Memperkuat Layanan Kebidanan di dalam JKN
September 20, 2018Harun Rosyid
February 9, 2019Dengan tiadanya landasan empiris dan teoretis, upaya perlindungan anak dari kekerasan seringkali bergantung pada logika moralis yang berujung pada upaya-upaya tidak tepat untuk mengatasi akar permasalahan kekerasan itu sendiri. Penelitian yang saya lakukan menemukan bahwa meski data di Indonesia masih terbatas, beberapa temuan penting dapat dijadikan rekomendasi intervensi yang saat ini belum banyak diprioritaskan oleh pengampu hak-hak anak di Indonesia.
Kekerasan seksual saat ini telah menjadi permasalahan hak asasi manusia dan kesehatan masyarakat yang dialami jutaan anak di dunia, termasuk di Indonesia. Bagaimana tidak, dampak yang ditimbulkan dari pengalaman kekerasan pada masa kecil berdampak negatif secara jangka panjang dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Misalnya, anak-anak yang terpapar dengan bentuk-bentuk kekerasan di rumah cenderung menjadikan perilaku kekerasan sebagai upaya penyelesaian masalah. Inilah yang memungkinkan langgengnya rantai kekerasan, terutama ketika menjalin relasi pacaran, rumah tangga atau bermasyarakat di kemudian hari. Anak yang mengalami kekerasan lebih memungkinkan untuk putus sekolah. Beragam studi menemukan adanya hubungan antara kekerasan dan kualitas perkembangan otak anak, berimplikasi terhadap rendahnya kemampuan belajar dan sosial anak. Kekerasan seksual meningkatkan risiko anak terhadap infeksi menular seksual, HIV dan AIDS, serta kehamilan yang tidak direncanakan. Viktimisasi yang dialami anak korban kekerasan tak jarang membuat anak mengalami depresi yang berujung pada perilaku melukai diri sendiri (self-harm), penggunaan zat adiktif, hingga bunuh diri.
Di Indonesia, meski berbagai bentuk dan dampak kekerasan mungkin sering kita lihat sehari-hari, tindakan kekerasan masih jarang dilaporkan. Berbagai faktor dapat berkontribusi terhadap hal ini, mulai dari penerimaan sosial terhadap berbagai bentuk kekerasan sebagai upaya pengasuhan dan pembelajaran bagi anak, enggan melapor karena kekerasan yang masih dianggap urusan privat bahkan aib bagi keluarga, atau minimnya kerangka hukum yang melindungi anak dari kekerasan.
Minimnya pendataan terhadap kekerasan menyulitkan pemangku kepentingan untuk memahami tren, faktor-faktor yang menempatkan anak pada risiko atau yang dapat memproteksi anak dari kekerasan untuk menentukkan seberapa besar investasi, arah, serta prioritas kebijakan dan intervensi yang tepat.
Beberapa tahun terakhir, aktivis dan organisasi pengampu hak-hak anak menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam situasi ‘darurat kekerasan seksual terhadap anak’. Pertanyaannya, terlepas dari betapa mengerikannya kasus-kasus anekdotal kekerasan seksual anak yang muncul di media, seberapa ‘darurat’ kekerasan seksual anak dipahami melalui data dan studi akademik yang tersedia?
Di tahun 2016, saya bersama tim peneliti melakukan kajian literatur sistematis yang melibatkan 594 artikel ilmiah terkait kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia yang diterbitkan dalam kurun waktu 2006-2016. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rentang prevalensi, serta faktor risiko kekerasan anak berdasarkan data yang saat ini tersedia. Dari ratusan studi yang diidentifikasi, dalam proses akhir, hanya 15 studi yang kami analisis yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Dari penelitian ini, kami menyimpulkan bahwa kekerasan seksual anak tersebar luas di Indonesia dan secara umum didorong oleh norma gender di masyarakat terkait ketidaksetaraan gender melalui perilaku mengontrol laki-laki terhadap perempuan, praktik seksual yang mengobyektifikasi perempuan, serta model maskulinitas rigid yang menanamkan nilai-nilai kekerasan pada anak laki-laki.
Kekerasan Seksual Anak: Fenomena Gender?
Sembilan studi menyatakan persentase anak yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia, bervariasi antara 0 hingga 66 persen baik yang dialami anak perempuan dan laki-laki. Selama ini, data global menyatakan bahwa anak perempuan tercatat lebih banyak mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak laki-laki. Meski perempuan mengalami kerentanan tinggi terkait pengalaman kekerasan, di berbagai studi di Indonesia, laki-laki memiliki kerentanan tersendiri terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Studi yang dilakukan International Center for Research on Women (ICRW) dan Plan International di tahun 2014 menyatakan bahwa 21 persen laki-laki menyatakan setidaknya mengalami satu bentuk kekerasan seksual dibandingkan perempuan (7 persen). Penelitian berbasis sekolah yang dipublikasi Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO) di tahun 2015 juga membuktikan hal yang serupa, yaitu 5 persen laki-laki mengalami kekerasan seksual, lebih banyak dibandingkan perempuan (3 persen). Meski, perlu dicatat bahwa setiap penelitian menggunakan definisi kekerasan seksual, sampel, dan metode pengambilan data berbeda yang mungkin mempengaruhi hasil studi.
Anak laki-laki menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan seksual. Sebuah studi yang dilakukan kepada laki-laki dewasa di Papua menyatakan bahwa sebagian besar laki-laki melakukan tindakan pemerkosaan ketika mereka berusia remaja (antara 15 hingga 19 tahun). Alasan utama laki-laki melakukan pemerkosaan dikarenakan rasa kepemilikan seksual (sexual entitlement) terhadap perempuan (66 persen) atau rasa bosan (47 persen). Mirisnya, 67 persen pelaku laki-laki yang terlibat di studi ini tidak menerima konsekuensi legal apapun terkait tindakan pemerkosaan yang dilakukan.
Kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari dan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sebuah studi di tahun 2013 menemukan bahwa pengalaman kekerasan seksual anak dan trauma masa kecil lainnya merupakan faktor yang terkait erat dengan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan pelaku ketika dewasa. Studi inipun mencatat norma ketidakadilan gender (kontrol terhadap perempuan, praktik seksual yang menjadikan perempuan sebagai objek) menjadi penyebab utama, sementara kemiskinan dan penggunaan alkohol atau zat adiktif justru bukan merupakan faktor kuat pendorong kekerasan seksual, seperti yang sering diasumsikan masyarakat.
Mendobrak Kebisuan: Korban Cenderung Enggan Melapor
Korban cenderung masih enggan melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami kepada anggota keluarga, tetangga, teman sebaya, maupun layanan kesehatan dan sosial. Mendobrak kebisuan atas kasus kekerasan seksual merupakan hal yang penting, mengingat kebisuan atas kasus kekerasan seksual justru berkontribusi pada langgengnya normalisasi terhadap praktik kekerasan seksual itu sendiri. Meski demikian, perlu dipahami bahwa di berbagai situasi, terdapat faktor sosial dan budaya yang berkontribusi pada kebisuan ini.
Di Aceh, misalnya, sebuah studi kualitatif yang melibatkan 40 orang dewasa dan anak-anak menyatakan keengganan untuk melaporkan kekerasan atau mengintervensi ketika kekerasan di rumah tangga terjadi karena pandangan “nafsi” yang dimaknai secara umum bahwa “urusanmu adalah milikmu, dan kamu punya solusimu sendiri”. Anak-anak melaporkan ketidakpuasan terhadap mekanisme respons terhadap perlindungan anak, serta rasa malu dan takut untuk melapor bentuk kekerasan apapun yang dialaminya.
Kebisuan atas kasus kekerasan seksual justru berkontribusi pada langgengnya normalisasi terhadap praktik kekerasan seksual itu sendiri. ~ Ryan Febrianto Share on XMinimnya kesadaran masyarakat terkait hak-hak anak di masyarakat, rasa takut untuk melaporkan kasus ke polisi atau paralegal, dan minimnya informasi mengenai mekanisme dukungan untuk anak dinyatakan sebagai faktor-faktor yang membuat masyarakat sulit mengidentifikasi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan seksual dan membutuhkan layanan yang memadai. Terlebih lagi, seringkali kasus kekerasan tidak ditindaklanjuti secara hukum. Di satu studi di kabupaten di Sorong, Papua Barat, misalnya, tidak ada catatan kasus kekerasan seksual anak yang diadili di pengadilan. Minimnya layanan pendukung bagi anak korban kekerasan pun ditemukan pada penelitian di Sulawesi Selatan.
