Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
July 30, 2024Rumput yang Berpilin di Hati
August 22, 2024Makna
Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
oleh Nur Hasyim (Pendiri Aliansi Laki-laki Baru)
Renungan Pembuka
Mengapa ada suami yang sampai hati mengakhiri hidup istrinya dengan cara memutilasi lalu menjajakan potongan tubuh sang istri seperti daging kambing atau daging sapi?
Mengapa angka bunuh diri laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan? Lalu, mengapa populasi laki-laki di penjara lebih banyak dibandingkan dengan perempuan? Mengapa lebih banyak laki-laki yang meninggal karena kecelakaan di jalan raya? Dan, mengapa anak laki-laki dihalangi untuk menangis, padahal menangis adalah ekspresi emosi yang manusiawi?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif itu tidak dipandang penting untuk dicari jawabannya, karena fenomena laki-laki di atas dianggap sebagai sebuah keniscayaan kehidupan. Suami marah tak tertahankan lalu melakukan tindakan kekerasan kepada pasangannya adalah kewajaran. Laki-laki bunuh diri karena deraan tekanan hidup dan terganggu kesehatan mentalnya dipandang sebagai bagian dari hukum ‘siapa yang kuat dia yang akan bertahan’ (survival of the fittest). Laki-laki terlibat dalam kriminalitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Keberanian mengambil risiko dan melabrak aturan dipandang normal dalam keyakinan laki-laki.
Istilah ‘bad boy’ secara tekstual bermakna ‘laki-laki brengsek’. Tapi, bad boy justru memiliki nilai tersendiri dalam jagad laki-laki. Secara kontekstual, makna ‘bad boy’ malah berlaku sebaliknya dan dianggap sebagai karakter ideal laki-laki. Tidak jarang pula banyak para perempuan yang mengidam-idamkan laki-laki dengan karakter ‘bad boy’. Dan dalam kehidupan yang kompetitif dan keras ini, anak laki-laki sejak dini didorong untuk menjadi kuat dan segala hal yang dapat membuatnya lemah harus dicegah. Kecengengan dianggap sebagai bentuk kelemahan bagi dunia laki-laki.
Maskulinitas Patriarkis
Fenomena laki-laki melakukan kekerasan, melanggar hukum, bunuh diri, mati karena kebut-kebutan di jalan adalah konsekuensi dari berlakunya struktur sosial yang menempatkan laki-laki pada pusat kekuasaan atau yang sering disebut dengan patriarki. Kekuasaan laki-laki sebagai ruh patriarki hanya dapat dilestarikan oleh laki-laki yang memiliki karakteristik dominan, superior, kuat, keras, heteroseksual, pantang menyerah, berani mengambil risiko. Oleh sebab itulah, patriarki berkepentingan mengatur tata perilaku laki-laki agar laki-laki tetap dapat menopangnya. Patriarki juga mengatur bagaimana pola hubungan yang harus dibangun laki-laki dengan perempuan, yakni pola hubungan yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan menempatkan perempuan sebagai subordinat (lebih rendah).
Pola pengaturan tata perilaku dan pola hubungan laki-laki yang dilakukan patriarki di antaranya dengan adanya pembagian peran (gender role) yang tegas antara laki-laki dan perempuan sehingga tercipta peran-peran yang khas laki-laki dan khas perempuan. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin ini berlangsung sejak di rumah, di sekolah, sampai di tempat kerja. Jurusan kuliah dan fakultas pun ada yang identik dengan laki-laki dan perempuan. Patriarki juga menciptakan norma sosial tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki atau bagaimana idealnya seorang laki-laki. Konsep laki-laki ideal ini menjadi standar dan ukuran bagaimana menjadi laki-laki dalam masyarakat.
