Upaya Mendorong Kesetaraan Gender di Indonesia
May 18, 2022Masalah Sosial, Solusinya Apa?
June 26, 2022OPINI
Code Switching Sebagai Solusi Terjemahan Diskriminatif Minoritas Seksual dan Gender
oleh Arie Raditya
Penggunaan kata “normal” sebagai terjemahan kata “straight” mengindikasikan adanya makna “abnormal” terhadap minoritas seksual dan gender dalam konten digital. Hal itu menunjukkan bahwa produk terjemahan justru memberikan stigma diskriminatif terhadap mereka. Untuk mengatasinya, mengapa penerjemah tidak menggunakan teknik code switching saja?
Konten digital telah menjadi produk komoditas. Keberadaannya yang semakin berkembang didukung oleh streaming platform, media sosial, dan cepatnya pertumbuhan teknologi. Globalisasi juga mendorong masuknya konten-konten queer ke Indonesia. Tidak jarang konten-konten queer yang mainstream di luar negeri menjadi tontonan guilty pleasure masyarakat Indonesia karena mudahnya akses yang ada. Beberapa judul series seperti Rupaul’s Drag Race, Heartstopper, dan Young Royals berhasil merebut hati penggemar dari seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Terjemahan Berbias Gender
Dalam distribusinya, beberapa konten tersebut melewati proses lokalisasi, atau lebih awam dikenal dengan “proses penerjemahan”. Lokalisasi biasanya dilakukan karena ada target pasar yang dinilai layak untuk diraih agar proses menikmati konten menjadi lebih nyaman. Proses ini kerap dilakukan dalam distribusi buku dan konten audio visual, seperti film, drama, serta video gim. Para fans tentu akan lebih senang menikmati konten asing dengan versi bahasa ibu masing-masing karena lebih mudah untuk dicerna.
Tiga judul diatas merupakan produk drama yang ditayangkan oleh streaming platform Netflix. Ketiganya memiliki fandom yang cukup kuat, tersebar di situs diskusi Reddit, Discord, dan Telegram. Tentunya Indonesia tidak ketinggalan untuk diberikan produk terjemahan, bahkan untuk Heartstopper: tidak hanya terdapat takarir tetapi juga penyulihan suara.
Permasalahan terjadi saat produk terjemahan justru memberikan stigma diskriminatif terhadap minoritas seksual dan gender yang menjadi topik utama konten tersebut. Penggunaan kata “normal” sebagai terjemahan kata “straight” mengindikasikan adanya makna “abnormal” terhadap minoritas seksual dan gender. Dikutip dari Modul Panduan Media Meliput LGBTIQ, penggunaan kata “normal” untuk membandingkan heteroseksual dan homoseksual sangatlah tidak disarankan karena melanggar Hak Asasi Manusia.
Penggunaan kata “normal” sebagai terjemahan kata “straight” mengindikasikan adanya makna “abnormal” terhadap minoritas seksual dan gender. ~Arie Raditya Share on XHal tersebut bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Pada tahun 2020, kolom deskripsi pada laman tampilan reality show Rupaul’s Drag Race menerjemahkan “tucking” sebagai “simulasi banci”. Tucking adalah proses saat penampil drag queen menyembunyikan alat kelamin dengan selotip untuk menampilkan ilusi feminin. Terdapat proses penyederhanaan dalam kasus terjemahan tersebut, tetapi produk finalnya masih memberikan arti semantik yang ambigu.
Inklusifitas
Pemilihan kata sangat berpengaruh terhadap bagaimana media merepresentasikan sebuah isu secara berimbang. Adanya proses lokalisasi seharusnya menjadi bonus agar terjemahan mudah dicerna. Namun, yang terjadi malah minoritas seksual dan gender yang menikmati acara tersebut memicingkan mata di saat produk takarir tayangan memiliki bias. Apalagi proses representasi dengan takarir dan sulih suara ini sangatlah unik karena proses tersebut tidak pernah menyertakan komunitas LGBTIQ di Indonesia. Representasi media yang salah dapat membuat persepsi terhadap minoritas gender yang salah sehingga masyarakat di sekitarnya cenderung merespons fenomena tersebut dengan salah pula.
Pemilihan kata sangat berpengaruh terhadap bagaimana media merepresentasikan sebuah isu secara berimbang. ~Arie Raditya Share on XInklusifitas menjadi salah satu agenda Bank Dunia dalam isu pembangunan. Upaya representasi minoritas seksual dan gender yang inklusif tentu akan membantu komunitas queer untuk berperan serta dalam masyarakat. Sangat disayangkan bila konten digital sudah sangat inklusif terhadap minoritas seksual dan gender, tetapi produk terjemahannya gagal dalam melakukan hal tersebut.
Code Switching Sebagai Solusi
Untuk menghindari produk terjemahan dan representasi media yang buruk, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti: bertanya pada narasumber/editor ahli yang berperspektif HAM, serta penggunaan bahasa inklusif umum yang tidak memiliki bias gender.
Namun secara teknis, ada cara lain yang biasanya dilakukan oleh penerjemah yang produk terjemahannya memiliki kekhususan bidang tertentu. Teknik ini dikenal dengan code switching atau menggunakan beberapa bahasa dalam satu kalimat. Code switching juga awam dikenal oleh masyarakat urban. Bahkan, sering dijadikan bahan candaan dengan mengidentifikasikannya sebagai “budaya Jakarta Selatan”.
Contohnya, dalam menerjemahkan “attack” dan “defense” dalam produk gaming, saya biasanya membiarkan “attack” dan “defense” begitu saja atas dasar efisiensi jumlah huruf. Sebab, “serangan” dan “pertahanan” memiliki huruf yang cukup banyak saat diletakkan di dalam layar. Budaya tersebut terus berlangsung dalam komunitas video gim sehingga komunitas gim secara otomatis tahu bahwa arti “attack spesial” adalah serangan spesial.
Sama halnya saat saya menerjemahkan produk yang tersegmentasi oleh teknologi dan juga mode. Bila kata “user interface” dan “pattern” diletakkan dalam suatu kalimat, maka secara otomatis para antusias teknologi dan mode akan mengerti kata dan frasa tersebut. Harapannya, bila masyarakat awam yang terpapar dengan kata tersebut terkendala dalam mencerna bahasa, mereka akan membuka kamus atau Google.
Dalam melakukan translasi konten queer, hal di atas akan cenderung lebih aman dibandingkan menggunakan kata yang memiliki stigma dan bias gender. Pembiaran penggunaan kata “straight” akan jauh lebih baik dibandingkan menerjemahkannya dengan kosakata “normal”. Begitu pula dengan “drag queen” karena secara sosio linguistik, penampil drag queen di Indonesia bukanlah hal yang umum dan mainstream seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Tidak akan ada pihak yang tersinggung sampai tercipta pergeseran bahasa yang memiliki makna yang lebih tepat. Karena pada dasarnya, bahasa bersifat cair. Perubahan makna sangat mungkin terjadi seiring dengan masyarakat yang kian berkembang, maju dan teredukasi.
Arie Raditya, lulusan Program Magister Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Memulai karier dalam lokalisasi video gim dan menjadi tech profesional. Dalam waktu luang, biasanya mengamalkan Ilmu Bahasa dan Politiknya dengan menulis jurnalisme warga; berfokus membicarakan isu-isu globalisasi, properti intelektual modern, dan hak asasi manusia.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @arierdty dan Twitter: @rdtyaaw
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini