Tumbal Penegakan Pilar Ekonomi Negara dalam Pandemi
May 3, 2021Nakba: Petaka yang Tak Berkesudahan bagi Bangsa Palestina
May 15, 2021KATALIS
Mengulik Fenomena Fandom di Era Teknologi Komunikasi
oleh Fariza Nur Shabrina
“Kebanyakan orang adalah penggemar dari sesuatu.” – Jonathan Gray, Cornel Sandvoss, dan C. Lee Harrington
Di balik masuknya Blackpink ke daftar Guinness World Records untuk kategori video musik paling banyak dilihat dalam 24 jam, BTS menjadi artis K-pop yang mendapat Grammy Nomination, hingga popularitas Taylor Swift yang tidak pernah pudar, selalu ada fandom yang kuat dan mendukung para idolanya.
Fandom: Kekuatan Sosial yang Terus Berkembang
Fandom adalah subbudaya yang terbentuk dari kumpulan fan (penggemar) dengan minat yang sama dan saling berempati satu sama lain. Fenomena fandom sendiri sudah ada sejak The Beatles merajai dunia musik mancanegara. Bedanya, perkembangan teknologi komunikasi sekarang lebih memudahkan para fan untuk berinteraksi secara real-time dan membangun fandom mereka sampai skala internasional. Kini, fandom tidak hanya berperan sebagai pendukung seseorang atau sesuatu, namun juga sebagai penggerak berbagai isu sosial seperti #BlackLivesMatter dan #StopAsianHate. Bahkan, dalam beberapa kasus, fandom juga menunjukkan pengaruhnya dalam menggerakkan suatu isu politik. Tuti (29), kenalanku yang merupakan seorang ARMY (sebutan untuk fan BTS), mengaku menjadi lebih peka dan sadar akan berbagai isu sosial karena idolanya aktif membicarakan isu-isu tersebut. Ia mengaku ikut tergerak saat melihat BTS melakukan donasi di berbagai kesempatan, seperti halnya dengan banyak rekan ARMY lainnya yang berhasil mengikuti jejak baik idolanya dengan turut berkontribusi.
Kekuatan sosial dari fandom tentunya tidak lepas dari demografi kelompok fan yang kebanyakan berusia remaja dan dewasa muda. Mereka yang berada dalam golongan usia ini memang lebih mudah memahami teknologi dan fasih dalam menggunakan media sosial. Contohnya adalah Tuti, yang sudah aktif sebagai ARMY sejak tahun 2018 yaitu saat ia berusia 26 tahun. Ada juga Nadya (24), anggota aktif dari Inner Circle (sebutan untuk fan WINNER) yang sudah beraktivitas di dunia fandom sejak tahun 2011. Sejak diperkenalkan dengan girl group SNSD oleh teman sekelasnya saat SMA, Nadya jadi tertarik dan ‘jatuh cinta’ dengan salah satu anggotanya, Sooyoung. Bermula dari situ, Nadya mengaku semakin tertarik pada genre musik ini karena visual dan musiknya yang selalu fresh. Saat ini, Nadya aktif sebagai anggota ‘Inner Circle’ dan memberikan dukungan pada setiap aktivitas WINNER. Ia sering menghadiri konser atau event-event yang ada, membeli album musik mereka, serta kumpul rutin dengan sesama ‘Inner Circle’.
Perkembangan teknologi komunikasi sekarang lebih memudahkan para fan untuk berinteraksi secara real-time dan membangun fandom mereka sampai skala internasional. ~Fariza Nur Shabrina Share on XMenjadi Fan dan Kaitannya dengan Jati Diri
Bahasan tentang psikologi di balik seorang fan tidak akan pernah lepas dari isu identitas diri dan sosial. Identitas diri adalah berbagai kepercayaan (beliefs) yang kita miliki, untuk menjelaskan siapa diri kita sebenarnya. Identitas diri terbentuk mulai dari hal-hal umum seperti usia, suku bangsa, jenis kelamin, dan agama, hingga hal-hal yang lebih spesifik seperti potensi diri, tujuan hidup, dan minat yang kita miliki. Identitas diri adalah sesuatu yang kita pelajari dan berkembang mengikuti pengalaman hidup. Oleh karenanya, setiap orang punya identitas diri yang berbeda. Besar pengaruh setiap aspek diri terhadap identitas kita pun bisa berbeda-beda.
