Sri Yulita Pramulia Panani
July 6, 2022Ikhaputri Widiantini
July 6, 2022Makna
Bagaimana menjadi Manusia yang Baik?
oleh Sri Yulita Pramulia Panani
Kita semua diharapkan menjadi orang yang baik oleh orang tua maupun diri sendiri. Namun, bagaimana cara menjadi manusia yang baik? Bukankah ada beragam kriteria “baik”? Jadi, apakah label “manusia yang baik” itu tidak universal dan bersifat subjektif saja?
Banyak orang mengasumsikan filsafat sebagai ilmu yang susah dipahami. Sebagian menganggap filsafat sebagai ilmu menyesatkan. Padahal, sejatinya filsafat merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia untuk memahami kebenaran mendasar tentang diri manusia sendiri, dunia yang menjadi tempat tinggal, serta hubungan manusia dengan alam dan sesama manusia lain. Inti dari filsafat adalah mencari hakikat, esensi, dan kebenaran dalam segala sesuatu. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memiliki sifat selalu penasaran, yang mencari kebenaran. Maka, filsafat dapat dikatakan sebagai jalan: metode berpikir untuk mendapatkan kebenaran sejati yang dikejar manusia.
Etika sebagai salah satu cabang filsafat berangkat dari pembahasan mengenai ide baik dan buruk yang telah berkembang antara 2000-2500 tahun yang lalu oleh filsuf-filsuf Yunani kuno, menjadikan “studi moral” sebagai cabang filsafat yang dibahas tersendiri. Etika yang berasal dari kata ethos (Yunani), memiliki arti: kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku manusia; yang berarti karakter manusia dengan keseluruhan perilaku manusia dalam perbuatannya. Etika dapat dikatakan sebagai analisis moralitas yang sistematis dan kritis, dari faktor-faktor moral yang memandu perilaku manusia dalam masyarakat. Ruang lingkup kajian etika yaitu seputar problem moral dilematis maupun non-dilematis yang dihadapi manusia dalam memilih tindakan.
Pertanyaan moral tidak hanya terbatas pada pertanyaan mengenai tindakan manusia, tetapi juga mempertanyakan “manusia”-nya sendiri: “Bagaimana menjadi manusia yang baik?” Pernahkah bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya sudah menjadi manusia yang baik?”, ataukah pernah ditanya oleh orang lain, “Apakah kamu sudah menjadi manusia yang baik?” Pertanyaan sederhana ini menjadi sulit dijawab karena kita diminta untuk menilai diri kita sendiri. Sementara bukti kebaikan tindakan kita, hanya orang lain yang bisa menilai. Terbukti ketika pertanyaan ini ditanyakan pada orang yang mengenal kita: ”Menurutmu, apakah saya baik?” Jawaban yang sering ditemukan adalah, “Ya, baik.” Pertanyaan akan berlanjut, “Apa buktinya bahwa saya baik?” Orang yang mengenal kita akan menyebutkan berbagai tindakan yang telah kita perbuat, yang bisa mereka lihat dan nilai. Diri sendiri tidak berani memberikan penilaian. Karena nurani mengetahui tindakan baik dan buruk yang telah dilakukan, maka keberanian penilaian akan berhenti pada penilaian skeptis, yaitu: “Mungkin saya telah baik sejauh ini”.
Memberi pengertian “manusia yang baik” dalam kerangka etika dapat dimulai dari definisi “baik” itu sendiri. Baik dimaknai sebagai sesuatu yang menunjukkan perilaku yang harus (wajib) disukai di antara pilihan tindakan yang memungkinkan untuk dilakukan atau dipilih. Kemampuan memilih tiap individu dengan individu lain berbeda, sumber yang membedakanya adalah akal budi (common sense) yang dimiliki masing-masing. Akal adalah kemampuan atau daya berpikir manusia, sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia. Budi adalah panduan akal yang dapat menimbang baik-buruknya sesuatu. Akal budi berperan penting dalam kehidupan sosial manusia sebagai panduan berpikir dan bertindak dengan baik dan benar.
