Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
January 30, 2018Makna
Identitas dan Permasalahannya
Kajian gender, kajian ras (ethnic studies), dan kajian budaya (cultural studies) membahas pertanyaan “Siapa saya?” melalui konsep identitas. Ketiga bidang ilmu ini memerhatikan bagaimana sepanjang sejarah manusia pertanyaan “Siapa saya?” menempatkan sebuah kelompok lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, sehingga menjadi pembenaran untuk penjajahan (kolonisasi) dan menyebabkan permasalahan sosial, diskriminasi, dan pelecehan dalam berbagai bentuk. Hal ini dapat terjadi karena manusia membawa berbagai kategori identitas (identity category) seperti ras, gender, seksualitas, dan kelas tertentu.
Bentuk diskriminasi terhadap identitas tertentu ini macam-macam. Sifatnya mewabah dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan terjadi sepanjang sejarah manusia. Pada Perang Dunia II, Nazi membunuh masyarakat Yahudi dan kaum homoseksual karena mereka dianggap lebih rendah derajatnya dibandingkan ras Arya. Di Amerika Serikat sebelum dikabulkannya hak sipil (civil rights) bagi ras kulit berwarna, masyarakat kulit hitam di bagian selatan Amerika Serikat dengan mudah dibunuh karena dianggap kriminal dan pembuat onar. Sekarang, diskriminasi yang menimpa kelompok masyarakat karena identitas yang mereka miliki tetap terjadi, misalnya di berbagai negara kaum Muslim dilarang masuk karena diidentikkan sebagai teroris, pasangan sesama jenis dilarang menikah, atau perempuan digaji lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Diskriminasi ini terjadi karena: (1) kita dikelompokkan menurut kategori identitas yang diciptakan oleh pihak yang berkuasa, dan identitas tersebut kemudian mengatur kehidupan kita; dan (2) identitas kita diidentikkan dengan stereotip negatif tertentu.
Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, identitas kita ditentukan oleh sistem kekuasaan dan lantas digunakan untuk menentukan nasib dan hak kita. Pada masa kolonialisme Barat, ras kulit berwarna distereotipkan sebagai bangsa yang primitif, mistis, tidak berpendidikan, dan tak mampu mengurus diri sendiri. Hal ini menjadi pembenaran bagi bangsa kulit putih untuk menjajah Timur Tengah, Asia, dan Afrika, dengan alasan mereka membawa misi baik untuk menjadikan masyarakat kulit berwarna lebih beradab (civilized).
Sistem kuasa juga memecah dan mengontrol kita menurut identitas yang kita miliki. ~ Asri Saraswati Share on XSistem kolonisasi juga bekerja berdasarkan ras dan terjadi di Indonesia ketika pemerintah kolonial Belanda menentukan bahwa pribumi rendahan bertugas mengolah lahan kebun milik Belanda, sementara pribumi yang terpelajar atau keturunan kerajaan menjabat sebagai Bupati atau mandor, dan etnis Tionghoa bertugas sebagai saudagar atau perantara antara pribumi dan penjajah Belanda. Dalam sistem ini, ras, pendidikan, dan kelas sosial menentukan peran, kewajiban, dan hak kita. Hal ini juga menentukan pendapatan, tempat tinggal, dan tingkat sosial ekonomi anak cucu kita.
Sistem kuasa juga memecah dan mengontrol kita menurut identitas yang kita miliki. Misalnya, masyarakat Tionghoa Jakarta banyak bermukim di daerah Glodok dan Kelapa Gading. Apakah ini pilihan yang diambil secara sukarela ataukah tak ada pilihan lain? Pemilik warung tidak bisa membangun usahanya karena tidak bisa mengakses bank dan memperoleh kredit. Apakah itu memang sudah nasibnya ataukah bank memiliki kriteria yang mempersulit proses kredit bagi kelas bawah namun memudahkan kredit untuk masyarakat kelas menengah?
Masalah kedua muncul ketika sebuah identitas kemudian diidentikkan dengan stereotip negatif. Hal ini muncul dalam celetukan yang seakan-akan tidak berbahaya, misalnya “Bos perempuan biasanya galak” atau “Kamu penakut seperti banci”. Karenanya, perempuan cenderung tak berani ambisius di kantor dan kaum transgender menjadi bahan olok-olok, padahal mereka berpotensi dan bisa berperan penting di masyarakat.
Stereotip terhadap identitas tertentu bisa berkembang menjadi kekerasan dan diskriminasi serius, seperti penyerangan terhadap pemeluk aliran Ahmadiyah, penggerebekan pesta kelompok homoseksual yang foto-fotonya diambil tanpa izin dan disebarluaskan, atau iklan-iklan sistem alarm di Amerika Serikat yang mengidentikkan penjahat dengan masyarakat kulit hitam. Tanpa kita sadari, narasi-narasi ini membangun stereotip yang tidak benar. Kelompok homoseksual diidentikan sebagai kelompok yang liar, ras tertentu dicurigai sebagai kriminal, dan kaum Ahmadiyah dianggap pantas dibasmi.
Argumen yang kemudian muncul adalah bukankah kita memang dilahirkan dengan identitas (misalnya, ras dan gender) yang berbeda-beda sehingga memiliki kodrat yang berbeda-beda pula?
Stereotip terhadap identitas tertentu bisa berkembang menjadi kekerasan dan diskriminasi serius. ~ Asri Saraswati Share on XPara ahli mulai menentang hal ini. American Anthropological Association (AAA) misalnya, menemukan bahwa ras bukanlah sebuah kategori pembeda yang valid. Mereka mengatakan bahwa antara ras satu dengan yang lain hanya ada perbedaan genetis sekitar 6% dan mereka justru memiliki kesamaan sebesar 94%.Dengan kata lain, ras adalah sebuah kategori pembeda yang mengada-ada karena nyatanya kita memiliki jauh lebih banyak persamaan sekalipun warna kulit kita berbeda.
Sementara itu, seorang filsuf dari Amerika Serikat, Judith Butler, beragumen bahwa identitas gender tidak senatural yang kita kira. Jika selama ini kita memahami gender sebagai sebuah fakta biologis saat manusia lahir, Butler membahas gender sebagai sebuah ‘tindakan’ (act). Keperempuanan misalnya, tidak dibuat nyata karena adanya vagina, tetapi oleh ‘performativitas’ atau pertunjukan yang dilakukan berulang-ulang (mulai dari memakai baju perempuan, berbicara yang lembut, atau berias).
Pernyataan AAA dan Butler menunjukkan betapa rapuhnya identitas yang semula kita anggap sebagai sesuatu yang statis dan biologis. Keduanya berargumen bahwa manusia memiliki andil besar dalam membentuk dan mengatur identitas orang lain. Perspektif ini membuka pintu bagi kita untuk mendefinisikan”‘Siapa kita?”’, memahami sistem kuasa yang mengklasifikasikan manusia, dan melawan stereotip negatif yang selama ini merugikan kelompok masyarakat tertentu.
Bacaan Lanjutan
- Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an Investigation).” The anthropology of the state: A reader 9.1 (2006): 86-98. Print.
- Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge, 2006. Print.
- Hall, Stuart. “Cultural Identity and Diaspora : ” Identity: Community, Culture, Difference. Ed. Rutherford, Jonathan: Lawrence and Wishart, 1990. Print.
- Said, Edward W. Orientalism. Vol. 1st Vintage Books. New York: Vintage Books, 1979. Print.
Artikel Terkait
Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
Hidup itu penuh dengan pilihan. Rangkaian pilihan dalam kehidupan kita merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mengkristal dalam keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan negara.