LSF Cogito
July 6, 2022Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath
July 6, 2022Catatan Pinggir
Filsafat yang Menubuh
oleh Raja Cahaya Islam
Pengantar Redaksi:
Semakin populernya ilmu filsafat membuat lebih banyak orang tertarik untuk mempelajarinya. Akan tetapi, mempelajari ilmu filsafat tidak sesederhana membaca kutipan-kutipan filsuf terdahulu. Jadi, seperti apa maksudnya mendalami ilmu filsafat hingga menubuh pada diri kita? Di artikel ini, Raja Cahaya Islam dari Kelas Isolasi berbagi pengalamannya.
Hari ini, filsafat sudah cukup populer di tengah masyarakat. Setidaknya, fenomena ini bisa kita lihat di media sosial. Kita bisa lihat banyak sekali penjelasan dan kutipan-kutipan filsafat bertebaran di Instagram, TikTok, Youtube, dan berbagai website.
Fenomena itu bisa kita anggap sebagai tanda bahwa kini orang-orang tak lagi jauh dan asing dengan dunia filsafat. Sehingga, barangkali bisa kita sebut bahwa filsafat kini terasa sangat dekat dengan kehidupan kita. Sudah banyak orang yang mengutip Marx, Nietzsche, Descartes, dan Simone De Beavoir. Akhir-akhir ini pun para filsuf Stoa mulai sering diperbincangkan.
Namun, saat filsafat sudah mulai begitu sering diperbincangkan, didiskusikan, dijadikan konten, atau singkatnya menjadi populer, kiranya kita perlu memberi jeda sesaat untuk bertanya: apakah filsafat yang sudah sepopuler itu sudah menubuh pada diri kita? Jangan-jangan, kepopuleran filsafat beserta dengan ramainya orang memperbincangkan filsafat tidak diikuti dengan penghayatan atas filsafat itu sendiri?
Filsafat seolah tampil sebagai sebuah pernak-pernik atau perhiasan yang mampu memoles seseorang agar tampak menarik, keren, dan terlihat “beradab”. Kita tahu bahwa perhiasan hanyalah properti yang menempel pada diri kita, tetapi tak pernah benar-benar mengubah diri kita. Jadi, apakah filsafat yang kita kenal itu hanya sampai pada titik itu saja?
Pierre Hadot, seorang filsuf asal Prancis, membagi dua bentuk filsafat. Pertama, filsafat sebagai diskursus, dan kedua, filsafat sebagai jalan hidup. Filsafat sebagai diskursus berarti filsafat hadir sebagai sebuah wacana teoretis dan abstrak. Kita bisa melihat aktivitas filsafat sebagai diskursus ini di universitas, jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan hari ini di media sosial. Kita bisa menyebut jenis filsafat ini sebagai filsafat berorientasi teoretis. Sedangkan, filsafat sebagai jalan hidup adalah filsafat yang merujuk pada aktivitas pembentukan diri, latihan spiritual, penempaan diri, dan pengorientasian hidup. Untuk filsafat jenis ini kita bisa menyebutnya sebagai filsafat yang berorientasi praktik.
Jika mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Hadot, kira-kira filsafat kita hari ini masuk ke dalam jenis yang mana? Di zamannya, Pierre Hadot merasa filsafat seolah-olah dibatasi hanya pada ruang lingkup diskursus atau teoretis saja. Akibatnya, filsafat hanya dimaknai sebagai pergulatan akal budi para filsuf semata. Bahkan tak jarang, filsafat terasa sangat jauh dari kehidupan dan pengalaman personal si filsuf. Sehingga bagi Hadot, filsafat sebagai jalan hidup telah meredup dan hampir kehilangan maknanya sama sekali.
Hadot ingin agar makna filsafat bisa kembali ke asal muasalnya, tepatnya pada masa saat para filsuf Yunani berfilsafat. Pada masa itu, para filsuf memperlakukan filsafat sebagai sebuah laku hidup, kegiatan latihan batin dan tubuh, bahkan tak jarang juga filsafat berkaitan dengan harga diri si filsuf. Socrates menyebut bahwa filsafat adalah jalan untuk memperhatikan diri, khususnya sebagai sebuah upaya penempaan jiwa agar menjadi indah dan mendekati kebijaksanaan. Platon menyebut bahwa filsafat adalah latihan untuk mati, yang berkaitan juga dengan pengolahan kualitas jiwa. Aristoteles juga menyebutkan bahwa filsafat adalah aktivitas transformasi batin dan pikiran. Lalu, bagaimana dengan kita?
Berfilsafat itu seperti aktivitas memahat, di mana objek pahatannya adalah diri kita sendiri. ~ Raja Cahaya Islam Share on XDi tengah popularitas filsafat masa kini, kita perlu bertanya tentang hal itu karena filsafat bisa jadi mengalami nasib serupa dengan zamannya Pierre Hadot (atau jangan-jangan semenjak zaman Hadot filsafat masih tetap sama?), di mana filsafat hanya dibatasi sebagai sebuah diskursus belaka, yakni sebagai sebuah wacana teoretis yang jauh dari dimensi kedirian kita yang bersifat personal, atau sebagaimana sempat disebut sebelumnya, bahwa filsafat bahkan hanya tampil sebagai perhiasan belaka. Kita mungkin bisa mengutip berbagai macam kutipan dari para filsuf, lalu menuliskannya di caption atau di bio akun media sosial kita. Kita juga bisa membuat konten di Youtube, Instagram, atau TikTok. Namun, apakah kutipan yang kita tulis di caption, di bio, bahkan menjadi bahan konten media sosial itu berhubungan dengan kedirian kita?