Identifikasi diri, yaitu proses menjadikan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri, merupakan pembeda utama antara penikmat biasa dengan seorang fan. Ambillah contoh seri superhero seperti Marvel Cinematic Universe (MCU). Risyam (25), pemain sepak bola sekaligus fan superhero, mengaku emosional ketika menonton Avengers: Endgame, khususnya saat mendengar Captain America berteriak “Avengers! Assemble!” (“Avengers! Berkumpul!”). Menurutnya, momen tersebut menjadi bersejarah karena menandakan berakhirnya seri yang sudah berlangsung selama belasan tahun tersebut. Menurut Risyam, Avengers dan superhero lainnya memberikan pesan yang membantunya menjalani hidup. Hal ini juga yang bikin Risyam getol menonton seri The Flash setiap minggunya. Barry Allen dan kecanggungannya dalam menggunakan kekuatan super membuat Risyam merasa tokoh Barry sangat dekat dengan dirinya. Ia bisa melihat dirinya melakukan apa yang Barry lakukan, dan menonton Barry membuat Risyam belajar hal baru setiap minggunya. Ketika kita memposisikan diri sebagai karakter tersebut, kita mulai ‘berinvestasi’ ke karya atau orang tersebut. Investasi yang dimaksud dapat berupa waktu, perhatian, hingga materi. ‘Investasi’ ini juga yang bisa menjadi indikator bahwa seseorang telah menjadi fan.
Aktivitas seorang fan tentu tidak sebatas suara atau komentar di internet, tapi juga bisa terlihat dalam keseharian mereka. Kembali ke Risyam misalnya, yang juga menggemari sepak bola hingga kini aktif sebagai pemain. Awalnya, Risyam lebih sering menjadi penonton dan sesekali ikut nonton bareng (nobar) pertandingan sepak bola. Saat ini, Risyam sudah setahun menjadi penjaga gawang di Jakarta United Football Club. Lewat kegiatan ini, Risyam menjadikan sepak bola sebagai bagian dari kehidupannya, dan menguatkan identitas dirinya sebagai seorang fan.
Fenomena fan dan fandom ini sesuatu yang baik atau buruk? Semua kembali kepada cara para fan memaknai identitas dan motivasi yang ia miliki. ~Fariza Nur Shabrina Share on XPeran Fandom dalam Pembentukan Identitas Sosial
Kalau menjadi fan berkaitan dengan identitas pribadi, maka menjadi bagian fandom berkaitan dengan identitas sosial. Identitas sosial adalah bagian dari identitas diri yang didapat melalui afiliasi dengan kelompok tertentu. Dalam hal ini, fandom memenuhi kebutuhan sosial dari fan untuk menjadi bagian dari sebuah ingroup (anggota kelompok) dan merasa diterima. Ibarat keluarga yang lama terpisah, berkumpul dengan fandom memunculkan koneksi instan yang membuat anggotanya merasa klop dan rela menghabiskan waktu berjam-jam. Hal inilah yang membuat Vera (22), seorang My Day (sebutan untuk fan DAY6), ketagihan mengelola event dan fan project. Dedikasinya ini muncul dari keseruan yang ia dapat ketika melakukan fangirling (aktivitas yang dilakukan seorang fan terkait minat/kesukaannya) bersama My Day lainnya. Karena rasanya sudah seperti keluarga, seorang fan bisa ikut merasa bangga ketika fandom mereka terlihat besar dan diakui oleh banyak orang. Hal yang sama juga terjadi ketika sebuah fandom mendapat kritik, maka anggotanya akan merasa tersinggung dan sakit hati. Salah satu contoh hal yang dapat membuat seorang fan merasa bangga dengan fandomnya adalah ketika mereka berhasil mengumpulkan donasi yang mengatasnamakan fandomnya.
