Siksaan Emosional
March 7, 2020Tanya Kenapa
March 7, 2020Makna
Kamu Tidak Sendiri: Menemukan Dukungan Sosial Bagi Kesehatan Mental
oleh Annisa Rahmalia
Bitesized Ideas
Sepanjang hidup manusia, selalu ada waktu saat kita merasa seperti sedang berada di titik terendah. Entah itu karena kegagalan, kehilangan orang terdekat, adanya tanggung jawab berlebih, dan berbagai alasan lainnya. Setiap orang juga punya istilahnya sendiri untuk menyebutkan fase hidup yang mereka anggap kritis. Sebut saja istilah quarter-life crisis yang dialami mereka di usia pertengahan 20-an, baby blues bagi mereka yang baru melahirkan bayi, bridezilla bagi mereka yang sedang merencanakan pernikahan, bahkan istilah post-power syndrome bagi mereka yang baru saja pensiun dari pekerjaannya. Apapun istilahnya, fase kritis tersebut menggambarkan kondisi psikologis yang sedang tidak stabil akibat stres yang sangat tinggi di waktu tertentu.
Karena itu, wajar saja kalau banyak orang merasa seperti berada di titik terendah saat menjalani sebuah fase hidup. Mereka yang sedang berada di titik terendah juga tak jarang merasa ‘tenggelam’ dalam masalahnya sendiri. Jika kita melihat di media massa, beberapa kali muncul pemberitaan mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang dalam kondisi stres tinggi. Ide dan percobaan bunuh diri pada kasus-kasus berat juga dianggap sebagai jalan pintas untuk keluar dari lautan masalah hidup yang terasa semakin menenggelamkan dari waktu ke waktu. Kondisi ini umumnya disebabkan karena saat berada di situasi sulit, kita kerap merasa sendirian dalam menghadapi masalah tersebut. Padahal pertanyaannya adalah, benarkah kita selalu sendirian?
Menurut Robert Stuart Weiss, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, merasa sendirian (loneliness) pada dasarnya adalah respon alami manusia terhadap situasi tertentu. Perasaan ini khususnya muncul saat kita sedang menghadapi situasi-situasi yang dianggap berat secara psikologis. Hanya saja, merasa sendirian dalam jangka panjang tanpa disadari beresiko membuat kita cenderung mengisolasi diri dari lingkungan. Kecenderungan ini memicu kesendirian yang awalnya hanya berupa perasaan saja, berubah menjadi kondisi yang nyata terjadi di kehidupan kita. Kondisi ini bergerak seperti siklus yang merusak kesehatan mental karena saat kita menutup diri dari orang sekitar, orang-orang penting di hidup kita perlahan dapat turut menjauh. Siklus ini kemudian semakin menguatkan pandangan awal bahwa kita memang hidup sendirian di dunia ini.
Lalu bagaimana caranya agar ‘lingkaran setan’ ini tidak terus berputar? Salah satu cara untuk memutus siklus tersebut adalah dengan mencari dukungan sosial dari lingkungan yang ada di sekitar kita. Dukungan sosial merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis, dan salah satu efek dominan dari dukungan sosial adalah meningkatnya suasana hati (mood) menjadi lebih positif. Mood yang baik tentunya membantu agar produktivitas kita dapat meningkat saat beraktivitas sehari-hari. Salah satu sumber dukungan sosial yang paling efektif adalah dukungan yang diterima dari orang yang signifikan dalam hidup kita masing-masing, seperti pasangan, orang tua, kerabat dekat, atau saudara kandung.
Dukungan sosial merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. ~ Annisa Rahmalia Share on XMendefinisikan mereka yang kita anggap ‘signifikan’ (atau umumnya disebut significant other) juga tidak terbatas pada orang-orang terdekat saja. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki pengalamannya sendiri dalam memaknai peran orang lain di hidup kita. Bagi sebagian orang, kakak atau adik kandung dapat menjadi significant other yang dukungannya sangat berperan untuk kesejahteraan kita. Namun bagi sebagian orang lainnya yang tidak dekat atau tidak memiliki saudara kandung, dukungan sosial dari teman sekolah atau kuliah menjadi sumber penting untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan, binatang peliharaan juga dapat menjadi significant other yang keberadaannya membantu kita menghadapi stres berat. Oleh karena itu, salah satu langkah terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan adalah dengan meminta dan menerima dukungan sosial dari mereka yang dianggap sebagai significant others.
Hanya saja, terkadang ada masalah yang kerap muncul dalam meminta dan menerima dukungan sosial dari orang lain. Masalah tersebut umumnya mengenai perasaan kurang cukup terhadap dukungan sosial yang telah diterima. Jika diumpamakan ke dalam satu situasi, maka kejadiannya kurang lebih akan seperti ini:
Perempuan: “Kok kamu nggak bantu aku, sih? Aku butuh uang!”
Laki-laki: “Ini kan udah dibantu, aku temenin!”
Atau:
Ibu: “Ini Mama kasih uang ya?”
Anak: “Lho, kok uang? Mau ditemenin ke dokter!”
Pernah mendengar dialog seperti itu? Tentunya situasi seperti itu cukup lazim terjadi di kehidupan sehari-hari. Lalu bagaimana hubungannya dengan dukungan sosial yang telah dibahas sebelumnya?