Filsafat tentu tak hanya sekadar itu. Filsafat juga berkaitan dengan jalan hidup, yakni tentang bagaimana kita menempa diri kita. Berfilsafat itu seperti aktivitas memahat, di mana objek pahatannya adalah diri kita sendiri. Pada titik ini, kiranya kita perlu bertanya lagi dan merefleksikan kembali apa yang telah kita tulis, sebut, dan jadikan bahan konten. Lebih jauh, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: mampukah kita mencoba “membangun” filsafat kita sendiri?
Konon Albert Camus pernah berkata, “Telah sampai pada titik di mana sebuah buku filsafat yang muncul hari ini, yang tidak mendasarkan dirinya pada otoritas, kutipan, atau komentar apa pun tidak akan dianggap serius.” Apa maksud dari ungkapan ini? Tentu saja, Camus bukan bermaksud untuk meminta kita agar tidak mengutip ungkapan-ungkapan teoretis para filsuf saat menulis atau bahkan berdiskusi. Camus sebetulnya ingin bilang: tulislah filsafatmu sendiri, berdasarkan pengalaman diri kita sendiri. Apakah hal ini berarti bahwa kita harus membuang segala teori filsafat atau jenis filsafat sebagai diskursus ke keranjang sampah?
Tentu tidak. Ketika kita mengupayakan kembali dan memaknai kembali filsafat sebagai jalan hidup, hal ini tidak berarti bahwa filsafat itu harus murni praktik tanpa peduli dengan teori dan spekulasi abstrak. Filsafat sebagai sebuah diskursus pun tetap penting karena diskursus filsafat yang teoritis dan abstrak juga berkaitan dengan bagaimana kita membentuk diri kita.
Akan tetapi, bukankah filsafat sebagai diskursus itu sulit dan sukar dipahami? Betul, kita tidak bisa mengabaikan kesulitan dan kesukaran teori-teori filsafat. Kita pun tidak perlu menolak fakta bahwa para filsuf pun seringkali menulis dengan cara yang amat sangat sulit untuk dipahami. Namun, justru di situlah letak dari ajang latihan dan proses pengolahan pikiran dan batin diri kita sendiri.
Namun di sisi lain, “mempermudah” filsafat bisa jadi jebakan bagi kita sendiri. Alih-alih menempa kualitas pikiran dan batin kita, hal tersebut justru malah tidak melatih diri kita sama sekali. ~ Raja Cahaya Islam Share on XMempermudah filsafat dengan cara yang populer di satu sisi memang menguntungkan karena mempermudah kita dalam memahami pemikiran filsuf. Namun di sisi lain, “mempermudah” filsafat bisa jadi jebakan bagi kita sendiri. Alih-alih menempa kualitas pikiran dan batin kita, hal tersebut justru malah tidak melatih diri kita sama sekali.
Artinya, kita mesti tahu dan memahami terlebih dahulu obrolan para filsuf yang rumit dan abstrak itu. Kita perlu mengikuti alur, argumen, dan sistem yang mereka sodorkan pada kita. Oleh karena itu, kita perlu melakukan pembacaan yang ketat dan tentu saja serius. Di sisi lain, kita pun jangan sampai tenggelam pada arus pemikiran filsuf hingga kita akhirnya lupa akan kedirian kita. Kita perlu memberi jarak, merefleksikan, mengolah kembali, dan menyesuaikan pemikiran-pemikiran filsuf tersebut dengan kondisi tubuh dan batin kita (yang bisa jadi hasilnya kita tolak atau terima). Setelah itu, barulah kita menempa kedirian kita setelah melalui proses-proses tersebut. Filsafat dengan demikian, telah menubuh dengan diri kita.
Raja Cahaya Islam adalah lulusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Religious Studies UIN Bandung. Aktif di Kelas Isolasi, Lapar Institute, dan Komunitas Sophia. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @rajacahayaaa
Artikel Terkait
Subjek dan Keyakinan
Setiap orang memiliki keyakinan dan cara meyakininya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dapat muncul dalam diri seseorang? Artikel ini menjelaskan subjektivitas keyakinan dan bagaimana keyakinan memengaruhi tindakan seseorang.Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath
Fenomena konsumerisme semakin umum ditemukan dalam diskusi ekonomi masyarakat kontemporer. Bagaimanakah ilmu filsafat menjelaskan fenomena konsumerisme di masyarakat? Yuk baca penjelasan dari LSF Cogito.Berfilsafat: Apa Gunanya?
Filsafat terkenal abstrak, sulit, dan tidak menjangkau keseharian manusia. Jika benar begitu, lalu sebenarnya apa itu filsafat? Apakah filsafat adalah suatu jenis “ilmu” sama seperti sains dan ilmu sosial? Lalu, apa produk dari filsafat dan adakah manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari kita?