Desainer Masa Depan: Apa Itu Speculative Design?
June 21, 2021Tubuh Digitalku, Milik Siapa?
June 27, 2021Catatan Pinggir
Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
oleh Ni Made Ras Amanda Gelgel
Pengantar Redaksi:
Di Catatan Pinggir ini, Dr. Ni Made Ras Amanda G., Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana dan Pegiat Literasi Digital dari Japelidi, berbagi tentang pentingnya menjadi warganet yang bijak dan kritis. Bagaimana caranya?
Siapakah yang bertanggung jawab untuk membentuk netizen yang bijak dan dunia digital yang sehat?
Mari kita perhatikan beberapa judul berita berikut: “Viral Kelompok Remaja Berkelahi di Tanah Toraja, Dipicu Saling Ejek di Medsos”, “Awal Mula Remaja Putri Duel di Got Ternyata Gegara Story WA”, “Demi Subscriber, Tiga Remaja Ini Unggah Video Hoax Berantem di Mojokerto”, “Guru di Semarang Terjerat Utang di 20 Aplikasi Pinjol, Pinjam 3,7 Juta, Membengkak RP 206 Juta”
Judul-judul berita seperti ini banyak menghiasi berbagai media di Indonesia, baik online maupun cetak, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Media sosial yang kita gunakan sehari-hari kini telah menjadi wadah penyebaran informasi yang dapat memicu kesalahpahaman. Hal ini terjadi karena informasi-informasi yang tersebar mungkin kurang lengkap atau tidak jelas kebenarannya. Dalam situasi seperti ini, literasi digital sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menghindari konflik atau dampak-dampak negatif lain dari media sosial. Media digital pun menjadi tempat maraknya kejahatan siber yang menjebak warganet, mulai dari pencurian data pribadi hingga pencurian identitas netizen untuk melakukan penipuan daring. Karena itu, budaya literasi kritis sangat diperlukan dalam masyarakat. Tujuannya agar apapun latar belakang masyarakat tersebut, mereka dapat melindungi diri dari dampak-dampak negatif penggunaan media digital tersebut.
Namun, tentu saja membentuk literasi kritis di era digital tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menumbuhkan budaya literasi kritis memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Apalagi, perkembangan teknologi informasi ini tidak hanya dirasakan oleh mereka yang “terdidik”, tapi juga oleh semua pihak tanpa mengenal umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, pendapatan, lokasi tempat tinggal, ataupun profesinya.
Jumlah pengguna media sosial Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data WeAreSocial, jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2021 mencapai 202,6 juta orang. Menurut Asosiasi Perusahaan Jasa Internet Indonesia (APJII), angka ini naik sekitar delapan persen dari tahun sebelumnya. Selain itu, berdasarkan survei APJII tentang pengguna internet, sejak 2017–2019, layanan internet kebanyakan digunakan oleh mereka yang berusia 19-34 tahun.
Dari data tersebut, kita dapat melihat bahwa hampir sebagian besar pengguna internet di Indonesia adalah digital natives (orang-orang yang sedari dini menggunakan teknologi digital). Digital natives adalah mereka yang lahir setelah tahun 1980. Biasanya, mereka disebut Generasi Y atau milenial (orang-orang yang lahir pada tahun 1980-1995) dan Generasi Z (orang-orang yang lahir pada tahun 1996-2009). Dari sini, bisa dikatakan bahwa Generasi Z adalah generasi pertama yang telah menggunakan internet seumur hidupnya. Jika generasi sebelumnya masih sempat mengalami transisi kehidupan sebelum adanya internet, maka generasi Z lahir saat internet sudah tersedia.
Ketika seorang Gen Z (sebutan untuk anggota generasi Z) mengalami sesuatu, baik itu menyenangkan maupun menyedihkan, mereka cenderung akan membagikannya di media sosial. Unggahan ini biasanya berupa ungkapan perasaan, yang seringkali mengundang pro dan kontra. Perbedaan pendapat yang diunggah di internet inilah yang seringkali menimbulkan perkelahian antar anak muda.
Tidak hanya soal perbedaan pendapat, ada pula persoalan yang umumnya dialami oleh pengguna media sosial yang udah berusia lebih dewasa. Pada usia ini, kasus yang kerap terjadi adalah kasus penipuan. Bentuk penipuan yang terjadi pun beragam. Mulai dari penipuan dalam transaksi jual beli, hingga yang kini sedang marak, yakni penipuan berbasis pinjaman online (pinjol). Bahkan, ada beberapa kasus di mana korban jasa pinjol ini harus membayar 100 kali lipat dari uang yang dipinjam.
Untuk membangun kesadaran akan pentingnya bersikap kritis di media sosial, dibutuhkan kolaborasi antar kelompok usia penggunanya. ~ Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel S.Sos M.Si Share on XUntuk membangun kesadaran akan pentingnya bersikap kritis di media sosial, dibutuhkan kolaborasi antar kelompok usia penggunanya. Ada riset yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara masing-masing generasi dalam menyikapi informasi palsu. Tetapi, tentu anak muda atau generasi Z diharapkan lebih mampu untuk mengenali informasi palsu dan membawa perubahan positif dalam dunia digital Indonesia. Selain karena jumlahnya yang lebih besar, Gen Z juga lebih cakap dalam mengidentifikasi informasi bohong atau penipuan di media digital. Selain itu, Gen Z juga lebih fasih dalam menggunakan perangkat maupun aplikasi di media digital dibandingkan generasi di atasnya.
Sayangnya, kebanyakan pengguna usia muda masih enggan untuk menentukan sikap dan bersuara di media sosial, khususnya pada aplikasi-aplikasi percakapan. Padahal, apabila mereka lebih berani untuk bersuara, maka generasi yang lebih tua pun akan terbantu dan menjadi lebih terliterasi. Dengan literasi digital yang lebih baik, generasi yang lebih tua pun tidak akan terjebak lagi dalam penipuan-penipuan yang bertebaran di media digital.