Fase hidup kritis yang sedang kita jalani juga akan dirasa lebih ringan karena dukungan sosial membuat kita sadar bahwa dalam mengarungi arus kehidupan, sudah sewajarnya kita tidak berlayar sendirian. ~ Annisa Rahmalia Share on XUntuk mengerti apa itu dukungan sosial, ada dua konsep utama yang perlu dipahami terlebih dahulu yaitu konsep received support dan perceived support. Menurut Manuel Barrera Jr., received support adalah bentuk nyata atas dukungan yang kita terima secara objektif dari pemberian orang lain. Sementara itu, perceived support adalah dukungan yang kita persepsikan atau dirasakan secara subjektif. Konsep perceived support lebih melihat pada bagaimana kita secara pribadi menilai dukungan sosial yang telah diterima, khususnya berkaitan dengan apakah dukungan sosial yang diterima sudah mencukupi kebutuhan kita atau belum. Perbedaan yang umum terjadi antara dukungan yang sesungguhnya diterima dengan apa yang kita persepsikan membuat rawan terjadi jarak antara received support dengan perceived support.
Merujuk kembali pada dialog sebelumnya, maka terlihat bahwa tidak semua dukungan yang diterima telah sesuai dengan yang apa yang kita butuhkan. Pada contoh pertama, terlihat bahwa ditemani bukanlah dukungan yang dibutuhkan oleh sang perempuan. Sehingga meskipun ia menerima received support berupa keberadaan sang laki-laki, namun dukungan yang sesungguhnya dibutuhkan adalah uang. Hal ini berdampak pada perceived support yang tetap rendah hingga sang perempuan mengeluh karena merasa tak dibantu.
Pola ini juga berlaku pada contoh dialog kedua, di mana sang anak merasa dukungan yang ia butuhkan adalah keberadaan sang ibu, bukan dukungan dalam bentuk uang. Perbedaan ini membuat kita sangat rawan merasa kurang mendapatkan dukungan sosial, meskipun lingkungan di sekitar sudah membantu memberikan dukungan sosialnya kepada kita.
Lalu bagaimana caranya agar jarak antara perceived support dan received support dapat diminimalisasi? Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
Mengenali kebutuhan diri sendiri: melihat kepada diri sendiri, dukungan sosial seperti apa yang kita butuhkan untuk keluar dari ‘kubangan’ masalah kita.
Mengidentifikasi significant other: menilai siapa kira-kira sosok yang dapat diandalkan dan bantuannya memiliki dampak terbesar dalam hidup kita.
Mengkomunikasikan kebutuhan kita akan dukungan dari significant other: Kita bisa memulai komunikasi dengan significant other tersebut. Hal terpenting adalah memastikan bahwa sosok tersebut tahu dan mau membantu kita di saat kita membutuhkannya.
Mengevaluasi proses yang telah berjalan: melihat dan bertanya kepada diri sendiri: apakah situasi dan mood kita membaik setelah mendapatkan dukungan?
Perlu diketahui bahwa bentuk komunikasi yang baik adalah yang bersifat dua arah (dyadic). Komunikasi yang bersifat dyadic ini berarti kita juga ikut memberikan dukungan sosial untuk significant other dalam hidup kita. Proses ini membuat pemberian dukungan tidak hanya menguntungkan diri sendiri, namun juga bermanfaat bagi orang lain yang dianggap penting. Dengan komunikasi dyadic, stres yang dihadapi diharapkan juga akan berkurang seiring dengan adanya proses pertukaran dukungan sosial yang efektif. Fase hidup kritis yang sedang dijalani kemudian akan terasa lebih ringan karena dukungan sosial membuat kita sadar bahwa dalam mengarungi arus kehidupan, sudah sewajarnya kita tidak berlayar sendirian.
Bacaan Lebih Lanjut
Referensi Bal, S. et al. (2003). The role of social support in well-being and coping with self-reported stressful events in adolescents. Child Abuse Negl. 2003 Dec 27 (12):1377-95. PubMed PMID: 14644056. Barrera, M. Jr. (1986). Distinctions Between Social Support Concepts, Measures, and Models. American Journal of Community Psychology, Vol. 14, No. 4, 1986. Weiss, R. S. (1973). Loneliness: The experience of emotional and social isolation. The MIT Press. |
Annisa Rahmalia (Nisa) adalah seorang mahasiswa program Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Sebagai seorang kandidat psikolog klinis, Nisa sudah mempelajari bidang ilmu psikologi selama +/- 6 tahun dengan pengalaman penempatan praktik tersupervisi di beberapa institusi seperti puskesmas, klinik, maupun rumah sakit. Beberapa topik yang menjadi minatnya adalah mengenai kesejahteraan dan kebahagiaan, intervensi psikologi klinis, pasangan dan perkawinan, maupun perkembangan manusia. Pada bidang akademik, studi terakhirnya adalah mengenai kesejahteraan dan dukungan sosial pada ibu hamil. Nisa juga pernah terlibat dalam studi mengenai kesehatan mental pada mereka yang mengalami kanker payudara sebagai seorang asisten peneliti. Di waktu senggang, Nisa memiliki minat terhadap seni dan desain komunikasi visual. Minatnya tersebut kerap dituangkan ke dalam hobi mendesain yang membuatnya beberapa kali terlibat dalam tim kreatif selama berkuliah.
Ikuti Nisa di Instagram: @nisarahmalia_ dan Facebook: facebook.com/nisarahmalia
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.