Memilih Berhenti Mengingat
March 26, 2019Menerima Perbedaan, Menolak Diskriminasi
March 26, 2019Makna
Memahami Ras sebagai Konstruksi Sosial Budaya
Perbedaan ras dalam sejarah umat manusia sampai kini, telah menimbulkan diskriminasi, apartheid, perbudakan, bahkan genosida kepada kelompok masyarakat tertentu di berbagai belahan dunia. Padahal, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memilih terlahir dari keluarga seperti apa atau termasuk ke dalam ras yang mana. Lalu, pertanyaannya, mengapa diskriminasi seperti itu dapat terjadi? Tulisan ini menjelaskan apa itu ras, serta bagaimana konsep ras dikonstruksi di dalam masyarakat sehingga terjadi berbagai ketidakadilan.
Pertama-tama, kita dapat mengatakan bahwa sains bertanggung jawab terhadap pandangan rasis terhadap kelompok tertentu yang dianggap lebih “unggul” daripada yang lain. Pada awalnya, cara pandang tentang ras berasal dari penelitian mengenai evolusi manusia. Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, pada 1775 membandingkan orang Eropa dengan Afrika. Orang Eropa, berdasarkan ciri fisiknya berkulit putih, kekar, mata biru, rambut lebat dan lurus, bersifat optimis, tanggap, rasional, berdaya cipta, sedangkan orang Afrika dicirikan berkulit hitam, rambut hitam dan keriting, hidung pesek, bersifat licik, pemalas, ceroboh. Muridnya, Blumenbach, pada 1779, melanjutkan dengan membagi umat manusia berdasarkan warna kulit menjadi lima ras, namun, ia belum memberikan peringkat. Morton, ilmuwan Amerika Serikat, yang dijuluki “bapak rasisme ilmiah” melanjutkan penelitian Blumenbach pada 1834. Dia memberikan peringkat kepada ras yang dianggapnya paling cerdas berdasarkan ukuran tempurung kepala yang lebih besar daripada yang lain. Secara berurutan yang menduduki peringkat pertama Kaukasoid, Mongoloid, Melayu, Indian, dan Negroid. Sepanjang abad berikutnya, abad 17—19, masyarakat percaya bahwa ras bersifat alami dan abadi karena penjelasan “ilmiah” itu yang disebut ilmuwan sebagai ideologi tentang ras.
Para antropolog, sosiolog, dan ilmuwan lain kemudian membuktikan bahwa penelitian dan pendapat Morton tidak ilmiah dan dapat dibantah. Namun, dalam perkembangannya, pandangan rasis itu telah tertanam dan berdampak pada superioritas bangsa kulit putih, imperialisme dan kolonialisme barat atas negara-negara lain.
Oleh karena itu, ras merupakan konsep yang dibangun secara sosial, meskipun ada elemen biologis di dalamnya. Hal penting yang perlu ditekankan adalah tidak ada orang yang benar-benar “asli” atau “murni” secara biologis. Macionis, seorang sosiolog, mendefinisikan ras sebagai kategori seseorang yang dikonstruksi secara sosial berdasarkan ciri biologis yang dianggap penting dalam masyarakat. Klasifikasi itu seperti perbedaan warna kulit, fitur wajah, warna kulit, tekstur rambut, dan bentuk tubuh. Berbagai perbedaan itu juga dipengaruhi migrasi karena faktor geografis suatu tempat.
Lalu bagaimana kita memahami ras?
Dalam studi budaya (cultural studies), untuk memahami ras kita perlu menempatkannya sebagai bagian dari identitas kultural atau berbasis budaya. Menurut Stuart Hall, ahli teori budaya kelahiran Jamaika, identitas kultural selalu dikonstruksi oleh sejarah, sosial, budaya, memori, fantasi, dan mitos. Oleh karena itu, identitas kultural juga dibentuk oleh wacana kekuasaan yang terjadi pada masa lalu melalui transformasi dan perbedaan (difference). Ras sebagai bentuk identitas tidaklah universal, absolut, atau esensial, tetapi sebagai budaya yang terus berproses dan tidak stabil; bukan berarti arbitrer, tetapi distabilkan melalui praktik sosial. Maka ras dapat dikaitkan dengan kategori lainnya seperti kelas, gender, etnisitas, religiusitas, dan lain-lain.