Menurut riset yang sama, rasa enggan generasi muda untuk bersuara ini disebabkan oleh adanya jarak antar anak muda dengan orang tua mereka. Posisi superior (lebih tinggi) dan inferior (lebih rendah) dalam keluarga, khususnya di Indonesia, menimbulkan keengganan bagi anak muda untuk memberi tahu bahwa suatu berita adalah hoax. Keengganan untuk menjelaskan ini disebabkan oleh pihak superior yang merasa lebih banyak tahu, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri bagi generasi muda ini.
Padahal, generasi atas mungkin memiliki keterbatasan dalam memahami beragam jenis konten maupun aplikasi yang beredar di media digital, dan bisa banyak belajar dari generasi yang meski lebih muda, tampak lebih fasih ini. Perkembangan aplikasi dan pemberitaan yang kerap kali berasal dari video viral menjadi informasi yang sulit untuk generasi atas pahami.
Di samping itu, memantau dan menjaga anak di dunia digital juga menjadi sebuah kesulitan sendiri untuk para orang tua. Sebelum adanya internet, mereka bisa mengawasi pergaulan anaknya secara langsung. Namun, saat ini sebagian dari pertemanan anak dibentuk di dunia digital, sehingga sulit terjangkau oleh generasi di atasnya. Padahal, penting bagi mereka yang sedang berkembang untuk mendapat panduan dari figur lebih dewasa yang dihormati tentang bagaimana cara bernavigasi di dunia ini.
Melalui paparan di atas, diketahui bahwa setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka, untuk membangun budaya literasi kritis dan netizen yang bijak, diperlukan kolaborasi dan komunikasi antar generasi untuk saling melengkapi. Selain itu, diperlukan juga kerja sama antar generasi untuk saling menjaga dan melindungi dari satu sama lain dari dampak-dampak negatif dunia digital.
Kini, tantangannya adalah bagaimana cara kita bisa menjembatani masing-masing generasi agar bisa berkolaborasi dan saling membantu? Di sini, kita dapat menerapkan konsep hubungan patron dan klien, yang dijalin dengan dasar sama-sama menguntungkan. Dalam hubungan ini, posisi keduanya harus sejajar. Dengan demikian, tidak lagi ada pihak yang lebih superior maupun inferior. Setiap generasi memiliki posisi dan kesempatan yang sama untuk belajar, mengajar, dan saling membantu. Dengan begitu, semua pihak dapat berkontribusi dalam membentuk netizen kritis dan membangun budaya literasi digital yang sehat.
Internet adalah dunia di mana semuanya setara. Semua penggunanya memiliki peran dan kewajiban yang sama. Maka, apabila warganet ingin mewujudkan dunia digital yang sehat dan kritis, mari kita mulai saling menyapa antar generasi. Hal ini bisa dimulai dengan menghilangkan sekat dan keengganan yang ada. Dengan demikian, kita pasti mampu menciptakan dunia digital yang sehat untuk semua: Dunia digital yang aman, nyaman, dan membawa hal-hal yang positif untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat di Indonesia.
Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel S.Sos M.Si, lahir di Bogor, 13 Juli 1980. Menghabiskan masa kecil hingga bekerja di Bogor, Depok, dan Jakarta, kini berdomisili di Guwang, Sukawati, Gianyar, Bali, menikah dan memiliki 3 anak. Ia memperoleh gelar sarjana dan magister ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia. Gelar doktoral diraih pada usia 34 tahun, di Kajian Budaya, Universitas Udayana. Pada 2009, ia menjadi dosen di Universitas Udayana setelah lebih dari 7 tahun berprofesi sebagai jurnalis, reporter, hingga presenter di BaliTV dan AntaraTV.
Ia pernah menjadi wartawan Istana Kepresidenan pada masa Presiden Megawati hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengalamannya dalam jurnalisme mendukung mata kuliah yang diajarkan yakni di bidang jurnalistik dan media. Sejak 2019, ia dipercaya untuk menjadi koordinator Media Udayana dan Udayana TV serta Radio Udayana, dan 2021 menjadi Ketua Tim PR Universitas Udayana.
Selain mengajar, penelitian yang pernah dilakukannya di bidang media bekerjasama dengan KPI, KPU Kabupaten/Kota, Dewan Pers, TVRI dan beberapa Kabupaten/Kota di Bali. Kegiatan pengabdian yang dilakukan selama ini di bidang literasi digital. Ia pun tergabung dalam beragam jaringan seperti ISKI, ASPIKOM, APJIKI, JAPELIDI, PERHUMAS, serta ahli pers Dewan Pers. Ia dapat dihubungi di [email protected]
Artikel Terkait
Media, Kita, dan Kebenaran
Kenyataan hidup (realitas) kita sekarang tidak cuma dibentuk oleh keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Media memainkan peran penting dalam menentukan apa yang kita anggap benar atau salah. Dengan kemasan ciamik, media membuat kita menuruti ideologi tertentu. Lalu gimana caranya kita bisa memahami media secara kritis? Yuk, baca artikel ini.Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
Media bukan cuma sesuatu yang kita tonton, baca, atau bagikan ke teman-teman. Di artikel ini, Regina Widhiasti menjelaskan peran penting media dalam mengubah pola pikir, ideologi, dan memori kolektif.Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
Kelompok minoritas seksual banyak mengalami representasi media yang tidak hanya salah, tapi juga tidak adil dan punya risiko menyakiti serta mendorong munculnya kekerasan. Lalu, bagaimana kita bisa merepresentasikan kelompok minoritas seksual secara adil?