Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
June 27, 2021Manneke Budiman
June 28, 2021Makna
Media, Kita, dan Kebenaran
oleh Manneke Budiman
Setiap hari, banyak peristiwa terjadi di berbagai tempat. Baik itu peristiwa besar yang berdampak luas, yang pengaruhnya dirasakan bahkan oleh kita yang lokasinya ribuan kilometer dari tempat kejadian, maupun peristiwa yang meski “biasa” dan remeh, tetap menarik perhatian karena keunikannya. Semua kejadian ini membentuk realitas kehidupan kita dari hari ke hari. Pengetahuan kita tentang dunia pun bersumber dari berita tentang kejadian-kejadian ini, yang disampaikan oleh media, baik cetak maupun elektronik.
Apa fungsi media?
Sesuai dengan julukannya, fungsi media pada dasarnya adalah untuk menjadi perantara kita dan berbagai peristiwa di dunia. Dengan kata lain, media berfungsi memediasi (menengahi) kita dengan realitas yang ada di luar sana. Karena itu, realitas yang disajikan media biasa kita terima sebagai ‘kebenaran’ yang termediasi. Padahal, di dalam proses mediasi banyak hal bisa terjadi. Berita yang kita terima sebetulnya adalah ‘kebenaran’ yang telah dipoles di sana-sini dan tak lagi identik dengan kejadian yang sebenarnya.
Itu sebabnya, berita tentang suatu peristiwa tidak boleh langsung dianggap sebagai kebenaran dan ditelan mentah-mentah. Ada banyak pihak yang terlibat dalam membentuk kebenaran versi media, seperti jurnalis, fotografer, editor, pemilik media, dan pemodal. Selain itu, kebenaran yang diberitakan media juga disesuaikan dengan selera konsumennya. Semua faktor ini turut menentukan bagaimana suatu peristiwa akan disajikan oleh media.
Realitas yang kita ketahui sekarang adalah realitas yang telah melewati proses mediatisasi. Artinya, medialah yang menentukan realitas seperti apakah yang hendak disebarluaskan. ~ Manneke Budiman Share on XPerubahan fungsi media pada era internet
Teknologi telah merevolusi media. Revolusi ini terjadi tidak hanya karena kehadiran media daring yang semakin dominan, tetapi juga karena lahirnya media-media alternatif dengan struktur dan sudut pandang berbeda. Salah satu contohnya yakni media sosial, yang menawarkan alternatif-alternatif ‘kebenaran’ yang mungkin berbeda dari sajian media resmi. Apalagi sekarang, internet mengizinkan kita melakukan live streaming. Dengan fitur ini, kita bisa menyiarkan suatu peristiwa pada saat peristiwa tersebut terjadi untuk disaksikan berjuta-juta orang di seluruh dunia pada saat bersamaan. Tidak hanya itu. Setiap orang yang menyaksikan pun bisa menyebarluaskan informasi tersebut ke lebih banyak orang, juga dalam waktu yang luar biasa cepat.
Apa dampaknya? Realitas tidak hanya termediasi, tetapi juga mengalami mediatisasi (proses pembentukan informasi mengikuti kepentingan politik dan kondisi masyarakat). Fungsi media pada era internet ini menjadi lebih dari sekedar pembawa pesan, tetapi juga sebagai ‘pembentuk’ realitas. Akibatnya, realitas yang kita ketahui sekarang adalah realitas yang telah melewati proses mediatisasi. Artinya, medialah yang menentukan realitas seperti apakah yang hendak disebarluaskan. Serunya, karena kini ada sangat banyak media, termasuk media sosial, kita pun seperti dibanjiri oleh tsunami ‘kebenaran’ yang bisa menawarkan lusinan versi “kebenaran” dari satu kejadian.
Alhasil, bisa dikatakan bahwa realitas kini telah diambil alih oleh media. Dulu, sebelum internet merajai hidup kita, hanya ada segelintir media yang dapat diandalkan untuk mewartakan berita dengan akurat. Karena itu, kita bisa lebih mudah berpikir kritis dengan membandingkan satu versi berita dengan yang lain. Selain itu, kita juga bisa merefleksikan kebenaran suatu informasi sebelum menetapkan sikap terkait suatu kejadian. Kini, semakin sulit untuk melakukan hal tersebut. Kecepatan gerak arus informasi ini tidak memberikan kita waktu yang cukup untuk mencerna, memilah, merefleksikan, dan berpikir kritis sebelum dengan yakin menentukan sikap mengenai suatu informasi. Hal ini merupakan akibat dari terlalu banyaknya berita yang diklaim sebagai kebenaran. Inilah yang seringkali disebut dengan fenomena post-truth (pasca-kebenaran).
Sebagai konsumen informasi, kita menjadi seperti penonton yang dihadapkan dengan puluhan layar yang menawarkan tayangan berbeda. Karena remote control ada di genggaman, kita mengira kitalah yang mengendalikan keadaan. Ada begitu banyak tawaran yang hadir di depan kita secara bersamaan. Mana yang akan kita pilih, bagaimana cara kita menentukan pilihan, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk membuat pilihan, apa yang akan kita lewatkan jika kita memilih satu dari sekian banyak pilihan—ini semua mengganggu kemampuan kita, sebagai konsumen, untuk berpikir kritis, menjadikan kita penerima pasif yang kesulitan memilah kebenaran yang ditawarkan oleh media.
Celakanya, bukannya menganggap fenomena ini sebagai tragedi, banyak yang justru menganggapnya sebagai hiburan. Meski dipersulit untuk berpikir, diposisikan sebagai objek pasif, dan dicekoki informasi, ilusi fenomena ini membuat kita malah menikmati arus banjir informasi tersebut. Konsumen merasa seakan-akan sedang ‘diberdayakan’ karena tahu banyak. Apalagi, kini media saling berlomba-lomba untuk mengemas informasi dengan semenarik, semeyakinkan, dan seringkas mungkin. Overdosis informasi ini membuat kita merasa seperti seorang ‘ahli’ .
Namun, sesungguhnya apa yang sedang terjadi pada kita? Betulkah semua informasi ini membuat kita lebih berdaya? Jangan-jangan, kita yang sedang dipermainkan?
Apa kaitan antara media dan ideologi?
Secara sederhana, ideologi dapat diartikan sebagai cara pandang yang digunakan untuk melihat suatu peristiwa supaya kita bisa memahaminya dan membuat penilaian. Biasanya, kita menganggap cara pandang kitalah yang paling benar. Padahal, ideologi ini sendiri bukan hasil buatan kita sendiri sebagai individu, tetapi merupakan hasil proses sosial yang melibatkan banyak pihak: media, agama, pendidikan, keluarga, strata sosial, peran gender, politik, dan juga teknologi.
Contoh sederhananya, dalam masyarakat kita, penggunaan tangan kiri ketika makan atau menerima sesuatu dianggap tidak sopan. Padahal, dalam masyarakat dan kebudayaan lain, hal itu tidak dipersoalkan. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat yang menganggap mengambil sesuatu milik orang lain sebagai hal yang biasa. Hal ini dikarenakan keyakinan mereka bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini disediakan oleh Sang Pencipta. Segala sesuatu diciptakan untuk semua orang, jadi tidak boleh diklaim sebagai milik seseorang saja. Contoh lain, dalam budaya barat, sepasang kekasih yang hidup bersama di luar ikatan pernikahan dianggap wajar. Sementara, masyarakat di sini menganggap perbuatan tersebut sebagai aib besar.
Bersikap skeptis terhadap sesuatu, termasuk yang kita sukai, adalah langkah penting untuk melanjutkan evolusi peradaban. ~ Manneke Budiman Share on XPenilaian kita terhadap sesuatu tidak hanya ditentukan oleh sikap pribadi kita sebagai individu, melainkan juga norma sosial yang berlaku di sekitar kita. Apa yang dianggap wajar oleh suatu masyarakat bisa dinilai sebaliknya oleh masyarakat lain yang memiliki cara pandang berbeda. Inilah yang disebut dengan ideologi dalam artian luas dan luwes. Ideologi muncul dalam norma, dan norma dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Media pun memiliki preferensi ideologi dan turut mempromosikan ideologi itu. Biasanya, ideologi tersebut dipromosikan dengan cara mereka mengemas dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Maka, jangan heran jika sekelompok media bisa memberitakan suatu kejadian unjuk rasa dengan cara berbeda-beda pula. Jumlah peserta unjuk rasa menurut satu media pun bisa berbeda jauh dengan yang dilaporkan media lain. Bahkan, bisa jadi ada beberapa media yang tidak memberitakan peristiwa unjuk rasa itu sama sekali, seolah-olah memang tidak pernah terjadi. Hal serupa juga terjadi di media sosial, di mana warganet kini bisa berperilaku seperti jurnalis.
Sebagai konsumen, kita pun cenderung menelan mentah-mentah informasi yang sudut pandang dan cara penyampaiannya sejalan dengan kita. Mengapa? Karena kita dan media tersebut menganut ideologi yang sama. Akibatnya, kita tidak merasa perlu lagi untuk mempertanyakan kebenaran informasinya. Kita tahu bahwa media tersebut hanya akan memperkuat keyakinan kita terhadap kebenaran yang sudah kita anut. Sebaliknya, kita cenderung kritis dan menolak informasi yang disajikan jika medianya bertolak belakang dengan sudut pandang dan keyakinan kita.
Hal ini membuat kita rentan dimanipulasi oleh media. Dari sini, kita dapat mengerti mengapa media merupakan alat yang begitu ampuh untuk menyebarkan ideologi. Lalu, masih adakah peluang untuk meloloskan diri dari cengkeraman distorted reality (kebenaran yang menyimpang) yang dibentuk oleh media ini?
Bagaimana kita menyikapi ‘kebenaran’ versi media?
Untuk membebaskan diri dari distorted reality, kita harus tahu cara bersikap skeptis. Ketimbang bersikap skeptis terhadap hal-hal yang tidak kita sukai, justru lebih penting untuk bersikap skeptis terhadap hal-hal yang kita sukai. Skeptisisme adalah permulaan dari berpikir kritis. Memang sikap skeptis bisa menyebabkan kita mengabaikan suatu informasi (sehingga penyebaran informasi itu berhenti di kita). Namun, sikap yang sama juga bisa mendorong kita untuk mencari informasi pembanding dari sumber-sumber lain. Hal ini akan membantu kita mendapat kepastian mengenai suatu informasi. Memang, dewasa ini mustahil untuk mendapatkan kebenaran mutlak karena banyaknya definisi kebenaran yang dibentuk media. Tetapi, setidaknya kita tidak kehilangan kemampuan berpikir kritis kita.
Dengan memanfaatkan media sosial, kita pun bisa berperan aktif dalam meluruskan berbagai informasi palsu (fake news). Hal ini bisa kita lakukan dengan menunjukkan di mana letak permasalahan suatu informasi. Dengan begitu, kita turut mengajak konsumen-konsumen lain untuk mengasah literasi informasi bersama, yang kini jadi kebutuhan kritis.
Bersikap skeptis terhadap sesuatu, termasuk yang kita sukai, adalah langkah penting untuk melanjutkan evolusi peradaban. Kecerdasan kita sebagai manusia ditentukan oleh kemauan dan kemampuan untuk menolak yang mudah dan menyenangkan, serta menerima tantangan dan kesulitan. Dalam konteks ini, berbagai informasi yang ditawarkan media adalah salah satu bentuk godaan yang harus kita lawan. Dengan begitu, sebagai pemegang remote control, kita bisa memilih informasi mana yang ingin diterima, tanpa merasa pilihan kita adalah satu-satunya kebenaran.
Bacaan Lebih Lanjut
Deuze, M. (2004). What Is Multimedia Journalism? Journalism Studies, 5:2, 139-152, DOI: 10.1080/1461670042000211131. Domingo, D., Quandt, T., Heinonen, A., Paulussen, S., Singer, J.B., & Vujnovic, M. (2008). Participatory Journalism Practices in the Media and Beyond. Journalism Practice, 2:3, 326-342, DOI: 10.1080/17512780802281065. Haythornthwaite, C. (2005). Social Networks and Internet Connectivity Effects. Information, Communication & Society, 8:2, 125-147, DOI: 10.1080/13691180500146185. Keane, J. (2018). Post-truth Politics and Why the Antidote Isn’t Simply ‘Fact-Checking’ and Truth. The Conversation, 23 Maret. URL: https://theconversation.com/post-truth-politics-and-why-the-antidote-isnt-simply-fact-checking-and-truth-87364. Ryder, A. (2015). Althusser’s Theory of Ideology. International Socialist Review, No. 99 (Winter). URL: https://isreview.org/issue/99/althussers-theory-ideology. Steensen, S. (2011). Online Journalism and the Promises of New Technology. Journalism Studies, 12:3, 311-327, DOI: 10.1080/1461670X.2010.501151. Westlund, O. (2013). Mobile News: A review and model of journalism in an age of mobile media. Digital Journalism, 1:1, 6-26, DOI: 10.1080/21670811.2012.740273. |
Manneke Budiman saat ini adalah Guru Besar Ilmu Susastra dan Kajian Budaya (Cultural Studies) di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Latar belakang Pendidikan yang ditempuhnya adalah Sastra Inggris, Comparative Literature, British Cultural Studies, dan Asian Studies. Riset dan publikasinya bersangkutan dengan kajian sastra, youth culture, media studies, urban studies, dan gender studies.
Artikel Terkait
Media, Kita, dan Kebenaran
Kenyataan hidup (realitas) kita sekarang tidak cuma dibentuk oleh keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Media memainkan peran penting dalam menentukan apa yang kita anggap benar atau salah. Dengan kemasan ciamik, media membuat kita menuruti ideologi tertentu. Lalu gimana caranya kita bisa memahami media secara kritis? Yuk, baca artikel ini.Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
Media bukan cuma sesuatu yang kita tonton, baca, atau bagikan ke teman-teman. Di artikel ini, Regina Widhiasti menjelaskan peran penting media dalam mengubah pola pikir, ideologi, dan memori kolektif.Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
Kelompok minoritas seksual banyak mengalami representasi media yang tidak hanya salah, tapi juga tidak adil dan punya risiko menyakiti serta mendorong munculnya kekerasan. Lalu, bagaimana kita bisa merepresentasikan kelompok minoritas seksual secara adil?