Akal budi berperan penting dalam kehidupan sosial manusia sebagai panduan berpikir dan bertindak dengan baik dan benar. ~ Sri Yulita Pramulia Panani Share on XFilsuf Yunani kuno Sokrates dalam proses pencarian jawaban mengenai hakikat hidup manusia: “Apa arti hidup yang baik bagi manusia? (What is good life for human beings?)” Manusia sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kemampuan berpikir selalu haus mencari kebenaran. “Benar” berarti “rasio”, bukan “benar” sebagaimana menunjuk kepada instruksi legal tertentu, dogma tertentu, serta ajaran ini dan itu. Benar yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan prinsip akal budi. Kunci kehidupan yang bajik adalah pengetahuan tentang kebaikan. Jika seseorang mengetahui apa yang baik, maka ia akan selalu memilihnya. Selain itu, manusia selalu memiliki kecenderungan memilih pilihan yang terbaik dari pilihan yang tersedia. Namun pertanyaannya, apa itu baik? Apa yang terbaik? Kebajikan (virtue) bergantung dengan kebajikan. Untuk menjalankan kehidupan yang baik, dibutuhkan pengetahuan tentang kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia selalu terarah untuk memilih tindakan yang baik dan terbaik jika mengetahui apa itu yang baik. Kejahatan adalah hasil dari ketidaktahuan manusia tentang yang baik. Sokrates meyakini tidak ada seorang pun yang pernah melakukan kesalahan secara sengaja atau sukarela. Yang ada, perbuatan buruk atau jahat terjadi karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang memahami tindakan yang terbaik. Sering kali manusia salah memaknai kejahatan sebagai kebaikan. Seorang tiran menganggap apa yang dilakukan adalah yang terbaik, tetapi sejatinya, apa yang dianggap baik adalah tindakan yang buruk dalam kacamata orang lain. Seorang tiran ini akan terus melakukan tindakannya, sampai ia menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah tindakan buruk. Dari mana mengetahui itu buruk? Di sinilah pentingnya peran dari “pengetahuan tentang yang baik”.
Pada dasarnya, jiwa manusia selalu terarah untuk memilih tindakan yang baik dan terbaik jika mengetahui apa itu yang baik. ~ Sri Yulita Pramulia Panani Share on XPlato mempertegas apa yang diyakini Sokrates, bahwa tujuan hidup tertinggi manusia adalah mencapai kebaikan tertinggi sebagai kebahagiaan sesungguhnya. Kebahagian ini bisa dicapai dengan hidup berkeutamaan (memiliki pengetahuan yang baik). Manusia yang berkeutamaan adalah mereka yang dikuasai oleh akal budinya untuk mengarahkan pada kebaikan. Sehingga, seseorang dikatakan baik apabila ia dikuasai oleh akal budi yang mampu mengarahkannya pada sikap baik, dan manusia disebut buruk apabila ia dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu yang membuatnya memalingkan diri dari kebaikan. Hasil dari hidup menurut akal budi yang mengetahui kebaikan adalah suatu hidup yang teratur dan tertata.
Aristoteles berbeda pendapat dengan gurunya, Plato, mengenai eudamonia (kebahagiaan) dalam “cara mendapatkannya”. Eudamonia Aristoteles tidak subjektif dan tidak berhenti pada pemahaman sesuatu yang benar saja, tetapi terwujud dalam “aktualitas perbuatan”. Artinya, untuk mencapai eudamonia, seseorang tidaklah cukup dengan diajarkan pengetahuan tentang yang baik. Akan tetapi, harus disertai kemampuan moral dan intelektual yang memberi petunjuk nyata guna memilih mana yang sesuai untuk menuju ke kehidupan yang ideal, yang mengarah pada tingkah laku bijaksana. Seseorang dikatakan baik jika mampu menggunakan pengetahuan akal budinya kemudian diaktualisasikan dalam tindakan yang dilakukan, tetapi bagi Aristoteles ini tidak cukup. Tindakan baik dihasilkan oleh karakter baik yang “tahan uji”. “Saya mengatakan sahabat saya baik karena tindakan baiknya terhadap saya.”
Akan tetapi, seberapa sering? Apakah jika kondisi Anda berbeda, misal dahulu kaya kemudian miskin, teman yang Anda katakan baik akan tetap baik? Banyak orang akan berubah sikap mengikuti kondisinya. Bagi Aristoteles, orang baik adalah seseorang yang dalam kondisi apapun, karakter baiknya tidak berubah atau “tahan uji” dalam segala situasi dan dalam setiap tindakan. Orang baik adalah orang yang berkeutamaan atau yang mampu mengembangkan kebajikan-kebajikan moral (sifat-sifat karakter yang berada di antara sifat karakter yang lebih ekstrem). Contohnya, keberanian adalah sikap berbudi luhur yang dipilih untuk menjadi seorang pemimpin, bukan dua sifat ekstrem: pengecut dan sembrono. Sifat-sifat berbudi luhur inilah yang harus dikembangkan.
Kembali ke pertanyaan, “Apakah saya sudah menjadi manusia yang baik?” Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan itu. Hanya jawaban skeptis yang akan ditemukan: “Tidak tahu; belum; mungkin telah menjadi orang baik; atau sejauh ini saya telah menjalani hidup dengan baik berdasar aturan agama, norma, dan hukum”. Ada ruang skeptis atas jawaban tersebut. Mendefinisikan bagaimana menjadi “manusia baik” adalah manusia yang mengembangkan: Pertama, keutamaan intelektual yang terdiri dari kebijaksanaan teoretis (sikap mengenal kebenaran secara ajek) dan kebijaksanaan praktis (kemampuan mengambil sikap dengan arif-bijaksana). Kedua adalah keutamaan moral (kemampuan memilih sifat berbudi luhur di antara sifat yang berlebihan dan kurang). Diharapkan dengan mengembangkan, mengasah, serta melatih diri dengan melakukan tindakan bajik, seseorang akan terbiasa memilih tindakan yang tepat. Misal kita membiasakan diri untuk selalu jujur, berani, dan adil, maka pada situasi apa pun kita perlu memilih tindakan-tindakan baik tersebut. Meskipun, menjadi manusia baik adalah usaha atau proses yang diusahakan manusia sepanjang hidupnya hingga akhir hayatnya. Inilah etika keutamaan (virtue ethics), etika yang membantu kita menjadi manusia yang berbudi luhur.
Bacaan Lebih Lanjut
Aristotle. 350 B.C.E. Nicomachean Ethics. http://classics.mit.edu/Aristotle/nicomachaen.html Duignan, Brian. 2011. The History of Western Ethics (The Britannica Guide to Ethics). Britannica Educational Publishing. P. Pojman, Louis.2005. How Should We Live? An Introduction to Ethics. Wadsworth, Cengage Learning.. M.Hubby, Pamella. 1967. Greek Ethics. Macmillan And Co Ltd. |
Sri Yulita Pramulia Panani, S.Fil., M.Phil menyelesaikan studi sarjana dan master di Filsafat Universitas Gadjah Mada. Saat ini sebagai dosen tetap di Program Studi Sarjana Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada yang mengampu mata kuliah Etika dan Filsafat Barat. Fokus penelitian sejauh ini adalah etika. Selain itu, menjabat sebagai sekretaris Unit Jaminan Mutu, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Artikel Terkait
Subjek dan Keyakinan
Setiap orang memiliki keyakinan dan cara meyakininya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dapat muncul dalam diri seseorang? Artikel ini menjelaskan subjektivitas keyakinan dan bagaimana keyakinan memengaruhi tindakan seseorang.Mendobrak Bingkai Konsumerisme Kontemporer ala Taylor dan Heath
Fenomena konsumerisme semakin umum ditemukan dalam diskusi ekonomi masyarakat kontemporer. Bagaimanakah ilmu filsafat menjelaskan fenomena konsumerisme di masyarakat? Yuk baca penjelasan dari LSF Cogito.Bagaimana menjadi Manusia yang Baik?
Kita semua diharapkan menjadi orang yang baik oleh orang tua maupun diri sendiri. Namun, bagaimana cara menjadi manusia yang baik? Bukankah ada beragam kriteria “baik”? Jadi, apakah label “manusia yang baik” itu tidak universal dan bersifat subjektif saja?