Pembagian peran dan norma sosial tentang laki-laki ini, pada akhirnya, memengaruhi bagaimana laki-laki berkeyakinan, berfikir, dan berperilaku dalam kehidupan sosial, termasuk memengaruhi bagaimana laki-laki berelasi dengan perempuan dan dengan laki-laki lainnya. Soal bagaimana laki-laki berpikir, berkeyakinan, bersikap, berpenampilan, dan berperilaku itu disebut dengan maskulinitas. Dalam masyarakat yang patriarkis, corak maskulinitas yang dihadirkan adalah maskulinitas yang sejalan dengan nafas patriarki yang oleh kelompok feminis disebut dengan maskulinitas patriarkis dengan karakteristik yang sudah disebutkan sebelumnya.
Apakah Laki-laki Diuntungkan oleh Patriarki?
Jawabannya adalah iya.
Apa yang diperoleh laki-laki dari patriarki? Privilese (hak istimewa) dan kekuasaan. Privilese adalah perlakuan istimewa yang didapatkan laki-laki karena semata-mata mereka laki-laki. Karena terlahir sebagai laki-laki, seseorang akan mendapatkan akses pada pendidikan, pengetahuan, informasi, dan pekerjaan yang lebih mudah, jika dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki tidak memiliki beban kultural untuk memikul tanggung jawab kerja-kerja domestik.
Sementara kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk bertindak dan memengaruhi orang lain sebagaimana yang ia inginkan, termasuk juga kemampuan seseorang untuk memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan. Karena terlahir sebagai laki-laki, jika ia berkeluarga kelak, ia akan menjadi kepala keluarga yang artinya memiliki kekuasaan dan memegang otoritas tertinggi dalam keluarga. Tidak hanya di keluarga, kekuasaan laki-laki juga menjalar ke lingkungan yang lebih luas, seperti masyarakat, negara, dan dunia global. Inilah yang membuat posisi-posisi strategis di dunia ini dikuasai oleh laki-laki. Privilese dan kekuasaan ini berpengaruh pada akses laki-laki terhadap sumber daya, baik sumber daya material, seperti uang, tanah, rumah dan properti, maupun sumber daya non-material, seperti pengetahuan, keahlian, informasi, dan jaringan. Akses yang lebih terhadap sumber daya inilah yang menjadi modal dominasi laki-laki dalam semua tingkatan bermasyarakat.
Namun, privilese dan kekuasaan yang direngkuh oleh laki-laki di atas harus dibayar oleh laki-laki dengan ongkos yang ‘mahal’. Memang benar bahwa patriarki telah memberi privilese dan kekuasaan pada laki-laki. Akan tetapi, laki-laki juga menjadi kehilangan kemanusiaannya. Untuk menunjukkan bahwa laki-laki itu kuat, sejak kanak-kanak, laki-laki dihalangi untuk mengekspresi perasaan manusiawinya, seperti menangis. Karena norma laki-laki adalah sebagai pelindung, laki-laki harus mengubur jauh-jauh perasaan takut, cemas, dan khawatir sebagai perasaan yang sebenarnya juga manusiawi. Karena norma laki-laki sebagai pencari nafkah, laki-laki harus menguruk keinginannya untuk berlama-lama dengan anaknya di rumah.
Laki-laki juga memaknai ayah sebagai pemenuh kebutuhan material semata. Jika ada konflik dan perbedaan, laki-laki hanya mengenal penyelesaian konflik ala laki-laki, yakni kekerasan dan tidak ada kamus kompromi atau negosiasi. Semua itu membuat laki-laki memiliki hubungan yang dangkal dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan dengan orang-orang dekat yang mereka cintai. Situasi itu membuat laki-laki memikul beban yang tidak ringan. Mereka diliputi oleh kecemasan yang tidak berkesudahan untuk memenuhi ekspektasi menjadi laki-laki ideal. Akibatnya, tidak sedikit laki-laki yang mengalami gangguan mental dan mengakhiri hidupnya.