Bagi sebagian orang, fandom juga menjadi sebuah sarana untuk mendapatkan dukungan sosial dari orang lain. BTS ARMY Help Center adalah bukti nyata bahwa fandom mampu menyediakan ruang bagi para fan untuk bercerita mengenai permasalahan mereka; sesuatu yang mungkin tidak mereka dapat dari lingkungan sosialnya yang lain. Berawal dari sebuah ide untuk membantu sesama fan, BTS ARMY Help Center berkembang menjadi gerakan sosial yang kini sudah memiliki cabang di berbagai negara. Selain BTS ARMY Help Centre, ada juga akun-akun berbasis fandom yang memberikan dukungan kesehatan mental lainnya. Sebut saja akun @KonicMental_INA di Twitter. Akun ini secara berkala membuat thread tentang kesehatan mental untuk para penggemar iKON. Akun yang ditujukan bagi para iKONIC (sebutan untuk fan iKON) ini baru saja membuat post untuk latihan deep breathing. Unggahan ini dibuat karena banyaknya iKONIC yang merasa panik terkait proses voting di acara kompetisi Kingdom. Selain itu, ada juga akun @GoldennessDiary yang memberikan dukungan psikologis kepada Goldenness (sebutan untuk fan Golden Child) dengan menyediakan kesempatan untuk curhat via Direct Message.
Ketika “Oppa, Saranghae!” dan “Senpai, Notice Me!” Menjadi Tren Baru
Terlepas dari dampak sosial yang dibawa oleh fenomena fandom, keputusan untuk menjadi seorang fan pasti didasari oleh emosi positif yang muncul saat melakukannya. Salah satu motivasi seseorang menjadi fan adalah adanya kebutuhan mendapatkan hiburan yang terpenuhi oleh idola atau sosok yang dikagumi. Dengan melihat idola, muncul perasaan senang, kagum, hingga tawa yang membuat badan nyaman. Ada juga orang-orang yang menjadi fan karena mendapatkan validasi dari orang yang berpengalaman hidup serupa dengan mereka. Validasi ini membuat seorang fan merasa dipahami dan tidak sendiri. Selain itu, ada juga orang yang menjadikan aktivitas fan sebagai pelarian sejenak dari rutinitas yang menimbulkan stres. Aktivitas fan seperti mendengarkan lagu atau menonton film bisa menurunkan stres dan membuat kita merasa lebih tenang.
Lalu fenomena fan dan fandom ini sesuatu yang baik atau buruk? Semua kembali kepada cara para fan memaknai identitas dan motivasi yang ia miliki. Meski ada banyak stigma di sekitarnya, dari pembahasan kali ini kita melihat banyaknya dampak positif dari aktivitas fan dan fandom itu sendiri.
Saat ini, fandom menjadi lebih marak karena mudahnya akses terhadap konten hiburan seperti drama, musik, anime, maupun game baik lokal dan internasional. Konten-konten ini tidak hanya dapat dinikmati oleh fan, tetapi juga masyarakat umum terutama generasi muda. Tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, aktivitas fandom akan menjadi budaya yang lazim dan semakin diterima oleh masyarakat. Berkaca pada hal ini, rasanya wajar jika fenomena fan dan fandom dikaji lebih lanjut untuk membantu mengedukasi mengenai aktivitas fan yang ‘sehat’. Hal ini juga membantu mereka memaksimalkan aspek positif dari identitasnya sebagai bagian dari fandom.
Fariza Nur Shabrina (Riza) adalah anggota dari platform Fan & Psychology (Fanpsy). Fanpsy merupakan platform yang secara khusus membahas seputar fan dan fandom dari sisi psikologi. Berbekal motivasi untuk mengangkat isu kesehatan mental terkait fandom dan stanning, kami juga mengundang para fan untuk bertukar cerita dan menjadi sumber inspirasi. Cek konten dan acara kami lebih lanjut lewat akun instagram dan twitter kami di @wefanpsyou ya!
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini