Apa Sebenarnya Gangguan Mental Itu?
March 7, 2020Siksaan Emosional
March 7, 2020Makna
Krisis Usia Dua Puluhan: Tantangan dan Bagaimana Memaknainya
oleh Helvira Novianti
Merasa tidak berada pada pekerjaan yang tepat, merasa tidak berhasil atau gagal dalam pekerjaan, tidak cocok dengan lingkungan di kantor, mulai merasa gelisah karena banyak teman yang sudah menikah, dan tekanan-tekanan lainnya. Terkadang mungkin kita bertanya, apakah ini adalah hal yang wajar? Apakah merasakan tiap gejolak pada urusan pekerjaan, percintaan dan pertemanan di usia dua puluhan adalah sesuatu yang normal? Apakah gejolak ini berkaitan dengan istilah tertentu?
Pekerjaan dan hubungan romantis selalu menjadi topik pembahasan hangat yang dibahas apabila bertemu dengan kerabat dekat. Tekanan dan beban dari setiap pembahasannya mungkin berbeda di setiap individu yang menjalankan, namun apabila ditelaah lebih dalam nyatanya hampir semua orang di sekitar kita pernah merasakan adanya gejolak tersebut.
Berbicara dengan gejolak yang sering dirasakan individu mengenai pekerjaan dan percintaan seringkali kita mendengar adanya istilah quarter life crisis atau krisis usia dua puluhan. Mendengar istilah quarter life crisis mungkin sudah bukan hal yang asing lagi. Lingkungan sekitar yang juga semakin banyak menggunakan istilah quarter life crisis dalam percakapan sehari-hari membuat kalimat tersebut menjadi isu yang akrab di telinga kita. Sering kali kita mendengar atau bahkan ikut menyeletuk “Kita tuh lagi di masa quarter life crisis…”.
Sebenarnya apa makna dari istilah quarter life crisis? Adakah kaitannya dengan tahapan perkembangan emosi dan sosial manusia?
Istilah quarter life crisis menurut Blake dapat diartikan sebagai periode dimana individu merasakan pergolakan secara emosional dan rasa cemas akan perubahan yang terjadi di usia dewasa. Lebih lanjut menurut Blake, periode ini dapat dikarakteristikan dengan perasaan gelisah yang berkaitan dengan hubungan dan dunia pekerjaan, kebingungan identitas, rasa tidak aman dengan apa yang dikerjakan sekarang dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Kita sebagai individu yang terlahir di dunia akan hidup melewati tahapan perkembangan emosi dan sosial. Tahapan tersebut kita lalui semenjak kita terlahir di dunia hingga nantinya di masa tua.
Setiap gejolak yang dirasakan mengenai pekerjaan berkaitan dengan adanya segala tuntutan dari lingkungan di fase quarter life crisis. ~ Helvira Novianti Share on XApabila menelaah mengenai setiap tahapan perkembangan manusia kita dapat bercermin dari teori psikososial milik Erik Erikson, seorang psikolog asal Jerman. Menurutnya, individu yang sedang menginjak usia 18-30 tahun atau ada pada masa emerging adulthood sedang berada pada masa di mana prioritas seseorang bergeser bersama dengan tanggung jawab mereka. Sedangkan masa quarter life crisis ini akan mulai dirasakan ketika seseorang berada pada usia 25-30 tahun atau di mana individu baru saja menyelesaikan perkuliahan atau baru masuk ke dunia kerja. Mengutip pula dari Meredith Goldstein dalam The Boston Globe, quarter life crisis muncul ketika individu memasuki usia 20an atau biasa dikatakan sebagai fase dimana seseorang baru masuk ke kehidupan nyata seperti baru lulus kuliah, baru masuk ke dunia kerja dan baru hidup mandiri atau berpisah dari keluarga.
Permasalahan utama yang dirasakan pada masa quarter life crisis menurut Alexandra Robbins dan Abby Wilner adalah kegelisahan akan transisi dari dunia ‘akademik’ ke kehidupan nyata, mulai memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan dan muncul rasa penyesalan dengan apa yang sudah dikerjakan di masa lalu. Oleh karena itu, kerap kali pada periode tersebut kita sering bertanya-tanya, “Apa aku sudah berhasil?”, “Apa yang akan aku lakukan selanjutnya?”.
Setiap gejolak yang dirasakan mengenai pekerjaan berkaitan dengan adanya segala tuntutan dari lingkungan di fase quarter life crisis. Tuntutan tersebut datang dari lingkungan sekitar yang bahkan kadang terdengar tidak realistis. Menginjak 25-30 tahun, seakan lingkungan menuntut individu untuk harus memiliki segalanya: karir yang cemerlang, menikah dan berkeluarga. Tuntutan-tuntutan tersebut sering kali yang membuat kita sebagai individu merasa gagal atau tidak berhasil terhadap apa yang kita kerjakan. Terlebih lagi kita hidup di era dimana segala hal dapat dengan mudah di akses di media sosial sehingga memudahkan kita pula untuk membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Sering kali kegelisahan itu muncul ketika melihat kesuksesan hidup orang lain atau membandingkan pekerjaan seseorang yang terlihat lebih menguntungkan.
Gejolak tersebut semakin besar di usia quarter life crisis ini karena menurut Erik Erikson kita juga sedang berada pada tahapan perkembangan intimasi dan isolasi sekaligus atau intimacy vs isolation. Mendengar teman terdekat sudah menikah, memiliki anak dan berkeluarga mungkin kerap kali memunculkan adanya perasaan gelisah atau takut di dalam diri. Apakah kita akan merasakannya juga? Kapan kita akan merasakan hal tersebut? Apakah kita bisa memiliki hubungan yang berhasil dengan pasangan yang sesuai?
Hampir setiap individu akan melewati fase quarter life crisis. Semua ini tergantung bagaimana kita dapat mengatasi kegelisahan tersebut dan memaknainya sebagai suatu hal yang wajar dan bisa dilewati.~ Helvira Novianti Share on XKegelisahan ini wajar dirasakan apabila berkaca pada teori psikososial Erikson. Apalagi ketika seorang individu sedang pada tahapan mencari hubungan intim dengan pasangan yang dipilihnya. Tantangan yang mungkin muncul pada tahapan ini adalah adanya perasaan tidak percaya pada hubungan atau takut akan merasa kesepian.
Sebagai individu yang sedang berada pada fase quarter life crisis, perasaan gelisah tentu muncul hampir setiap saat. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah perasaan gejolak dan kegelisahan tersebut akan selamanya membawa pengaruh negatif bagi diri kita?
Hal pertama yang harus kita sadari adalah setiap gejolak atau kegelisahan yang dirasakan adalah hal yang wajar karena sejatinya kita sedang berada pada tahapan perkembangan tersebut. Namun, apabila kegelisahan berarah pada depresi bahkan frustasi akan lebih baik jika mencari pertolongan dari profesional.
Selain itu, menurut Caroline Beaton di artikelnya yang berjudul Why Millennials Need Quarter Life Crisis, di tengah kehidupan quarter life crisis yang penuh ketidakpastian, adanya kegelisahan dan gejolak tersebut dapat menjadi pengingat bahwa tidak ada yang permanen dan salah satu solusi terbaik adalah berusaha berjuang dan melewatinya. Bahkan menurut Caroline, dengan adanya kegelisahan tersebut akan membuat individu tidak cepat puas akan suatu hal dan lebih bertanggung jawab terhadap setiap langkah yang akan diambilnya.
Jadi, sebenarnya setiap pertanyaan yang muncul pada fase quarter life crisis, bisa jadi akan menuntun kita ke suatu hal yang lebih baik. Nyatanya, hampir setiap individu akan melewati fase quarter life crisis. Semua ini tergantung bagaimana kita dapat mengatasi kegelisahan tersebut dan memaknainya sebagai suatu hal yang wajar dan bisa dilewati.
Bacaan Lebih Lanjut
Referensi Blake, A. (2008). Adults in crisis. Irish Independent, p.26 Erikson, E. H. (1950). Childhood and society. New York: Norton. Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. London: Faber and Faber. Murphy, M. (2011). Emerging adulthood in ireland: is the quarter life crisis a common experience? In Department of Social Science, Dublin Institute of Technology, pp.10-12. Robbins,A., & Wilner, A. (2001). Quarter-life crisis: The unique challenge of life in your twenties. New York: Penguin Putnam Inc. |
Helvira Novianti atau yang biasa dipanggil Vira sekarang bekerja sebagai guru bagi anak berkebutuhan khusus di Sekolah Cikal Jakarta. Dia adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2014. Selama kuliah, dia aktif berorganisasi di jurusan dan berkegiatan yang berhubungan dengan dunia pendidikan serta anak usia dini. Selain bekerja di Sekolah Cikal, dia juga terlibat pada beberapa kegiatan volunteer pendidikan seperti Ruang Berbagi Ilmu dan Inspiration Factory Foundation.
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.