Solusi apa yang seharusnya dilakukan?
Kekerasan seksual anak merupakan permasalahan yang kompleks yang membutuhkan upaya komprehensif dan sistemik, yang tidak bisa diselesaikan dengan solusi tunggal atau cepat (quick fix). Khususnya, pendekatan punitif, seperti diberlakukannya hukuman yang lebih keras, seperti kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual anak, yang jelas tidak mengatasi akar masalah dari kekerasan ini sendiri, yakni: cara pandang, sikap, perilaku individu dan norma sosial terkait peran gender di masyarakat.
Kekerasan merupakan fenomena yang erat dengan ketimpangan gender, kekuasaan, serta nilai-nilai kekerasan dalam maskulinitas yang melingkupi individu, rumah tangga, hingga relasi di masyarakat. Transformasi sosial-budaya dibutuhkan, seperti dengan memobilisasi masyarakat untuk mendukung nilai-nilai kesetaraan gender di masyarakat, intervensi yang sensitif gender, misalnya dengan menanamkan nilai-nilai maskulinitas tanpa kekerasan pada anak laki-laki, pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, penguatan pendidikan pengasuhan yang menyayangi dan melindungi anak, hingga penguatan sistem data, layanan dan kerangka hukum yang memadai.
Mengingat norma sosial dan budaya berkontribusi pada langgengnya siklus kekerasan, intervensi pencegahan dan perlindungan memerlukan pendekatan yang sensitif terhadap konteks dan aset sosial budaya masyarakat yang mampu memobilisasi masyarakat secara jangka panjang, termasuk tokoh masyarakat, agama, anak dan pemuda, sebagai penggerak perubahan. Menghapus kekerasan memerlukan gerakan sosial dan budaya yang masif.
Anak dan pemuda seringkali menjadi pihak yang diabaikan dalam intervensi mencegah dan menangani kekerasan. Diskursus dan praktik perlindungan anak saat ini masih menempatkan anak dan orang muda sebagai kelompok yang pasif, tidak memiliki kapasitas (incapable), maupun rentan dan perlu dilindungi oleh orang dewasa. Konstruksi sosial dan budaya terkait masa kanak-kanak (childhood) yang mengasosiasi anak sebagai manusia masa depan (‘becoming’) dan rentan mendorong cara pandang yang mengabaikan fakta bahwa anak pun merupakan sebuah entitas (‘being’) yang memiliki hak dan kapasitas, dalam tingkatan tersendiri, untuk mendorong perubahan.
Melibatkan pemuda dan anak dalam perubahan perlu dimulai dengan mengubah sikap dan cara pandang bahwa anak dan pemuda memiliki kapasitas untuk memahami masalah, mengidentifikasi, dan melakukan solusi bersama. Dengan demikian, upaya perlindungan anak tidak hanya berperan protektif untuk menghapus risiko atau kerentanan anak atas kekerasan, namun juga berperan mengembangkan kapasitas diri mereka sebagai manusia yang memiliki hak asasi manusia seutuhnya di masyarakat.
Bukankah tujuan utama melindungi anak adalah memastikan mereka bisa tumbuh dan berkembang dalam semua aspek secara sehat dan sejahtera?
Bacaan Lanjutan
- Bissell, S., Boyden, J., Cook, P., and Myers, W. (2007) ‘Rethinking Child Protection from A Rights Perspective: Some Observations for Discussion’ Unpublished White Paper, prepared for the International Child Protection and Rights Consortium.
- Boyden, Jo. (2003) ‘Children under Fire: Challenging Assumptions about Children’s Resilience’ Children, Youth, and Environments Vol. 13, No. 1
- Flavio C. J. Ballet, M, Biggeri, V. Ieverse (2011) ‘Introduction – Theoretical Foundations and the Books’ Roadmap’ in Children and the Capability Approach. London: Palgrave
- Korbin, Jill E. (2003) ‘Children, Childhoods, and Violence’. Annual Rev. Anthropology 2003, 32: 431-46
- Lilleston, L. Goldmann, R. K. Verma & J. McCleary-Sills (2017) ‘Understanding social norms and violence in childhood: theoretical underpinnings and strategies for intervention’, Psychology, Health & Medicine, 22:sup1, 122-134
- Myers, W. and M. Bourdillon (2012) ‘Introduction: Development, Children, and Protection, Development in Practice, 22(4): 437-447.