Ras sebagai bentuk identitas tidaklah universal, absolut, atau esensial, tetapi sebagai budaya yang terus berproses dan tidak stabil. ~ Jenni Anggita Share on XPenggolongan berdasarkan garis keturunan, tipe orang, atau fisik seperti warna kulit kemudian dikaitkan dengan kecerdasan atau kemampuan kemudian digunakan untuk memberikan peringkat kepada kelompok tertentu. Sebagai dampaknya, ada kelompok yang superior dan ada yang subordinat. Ketika terdapat klasifikasi rasial yang dibentuk karena kekuasaan dengan penandaan biologis atau fisik, artinya terjadi rasisme. Hal itu melibatkan bentuk subordinasi sosial, ekonomi, dan politik melalui wacana ras. Dengan demikian, ras merupakan konstruksi sosial.
Ras juga harus dipahami melalui wacana kekuasaan yang terjadi pada masa lalu. Maksudnya, dengan mengaitkan pada poskolonialisme untuk membongkar relasi kuasa dan dominasi penjajah kepada yang terjajah. Para pemikir poskolonial di antaranya Edward Said, Homi K. Bhabha, Gayatri Spivak. Melalui postkolonialisme kita dapat menyadari dampak atas kolonialisme yang masih nyata. Bukan secara fisik saja yang melukai kemanusiaan, melainkan bagaimana pengetahuan, bahasa, nilai-nilai yang dibentuk dengan cara pandang barat kepada timur. Cara pandang yang dikotomis yang menempatkan barat sebagai penjajah lebih unggul, rasional, pemilik kebenaran universal, sedangkan timur dianggap tidak beradab, irasional, emosional yang diciptakan demi kepentingan barat.
Dengan demikian, politik budaya ras merupakan politik representasi yang menyangkut perebutan kekuasaan sosial dan politik. Untuk memahami hal itu kita dapat mengambil beberapa contoh seperti genosida kaum Yahudi oleh Nazi Jerman atau Holocaust; rasisme terhadap orang kulit hitam di Amerika yang berdampak pada akses mereka pada kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan hukum yang tidak setara dengan orang kulit putih; diskriminasi pada etnis Rohingya di Myanmar.
Politik budaya ras merupakan politik representasi yang menyangkut perebutan kekuasaan sosial dan politik. ~ Jenni Anggita Share on XDi Indonesia misalnya, stereotipe kepada orang Tionghoa ditanamkan sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada waktu itu, Belanda membagi masyarakat berdasarkan kelas dan tempat bermukim serta mempekerjakan orang Tionghoa sebagai pemungut pajak sehingga dibenci masyarakat. Pembagian kelas pertama adalah bangsa Eropa, kedua Timur Asing (Arab, India, China, Indo), dan ketiga adalah masyarakat Bumiputera atau “pribumi”. Istilah pribumi pun bermasalah karena sengaja diciptakan pemerintah kolonial untuk menanamkan pandangan “yang asli” dan yang lain “asing”. Misalnya orang Arab tidak dianggap asing, sedangkan orang Tionghoa dianggap asing.
Hal itu berdampak pada orang Tionghoa yang seringkali dipersepsikan berkulit putih, sipit, pelit, kaya, dan orang asing. Diskriminasi pada orang Indonesia Tionghoa bahkan berlanjut pada peraturan asimilasi paksa Orde Baru, sampai peristiwa Tragedi 1998 dengan korban orang-orang Tionghoa termasuk pemerkosaan kepada para perempuan Tionghoa.
Berbagai persoalan ketidakadilan yang melibatkan ras seperti contoh di atas tidak boleh disederhanakan dengan melihat hanya dari satu sudut pandang saja. Karena sangat kompleks, maka harus dilihat melalui berbagai konteks sejarah, sosial, budaya, ekonomi, dan relasi kuasa yang bermain. Oleh karena itu, berbicara mengenai ras, bukan ada karena “dari sananya”, melainkan merupakan suatu konstruksi sosial budaya.
Bacaan Lanjutan
- Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.
- Hall, S., Du Gay, P. (2003). Representations: cultural identity and signifying practices. London: Sage Publication.
- King, A. (Ed.). (1997). Culture, Globalization, and the World-System: Contemporary Conditions for the Representation of Identity. University of Minnesota Press.http://www.jstor.org/stable/10.5749/j.ctttsqb3.
- Macionis, J. (2012). Sociology: 14th Edition, Chapter 14. Upper Saddle River: Pearson.
- Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.