Laki-laki juga melihat laki-laki lain sebagai kompetitor dan ancaman, sehingga hubungan laki-laki dengan sesama laki-laki adalah hubungan yang kompetitif. Artinya, praktik dominasi dan opresi juga terjadi di antara laki-laki itu sendiri. Mereka yang dapat memenuhi norma laki-laki ideal (maskulinitas hegemonik) akan berada di puncak hirarki kekuasaan. Sementara laki-laki yang tidak dapat memenuhi norma laki-laki ideal (maskulinitas komplisit, subordinat, dan marjinal) akan berada dalam posisi dikuasai, dikontrol, dan ditindas. Sekali lagi, selain opresi laki-laki terhadap perempuan, dalam struktur patriarki, terjadi juga opresi antara laki-laki terhadap laki-laki lainnya.
Transformasi Maskulinitas Patriarkis
Karena patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga membuat laki-laki menjadi tidak manusiawi, maka transformasi maskulinitas patriarkis menjadi keharusan untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan manusiawi. Transformasi maskulinitas patriarkis dimulai dengan menghentikan invisibilitas (ketersembunyian) laki-laki dan maskulinitas dalam diskursus gender. Selama ini, isu gender dilokalisir menjadi semata-mata isu perempuan. Bahkan, ada sesat pikir yang mengidentikan gender dengan perempuan. Padahal, gender adalah analisis sosial untuk menarik garis batas antara apa yang disebut dengan seks atau jenis kelamin yang bersifat biologis dengan konstruksi sosial tentang laki-laki dan perempuan atau maskulinitas dan femininitas.
Dengan demikian, maskulinitas dan femininitas menjadi bagian integral dalam diskursus tentang gender. Ketersembunyian laki-laki dan maskulinitas dalam diskursus gender merupakan cara laten untuk menghalangi proses perubahan maskulinitas patriarkis, karena ketersembunyian laki-laki dan maskulinitas adalah bagian dari privilese dan kekuasaan laki-laki.
Dengan visibilitas laki-laki dan maskulinitas, memungkinkan ruang bagi laki-laki dan maskulinitas untuk ditelaah, direnungkan, dikritisi, dan membuka ruang diskusi tentang adakah maskulinitas alternatif. ~ Nur Hasyim Share on XBerikutnya, membuat laki-laki dan maskulinitas menjadi se-visible (terlihat) mungkin dalam diskursus gender sangatlah penting. Dengan visibilitas laki-laki dan maskulinitas, memungkinkan ruang bagi laki-laki dan maskulinitas untuk ditelaah, direnungkan, dikritisi, dan membuka ruang diskusi tentang adakah maskulinitas alternatif. Maskulinitas ditelaah untuk memberikan kejelasan bahwa maskulinitas adalah hasil dari proses sosial dan bukan aspek alamiah yang ada pada diri laki-laki, seperti yang dikatakan oleh para esensialis. Perlu direnungkan bahwa maskulinitas memiliki kandungan racun (toxic) yang dapat menciptakan penderitaan, tidak hanya bagi perempuan, melainkan juga bagi laki-laki sendiri. Konsep maskulinitas mainstream adalah bagian dari agenda patriarki untuk melestarikan tatanan sosial yang berpusat pada laki-laki. Dan terakhir, kita perlu membuka ruang dialog untuk mencari alternatif maskulinitas yang lebih sehat (healthy masculinity), lebih positif (positive masculinity), dan lebih manusiawi.
Nur Hasyim merupakan peminat kajian maskulinitas. Ia menjadi trainer dan fasilitator tentang isu gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua orang anak perempuan. Saat ini, ia merupakan pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Artikel Terkait
Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
Ada kesalahpahaman bahwa feminisme berarti membenci laki-laki. Karena itu, banyak orang yang merasa enggan untuk belajar tentang feminisme. Lewat tulisan ini, penulis berusaha meluruskan miskonsepsi ini dan menjelaskan bahwa feminisme sebetulnya ada untuk semua orang.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme?