Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
June 27, 2021Media, Kita, dan Kebenaran
June 27, 2021Makna
Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
oleh Regina Widhiasti
Pernahkah kamu membayangkan hidup tanpa film, serial TV, iklan, buku, media sosial, siaran radio, majalah, atau produk media lainnya? Pada umumnya, sulit bagi kita untuk membayangkan situasi tersebut karena produk-produk media sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Sudah lazim bagi masyarakat modern untuk mengonsumsi produk media. Produk yang dikonsumsi sendiri biasanya tergantung pada selera, tren dan ketersediaan akses.
Selain memberi informasi, hiburan, dan memperluas wawasan, media juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan pola pikir dan tertanamnya gagasan -gagasan tertentu dalam benak kita. Proses ini seringkali terjadi tanpa kita sadari, meskipun kita mengonsumsi media secara sadar. Saat mengonsumsi media, kita merasa dapat memilih dan mengendalikan informasi seperti apa yang ingin kita terima. Namun, seringkali ada gagasan-gagasan “tersembunyi” di balik produk media yang kita konsumsi yang ikut tertanam dalam benak kita tanpa kita sadari.
Contohnya, ada banyak karakter antagonis yang diperankan oleh aktor berkulit gelap di film-film Hollywood. Ketika mengonsumsi film-film ini, benak kita secara tidak sadar akan merekam stereotip dan citra tersebut. Akibatnya, kita akan memiliki prasangka terhadap orang berkulit gelap. Pada periode sebelum inklusivitas (gagasan yang mendorong adanya akses/kesempatan yang sama untuk karakter dari berbagai jenis kelompok) menjadi isu penting dalam industri film dan media, sosok pahlawan atau jagoan selalu diperankan oleh aktor kulit putih. Sementara penggambaran korban atau tokoh yang tidak berdaya diperankan oleh aktor dari kelompok minoritas. Konsumsi produk media yang menampilkan gambaran seperti ini menanamkan gagasan rasis dalam benak kita.
Demikian pula yang terjadi dengan standar kecantikan. Melalui konsumsi media, kita bisa melihat bagaimana bentuk tubuh serta warna kulit dan rambut tertentu lebih sering diperlihatkan di berbagai media. Akibatnya, benak kita secara kolektif menangkap gambaran tersebut sebagai suatu standar untuk diterima. Tentu dibutuhkan lebih dari sekadar pengaruh media untuk membuat seseorang menerima ideologi tertentu. Namun, contoh di atas memberi gambaran betapa mudahnya suatu gagasan atau ideologi disebarkan melalui media.
Media memiliki pengaruh yang besar dalam proses pembentukan prinsip, ideologi atau pandangan tertentu dalam benak kita. Proses pembentukan ini terjadi secara berbeda dengan proses belajar formal di sekolah. Di sekolah, kita mempelajari suatu ideologi secara sadar dengan memahami definisi ideologi tersebut, mencari contoh kasus, dan mengidentifikasi persoalan yang terkait. Sedangkan, penyerapan ideologi melalui media hiburan pada umumnya terjadi tanpa disadari. Dalam situasi ini, kita menerima ide-ide yang dipublikasikan secara lebih gamblang.
Keberhasilan media dalam memengaruhi konsumennya juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Contohnya adalah demografi dan karakteristik psikologis audiensnya. Selain itu, pengaruh yang diberikan media pun beragam. Ada yang bersifat positif atau negatif, terjadi secara langsung atau bertahap, dan dalam jangka pendek atau jangka panjang. Namun, tidak semua efek media dapat menghasilkan perubahan yang signifikan. Hal ini karena seringkali pesan yang ditampilkan media hanya mengulang gagasan yang sudah ada dan lekat dalam suatu masyarakat.
Ideologi yang disebarkan melalui media pun tidak selalu disampaikan secara terang-terangan. Seringkali ideologi yang ditanamkan justru dikemas seperti sesuatu yang lazim dan kita terima sebagai sesuatu yang “sudah dari sananya”. Selain secara tersembunyi, pengaruh media dalam membentuk atau mengubah pandangan kita juga dapat hadir dalam bentuk paksaan. Misalnya melalui propaganda sistematis yang dilancarkan oleh pemerintah.
Keberhasilan Nazi menguasai Jerman adalah salah satu contoh keberhasilan propaganda pemerintah. Proses penyebaran ideologi ini pun dilakukan secara sistematis, terstruktur dan dilakukan sejak dini. Hasilnya, fasisme dapat diterima dan diyakini sebagai pandangan yang benar oleh mayoritas warga negara Jerman di tahun 1930-an. Kekuatan media dalam mengubah pandangan masyarakat juga terlihat ketika kepentingan pemerintah Jerman berubah setelah Perang Dunia II berakhir. Melalui media, Nazi yang tadinya digambarkan sebagai simbol kejayaan Jerman kini digambarkan sebagai penjahat perang. Citra tersebut tetap dipertahankan hingga sekarang. Baik secara tersembunyi maupun jelas, konsistensi dan kesinambungan menjadi bagian penting dari ‘strategi’ untuk menyebarkan, menegaskan, atau melawan suatu ideologi.
Peran media dalam membangun memori kolektif
Apa yang ditampilkan dalam media massa tentu berkaitan dengan tren. Meskipun produk media yang dikonsumsi berubah dari waktu ke waktu, proses penyerapan ideologi ke dalam benak audiens tidak berubah. Pada ruang dan waktu yang sama, produk media yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam satu kategori demografi pun akan cenderung sama. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan diksi tertentu oleh suatu generasi, preferensi selera humor, atau sosok yang menjadi idola. Media yang dikonsumsi oleh remaja Indonesia tahun 1990-an, misalnya. Di masa ini, televisi diwarnai oleh berbagai telenovela, sitkom Amerika, dan drama seri produksi Jepang dan Taiwan.
