Seragam Profesi untuk Anak PAUD: Edukasi atau Indoktrinasi?
December 21, 2024Yang Tersilap dalam Senyap: Urbanisasi dan Romantisisasi Desa
December 23, 2024Photo by Jonathan Kemper on Unsplash
KATALIS
Berita AI di Indonesia: Jurnalis Cenderung Memihak Bisnis dan Tidak Seimbang
oleh Rio Tuasikal
Dari chat GPT sampai AI generatif, kecerdasan buatan (artificial intelligence) telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari di Indonesia.
Di satu sisi, AI disambut dengan optimisme karena peluang ekonomi yang ditawarkannya. Di sisi lain, ada yang risau apakah pekerjaan mereka akan tergantikan atau dikurangi oleh automasi.
Namun, di tengah hiruk pikuk mengenai AI, kita patut bertanya: apakah masyarakat Indonesia telah berkesempatan untuk memperdebatkan teknologi baru ini? Apakah mereka telah mendapatkan pasokan informasi beragam sebelum memutuskan sikapnya terhadap AI?
Salah satu cara menilai kualitas debat publik adalah dengan memeriksa media massa. Dalam konteks debat publik, media massa bertugas menjangkau berbagai suara di masyarakat. Ini termasuk para pengusaha, pembuat kebijakan, peneliti, dan masyarakat awam. Jurnalis perlu memberi ruang pada berbagai pendapat, dari yang dominan sampai yang marjinal, dan memastikan ruang dialog yang relatif terbuka.
Berita AI di Indonesia: Siapa yang Dikutip?
Dalam kajian yang saya dan rekan saya lakukan, kami fokus pada bagaimana jurnalis memilih narasumber ketika menulis berita soal AI. Premis (asumsi) kami sederhana: ketika jurnalis mengutip orang dari berbagai bidang, media akan menyediakan keragaman informasi. Analisis kami berkaca pada kajian serupa di Britania Raya dan Amerika Serikat, yang mengungkap bahwa pemberitaan AI di kedua negara itu didominasi oleh aktor kalangan bisnis dan industri.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Kami mengumpulkan seluruh berita mengenai AI dari 1 Januari hingga 30 Juni 2024. Kami memilih lima media online nasional—Liputan6.com, Detik.com, Kompas.com, tvonenews.com, dan tempo.co—yang kami anggap menjangkau pembaca secara luas, serta mewakili keragaman pemilik dan ideologi. Kami mengumpulkan total 777 konten yang dipublikasi, baik berupa artikel, kolase foto, ataupun video.
Selanjutnya, kami memetakan secara manual siapa suara yang dikutip. Seperti studi di Britania Raya, kami mengklasifikasi orang atau entitas tersebut menjadi lima sektor, yakni bisnis, akademik/riset, organisasi advokasi, pemerintah, dan masyarakat. Dari seluruh artikel, kami berhasil menemukan total 1025 narasumber.
Jurnalis Cenderung Memberitakan Bisnis
Hasil analisis kami mengecewakan, namun tidak mengejutkan. Sama seperti yang terjadi di Britania Raya, pemberitaan di Indonesia juga didominasi oleh suara kalangan bisnis (55%), disusul secara jauh oleh pihak pemerintah (16%), akademik/riset (13%), masyarakat umum (10%), dan organisasi advokasi (4,2%). Dapat dikatakan bahwa sektor bisnis diberitakan secara berlebihan, sementara sektor advokasi sangat kurang mendapatkan ruang.
Dominasi narasumber bisnis ini terdapat pada setiap organisasi berita yang kami teliti, terutama liputan6.com yang mencapai 67%. Perbedaan mungil kami temukan pada tvonenews.com yang, meski tipis, mengutip lebih banyak sumber pemerintah. Sementara tempo.co mengutip sumber bisnis dan pemerintah dalam persentase yang sama. Di seluruh media, sektor advokasi selalu jadi yang paling jarang tampil. Analisis kami juga mengungkap bahwa 60% artikel hanya mengandalkan sumber tunggal tanpa pembanding.
