“XX” & “XY” dan Segala Sesuatu yang Mengikutinya
May 30, 2018Pernikahan dan Kekerabatan sebagai Transaksi
September 15, 2018Catatan Pinggir
Menjadi Ayah dan Hidup Seperti Seharusnya
oleh Wiko Rahardjo
Pengantar Redaksi:
Pada artikel ini, Wiko Rahardjo (jurnalis) membagikan pengalamannya tentang pertama kali menjadi seorang ayah. Pendekatan humanisnya dalam bercerita menawarkan cara pandang yang berbeda tentang peran ayah dalam keluarga, khususnya dalam pemberian perawatan (caregiving). Kegelisahan, kebingungan dan ketidaksiapan Wiko menjadi ayah mengingatkan kita kembali tentang betapa masih lekatnya gender dalam pembagian kerja dalam keluarga modern.
Ketika orang bertanya soal profesi, saya selalu dengan mudah menjawab bahwa saya seorang penulis. Kemudian banyak dari mereka akan bilang, oh, ya, bisa ditebak.
“Ketika kami berlomba, Aku berlari bagaikan sebuah badan, dan anakku adalah hatiku”
—Dick Hoyt
Rick Hoyt, putra Dick Hoyt, lahir dalam tubuh yang tak sempurna. Ia didiagnosa mengidap cerebal palsy saat lahir. Kondisi itu membuatnya harus menjalani hidup di kursi roda. Otot-ototnya mungkin saja lumpuh tapi semangatnya untuk bisa melakukan apa yang dilakukan orang normal tak mati.
Ia lulus dari Universitas Boston pada 1993 dan bekerja di laboratorium Boston College. Pekerjaannya adalah menciptakan program-program komputer khusus penyandang cacat. Pada tahun 2014, Rick mencapai garis akhir Boston Marathon di usianya yang ke-52. Dan itu merupakan acara ke-32 dari lomba lari paling bergengsi di dunia yang pernah ia ikuti sekaligus menjadi tahun terakhirnya menggeluti marathon.
Rick memang tergila-gila dengan lomba lari. Momen lomba pertamanya terjadi di tahun 1977. Ia katakan kepada ayahnya, Dick, ia bisa membuktikan jika disabilitas bukan halangan untuk menikmati hidup. Dick, ketika itu berusia 36, memenuhi keinginan sang anak untuk menyelesaikan lintasan lari sejauh 8 km. Ia berlari sambil mendorong Rick yang duduk di kursi roda.
Momen itu juga sekaligus mengubah hidup Dick sebagai seorang ayah. Ia harus berlatih lari setiap hari dengan mendorong kursi roda yang berisi kantung semen, sementara Rick bersekolah. Di Amerika, pasangan ayah dan anak ini dikenal sebagai Tim Hoyt. Sampai dengan tahun 2016 mereka telah mengikuti kurang lebih 1130 lomba atletik, 32 Boston Marathon, 72 lomba marathon lainnya, dan 7 Ironman Triatlon. Selain itu, mereka berhasil menyelesaikan lari dan bersepeda melintasi benua Amerika dengan jarak hingga 6.010 km dalam waktu 45 hari pada tahun 1992.
Saat pertama kali mendengar kabar bahwa Har, teman dekat saya, baru saja dianugerahi anak pertamanya, satu hal yang tidak sabar ingin segera saya tanyakan adalah: bagaimana rasanya menjadi seorang ayah?
Menikmati kehidupan yang baru sebagai suami dan seorang ayah, saya merasakan tak ada yang jauh lebih menyenangkan dari apapun di dunia ini. ~ Wiko Rahardjo Share on XSaat saya berada di ruang tamu mungilnya, duduk berhadapan dengan dia, saya langsung mengajukan pertanyaan itu sebagai dialog pembuka pertemuan kami berdua.
“Susah dijelaskan, bro. Tak ada yang lebih menyenangkan dari ini,” katanya dengan mata berbinar-binar dan mulut yang seolah tak bisa menemukan bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam otak.
Sepanjang pertemuan itu, tangisan kecil dari bilik kamar selalu menginterupsi obrolan kami. Har akan segera bergegas menuju kamarnya sambil bilang, “Sebentar.” Saya langsung menyadari ada yang berubah dalam diri Har. Tapi tak bisa menemukan apa perubahan itu.
Di tahun berikutnya giliran saya yang dianugerahi seorang anak. Har memberi ucapan selamat namun tak pernah menanyakan tentang bagaimana rasanya menjadi seorang ayah, seperti yang pernah saya sampaikan kepadanya dulu.
Saya harus mengakui bahwa sebelum menikah dan memiliki seorang anak, saya mudah tergoda untuk pergi ke Taman Ismail Marzuki (TIM) atau seputaran Cikini, menikmati pertunjukan teater atau sekedar menyantap bebek goreng sambal cabe ijo di pinggir jalan saat malam hari sambil bersenda gurau dengan teman-teman wartawan lainnya. Semenjak menikah dan memiliki anak, saya mulai mengurangi kebiasaan itu dan beberapa kebiasaan lain yang saya pikir tidak lebih penting daripada segera berada di rumah bersama anak dan istri.
Toko buku adalah tempat kedua selain kamar tidur yang selalu membuat saya nyaman. Per satu bulan, rata-rata saya membeli tiga buah buku yang kadang baru benar-benar saya baca di tahun berikutnya. Tapi itu dulu, sebelum saya memiliki anak. Sekarang, saya dan istri harus benar-benar menghitung biaya tak terduga yang mungkin saja datang demi anak kami.
Tak ada yang lebih menyenangkan daripada mengajari teman laki-laki yang baru memiliki anak. Tidak peduli seberapa suka dia terhadap saran yang saya berikan, namun momen saat membagikan pengalaman membesarkan anak adalah hal yang paling saya suka. Saya mendadak menjadi pakar ‘ayah.’
Saat hadir di hari pertama anak memasuki sekolah, saya merasakan kembali apa yang saya rasakan saat pertama kali dulu masuk sekolah. Bedanya, jika dulu timbul ketakutan bertemu dengan teman yang nakal atau guru yang galak, kali ini saya memiliki ketakutan anak saya akan mengalami hal serupa. Seorang teman kadang menasehati untuk tidak terlalu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu dan hidup memang seperti itu seharusnya.
Saya pernah mendengar jika setiap bentakan yang keluar dari mulut orangtua terhadap anaknya, akan memutus satu sel di dalam otaknya. Mitos atau fakta? Saya tak pernah tahu jawabannya. Tapi menahan untuk tidak marah dengan membentak saat anak berbuat kesalahan, sumpah, itu sama sulitnya dengan menahan kantuk berat. Menjadi ayah mengajarkan saya untuk lebih sabar. Bukan untuk satu dua tahun, tapi sepanjang sisa usia ini.
Menikmati kehidupan yang baru sebagai suami dan seorang ayah, saya merasakan tak ada yang jauh lebih menyenangkan dari apapun di dunia ini.
Sejak kecil saya terprovokasi oleh Indiana Jones, ingin menjalani hidup dengan berpetualang dari satu episode ke episode berikutnya, menghadapi tantangan. Kini sudah hampir delapan tahun petualangan penuh tantangan itu saya jalani, bersama istri dan anak. Petualangan yang kadang membuat saya menangis dan hampir putus asa. Petualangan yang setiap detiknya selalu mengubah hidup saya.
Saya mungkin tak setegar Dick Hoyt. Yang pasti, karena ini selalu menyenangkan, saya menikmati petualangan yang sesungguhnya itu. Karena hidup memang seperti seharusnya.