Selain itu, teknologi digital juga semakin berkembang dan memudahkan akses ke produk-produk media yang lebih beragam. Media perfilman pun tidak lagi didominasi oleh satu stasiun televisi dan bioskop. Pada masa ini, masyarakat mulai dapat mengakses film melalui VHS (video home system) atau laser disc – yang kemudian berkembang menjadi VCD (video compact disc) dan DVD (digital video disc). Tahun-tahun 1990-an hingga awal 2000-an juga ditandai dengan lahirnya banyak stasiun televisi swasta di Indonesia.
Meskipun pilihan yang tersedia menjadi lebih beragam, personalized media consumption (konsumsi media pribadi) belum dapat dilakukan pada masa ini. Secara umum, film dan serial yang ditayangkan televisi swasta di era ini didominasi oleh film- film dan serial yang mengglorifikasi kehebatan Amerika. Situasi ini pun menimbulkan kejenuhan dan akhirnya memberi ruang bagi masuknya produk-produk media dari Asia dan Amerika Selatan.
Salah satu produk media paling populer pada periode ini adalah serial Friends, yang tayang selama sepuluh musim di berbagai negara, termasuk Indonesia. Serial ini menjadi bagian dari memori kolektif yang membentuk tren, preferensi selera humor, mode, serta pandangan umum masyarakat pada masa tersebut. Maka, tidak heran jika serial ini tidak memberikan kesan yang sama pada generasi muda saat ini.
Secara sederhana, memori kolektif dapat dipahami sebagai ingatan bersama yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat mengenai suatu masa atau peristiwa tertentu. Dari contoh produk-produk media di tahun 1990-an di atas, kita dapat melihat peran penting media dalam pembentukan memori kolektif. Seiring dengan berkembangnya teknologi, media yang membentuk memori kolektif pun turut berkembang. Platform media sosial Twitter, misalnya, yang sangat populer di Indonesia pada tahun 2009.
Salah satu memori kolektif yang mungkin dimiliki oleh pengguna Twitter di masa tersebut adalah permainan kata yang ditandai dengan penggunaan tagar sawityowit, Permainan yang dilakukan untuk mengisi waktu menunggu sahur dan mungkin tidak familiar bagi para pengguna Twitter baru. Sejalan dengan pola penggunaan dan preferensi konsumsi media sosial yang berbeda-beda, berbagai platform populer pun mengembangkan karakteristiknya sendiri. Karakteristik ini dapat diamati dan dianalisis untuk melihat memori kolektif yang terbentuk pada kurun waktu tertentu.
Secara sederhana, memori kolektif dapat dipahami sebagai ingatan bersama yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat mengenai suatu masa atau peristiwa tertentu. ~ Regina Widhiasti Share on XDi masa kini, ketika kurasi media terletak di tangan masing-masing individu dengan campur tangan algoritma, penanaman suatu ideologi atau gagasan semakin mudah dilakukan. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi yang cenderung terfokus pada tema-tema yang disukai dan menghindari gagasan-gagasan yang bertentangan dengan prinsip yang diyakini. Pertukaran informasi pun terjadi dengan sangat cepat. Biasanya, suatu isu tidak akan bertahan lama dalam sorotan, kecuali secara sengaja dipertahankan oleh atau melalui media. Kekuatan media dalam penyebaran ideologi dan pembentukan memori kolektif ini juga seringkali digunakan untuk kepentingan politik. Contohnya adalah untuk memenangkan simpati dan keberpihakan publik dalam proses kampanye pemilihan umum atau pembentukan narasi dominan yang diinginkan oleh pemerintah.
Dengan menyadari kekuatan media dalam penyebaran dan pembentukan ideologi serta memori kolektif ini, kita dapat menjadi lebih sadar dan bersikap kritis dalam mengonsumsi produk-produk media.
Bacaan Lebih Lanjut
García-Gavilanes, R., Mollgaard, A., Tsvetkova, M., & Yasseri, T. (2017). The memory remains: Understanding collective memory in the digital age. Science Advances, 3(4). https://doi.org/10.1126/sciadv.1602368 Potter, W. J. (2012). Media effects. Sage. Price, S., Jewitt, C., Brown, B. (2013). The Sage Handbook of Digital Technology Research. Sage. |
Regina Widhiasti adalah pengajar di Program Studi Jerman FIB UI. Ia menyelesaikan disertasi di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan penelitian mengenai representasi imigran Turki dalam film Turki-Jerman. Ia memiliki ketertarikan pada bidang cultural studies, terutama penelitian mengenai media, budaya populer dan identitas minoritas.
Artikel Terkait
Media, Kita, dan Kebenaran
Kenyataan hidup (realitas) kita sekarang tidak cuma dibentuk oleh keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Media memainkan peran penting dalam menentukan apa yang kita anggap benar atau salah. Dengan kemasan ciamik, media membuat kita menuruti ideologi tertentu. Lalu gimana caranya kita bisa memahami media secara kritis? Yuk, baca artikel ini.Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
Media bukan cuma sesuatu yang kita tonton, baca, atau bagikan ke teman-teman. Di artikel ini, Regina Widhiasti menjelaskan peran penting media dalam mengubah pola pikir, ideologi, dan memori kolektif.Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
Kelompok minoritas seksual banyak mengalami representasi media yang tidak hanya salah, tapi juga tidak adil dan punya risiko menyakiti serta mendorong munculnya kekerasan. Lalu, bagaimana kita bisa merepresentasikan kelompok minoritas seksual secara adil?