Kami menemukan sumber sektor advokasi paling banyak muncul di detik.com. Namun, mereka tidak muncul sebagai narasumber berita, melainkan dalam tulisan opini. Dari semua opini yang dipublikasi detik.com, sebagian ditulis oleh pengurus organisasi ICT Watch. Begitu pun dengan sektor akademik/riset yang paling banyak muncul di Kompas.com. Dari semua opini yang dipublikasi Kompas.com, sebagian besar ditulis oleh satu orang profesor hukum dari Universitas Padjajaran. Hal ini menunjukkan, selain jarang dikutip, suara kedua sektor ini pun berasal dari segelintir orang saja.
Kami juga memetakan topik apa yang dibahas dalam berita-berita ini. Dari 777 artikel, 58% berbicara mengenai industri dan investasi, 25% bicara soal dampak AI pada masyarakat dan pekerjaan, sementara 16% bicara soal penyalahgunaan dan regulasi. Kami berpendapat bahwa dominasi pihak bisnis turut berkontribusi pada percakapan publik yang berkutat pada industri AI sendiri.
Pekerjaan Rumah Jurnalis
Kajian kami memang tidak menelaah wacana atau tendensi dalam berita. Namun, kami menemukan sejumlah indikasi bahwa jurnalis tidak melakukan disiplin jurnalistik dengan ketat. Tak sedikit berita yang mengandalkan rilis pers dari industri tanpa ada proses jurnalistik tambahan. Akibatnya, ada sejumlah berita dengan kutipan dan angle (sudut pandang) yang seragam, seolah didikte oleh humas (hubungan masyarakat) perusahaan.
Kami juga menemukan sejumlah pesan komersial murni yang berkamuflase menjadi berita. Kami menemukan artikel serupa yang muncul dalam dua media, yang ditandai sebagai advertorial (iklan) di satu media, namun tidak di media satunya. Banyak pula artikel yang mempublikasikan peluncuran produk terbaru dengan mengutip narasumber tunggal. Berita-berita ini sangat rentan bersifat promosi karena setiap klaim bisa melenggang bebas tanpa tanggapan atau verifikasi.
Pada akhirnya, kajian kami menjadi pengingat bagi kalangan jurnalis untuk lebih giat menjangkau suara yang beragam di masyarakat. Hal ini terutama bagi narasumber dari organisasi sipil dan advokasi. Perlu diingat pula bahwa jurnalis tidak boleh menjadi penyambung lidah industri semata. Selain itu, jurnalis juga perlu mengembalikan skeptisisme (rasa curiga) dalam proses jurnalistiknya, baik ketika menghadapi pihak bisnis maupun sektor lain.
Jurnalis tidak boleh menjadi penyambung lidah industri semata. Jurnalis juga perlu mengembalikan skeptisisme (rasa curiga) dalam proses jurnalistiknya, baik ketika menghadapi pihak bisnis maupun sektor lain. ~ Rio Tuasikal Share on XDengan pemberitaan yang beragam, diskusi publik mengenai AI pun akan lebih berkualitas. Kita semua berharap, masyarakat dapat menjadi lebih cerdas dan partisipatif dalam merespon teknologi baru ini.
Pengungkapan: Kajian ini adalah proyek pribadi penulis bersama rekan peneliti Virginia Gunawan. Kajian ini tidak mewakili pandangan tempat penulis atau rekan peneliti bekerja.
Rio Tuasikal bekerja sebagai jurnalis dengan fokus isu politik, lingkungan, dan teknologi. Sebelum berbasis di Amerika Serikat, dia bekerja sebagai jurnalis selama 10 tahun di Indonesia. Dia menamatkan studi MA Media and Communications di Goldsmiths, University of London, Inggris, dengan tesis mengenai transpuan dan media sosial di Indonesia.
Artikel Terkait
Ketika Jurnalisme dan Sains Berjumpa: Sebuah Pengantar
Jurnalisme sains membawa pengetahuan dari balik dinding laboratorium atau bacaan paper jurnal ilmiah ke dalam wacana publik untuk memandu keseharian masyarakat dalam mengambil keputusan.Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
Terlepas dari wacana mana yang lebih dominan, perayaan hari pers nasional selalu terasa jauh dan asing serta tidak dekat dengan kita sebagai masyarakat biasa.Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.