi susu, jus mangga, dan air putih—mungkin kebetulan saja ketiganya tercampur dengan air yang terkontaminasi. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa soda lah sebab yang lebih mungkin daripada ketiga yang lain. Probabilitas kesimpulan tersebut semakin kuat apabila semakin banyak bukti yang mendukung.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mempertajam kemampuan berpikir kita dengan menerapkan sifat argumentatif. Salah satu caranya adalah dengan belajar merumuskan informasi menjadi poin-poin premis dan kesimpulan sehingga kita dapat memahami secara jelas alur informasinya. Bagaimanapun, mempelajari lebih dalam tentang logika merupakan sebuah keharusan apabila ingin mempertajam kemampuan berpikir.
c. Komprehensif
Komprehensif berarti bersifat menyeluruh dan berhubungan dengan pemahaman. Ini berarti berfilsafat itu tidaklah setengah-setengah, tidak pula meloncat, dan harus dapat dipahami. Dengan kata lain, berfilsafat berarti selalu mencoba untuk memahami sesuatu secara utuh. Bagaimanapun, maksud dari “dapat dipahami” bukan berarti mudah dipahami. Berfilsafat akan membuka jalan untuk mencapai sebuah pemahaman meski terkadang sulit untuk dilewati.
Berfilsafat akan membuka jalan untuk mencapai sebuah pemahaman meski terkadang sulit untuk dilewati. ~ Muhammad Qatrunnada Ahnaf Share on XSecara umum, sifat komprehensif berhubungan langsung dengan kejernihan pikiran. Kejernihan dalam berpikir ditandai dengan pemahaman yang utuh. Pikiran yang tidak jernih akan kesulitan dalam berfilsafat, apalagi yang tidak menggunakan pikirannya. Belajar berfilsafat akan membantu kita untuk menjernihkan pikiran kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapatkan informasi yang setengah-setengah. Sifat komprehensif dapat diterapkan dengan jalan melatih diri untuk selalu mencari informasi lain yang berhubungan sehingga pemahaman kita utuh. Selain itu, kita juga perlu membiasakan diri untuk merefleksikan isi pikiran kita. Ini bukan berarti saya menyuruh kalian untuk overthinking, melainkan mengajak untuk belajar mencerminkan isi pikiran kita kembali.
Kita dapat merefleksikan isi pikiran kita dengan menanyakan pertanyaan kritis kepada diri kita sendiri. Contoh: Apakah ada informasi yang belum kita ketahui dengan jelas? Apakah ada hubungan yang melompat dari hal-hal yang sudah kita ketahui? Apakah ada asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang kita ketahui? Apakah ada konsekuensi yang belum kita sadari dari hal-hal yang kita setujui dan sepakati? Dengan begitu, secara perlahan, kita belajar untuk menjernihkan pikiran dan pemahaman kita sendiri. Pada prosesnya, kita juga belajar secara perlahan untuk berpikir secara mandiri dan melepaskan diri dari belenggu pikiran dan pendapat orang lain yang bisa jadi carut-marut.
Bacaan Lebih Lanjut
Kattsoff, Louis O. 2006. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Copi, Irving M., Carl Cohen, dan Victor Rodych. 2019. Introduction to Logic. New York: Routledge. |
Muhammad Qatrunnada Ahnaf, mahasiswa S2 Fakultas Filsafat UGM yang sedang meneliti tentang filsafat logika.
Artikel Terkait
Tidak Pernah Ada yang Biasa Saja dalam Estetika
Di kehidupan sehari-hari, estetika umum diartikan sebagai sesuatu yang indah. Apa benar estetika hanya tentang keindahan visual saja?Bagaimana menjadi Manusia yang Baik?
Kita semua diharapkan menjadi orang yang baik oleh orang tua maupun diri sendiri. Namun, bagaimana cara menjadi manusia yang baik? Bukankah ada beragam kriteria “baik”? Jadi, apakah label “manusia yang baik” itu tidak universal dan bersifat subjektif saja?Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath
Fenomena konsumerisme semakin umum ditemukan dalam diskusi ekonomi masyarakat kontemporer. Bagaimanakah ilmu filsafat menjelaskan fenomena konsumerisme di masyarakat? Yuk baca penjelasan dari LSF Cogito.