Sistem Demokrasi yang tidak Demokratis: Pelajaran dari Politik Duopoli Amerika Serikat
November 11, 2024Politik Kartel yang Entah Berlanjut Sampai Kapan
November 25, 2024Makna
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
oleh Dewi Candraningrum
Pernahkah kamu mendengar istilah ‘anak laki-laki akan selalu menjadi anak laki-laki’ atau ‘boys will be boys’?
Ungkapan populer di kalangan para laki-laki itu mengisyaratkan reproduksi dan normalisasi karakteristik maskulinitas beracun yang identik dengan praktik kekerasan dan biasanya melekat pada laki-laki. Frasa tersebut juga mengandung stereotip gender soal bagaimana menjadi laki-laki atau anak laki-laki yang ideal versi masyarakat heteronormatif.
Sekelumit tentang Maskulinitas Beracun
Istilah ‘maskulinitas beracun’ berasal dari gerakan laki-laki mitopoetik (mythopoetic men movement) tahun 1980an dan 1990an yang kemudian digunakan secara luas, baik dalam tulisan akademik maupun populer. Diskusi populer dan media pada 2010-an menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada norma-norma tradisional dan stereotip tentang maskulinitas dan kejantanan.
Menurut sosiolog Michael Flood, maskulinitas beracun mencakup harapan atau ekspektasi bahwa anak laki-laki dan laki-laki harus aktif, agresif, tangguh, berani, dan dominan. Beberapa penulis yang terkait dengan gerakan laki-laki mitopoetik juga menyebut adanya tekanan sosial yang diberikan pada laki-laki untuk menjadi kasar, kompetitif, mandiri, dan tidak berperasaan sebagai bentuk maskulinitas yang beracun. Selain itu, sosiolog Michael Kimmel juga menulis bahwa gagasan maskulinitas beracun merupakan respons gerakan mitopoetik terhadap perasaan ketidakberdayaan laki-laki akibat maraknya gerakan feminis yang dianggap menentang otoritas tradisional laki-laki.
Konsep maskulinitas beracun yang digunakan dalam berbagai diskusi akademik dan media juga identik dengan gagasan hegemoni maskulinitas yang sifatnya merusak secara sosial, seperti menyuburkan misogini (kebencian terhadap perempuan), homofobia (kebencian terhadap kelompok non-heteroseksual), dan dominasi kekerasan. Istilah ‘hegemoni maskulinitas’ itu disebut oleh ahli studi gender, Raewyn Connell, sebagai upaya untuk memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan di masyarakat, salah satunya dilakukan melalui aksi kekerasan.
Dalam ilmu sosial, maskulinitas beracun mengacu pada norma-norma budaya maskulin tradisional yang dapat merugikan laki-laki, perempuan, dan masyarakat secara keseluruhan. Maskulinitas beracun ditandai oleh adanya kepatuhan terhadap peran gender laki-laki yang dapat membatasi emosi yang dapat diungkapkan dengan lebih leluasa oleh anak laki-laki dan laki-laki itu sendiri. Maskulinitas beracun juga ditandai dengan adanya ekspektasi ekonomi, politik, dan sosial kepada laki-laki sebagai pihak yang menempati posisi paling dominan.
Ciri-ciri itu dianggap beracun atau kerap disebut toksik (toxic) karena mendorong terjadinya praktik kekerasan, termasuk penyerangan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam keluarga, sosialisasi dan reproduksi ayah atas anak laki-lakinya terkadang juga menormalisasi kekerasan, sebagaimana istilah ‘boys will be boys’ yang tersemat di awal artikel ini.
Lebih jauh lagi, Terry Kupers dari Wright Institute juga menggambarkan maskulinitas beracun sebagai konstelasi sifat laki-laki yang regresif secara sosial yang berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi (merendahkan) perempuan, homofobia dan kekerasan. Hal itu terjadi dengan melibatkan kebutuhan untuk bersaing secara agresif dan mendominasi orang lain. Ciri-ciri maskulinitas beracun itu dikontraskan oleh Terry dengan sifat-sifat yang lebih positif, seperti kebanggaan terhadap kemampuan seseorang untuk menang dalam olahraga, menjaga solidaritas dengan teman, mengapresiasi kesuksesan seseorang dalam pekerjaan, dan kemampuan menafkahi keluarga. Selain itu, feminis John Stoltenberg juga berpendapat bahwa semua gagasan tradisional tentang maskulinitas adalah racun dan memperkuat penindasan terhadap perempuan.
Dalam praktiknya, maskulinitas beracun sangat mungkin terwujud dalam bentuk perundungan terhadap anak laki-laki yang dilakukan oleh teman sebayanya sendiri. Lebih keji dari itu, maskulinitas beracun juga mewujud dalam kekerasan di rumah tangga yang dialami anak laki-laki oleh ayahnya, kakaknya, atau pamannya sendiri. Sosialisasi dan reproduksi maskulinitas anak laki-laki yang sering disertai kekerasan menghasilkan trauma psikologis melalui peningkatan agresi dan kurangnya hubungan antarpribadi. Trauma semacam itu sering kali diabaikan, karena mesin promosi peran maskulin ideal yang menekankan ketangguhan, dominasi, kemandirian, dan pembatasan emosi telah dioperasikan sejak masa bayi. Norma-norma tersebut ditularkan oleh orang tua, kerabat laki-laki, dan anggota masyarakat secara umum. Representasi media tentang maskulinitas di situs web, seperti YouTube, juga sering kali mempromosikan peran stereotip gender yang serupa, yaitu beracun.
Maskulinitas Beracun, Merugikan Siapa?
Ada anggapan bahwa laki-laki sangat diuntungkan oleh maskulinitas beracun. Itu memungkinkannya memperoleh kuasa (power) untuk mendominasi struktur sosial, budaya, dan politik serta meminggirkan perempuan dan kelompok gender lainnya. Namun, kenyataannya justru tidak selalu demikian. Bukan hanya perempuan yang dirugikan, laki-laki sebenarnya juga menanggung beban kerugian akibat maskulinitas beracun.
Psikolog Terry Kupers memberikan ilustrasi bahwa maskulinitas beracun merupakan ciri kehidupan laki-laki di penjara atau mencerminkan perilaku narapidana. Hal itu ditandai dengan kualitas kemandirian yang ekstrem, dominasi laki-laki melalui praktik kekerasan, dan keinginan menghindari kesan feminitas yang dianggap sebagai bentuk kelemahan. Semua itu merupakan kode etik yang tidak diucapkan oleh para narapidana, tetapi dipegang teguh sebagai suatu norma yang berlaku. Norma maskulinitas beracun itu dianggap penting supaya narapidana dapat mengatasi kehidupan penjara yang keras, ditandai dengan adanya hukuman, isolasi sosial, dan agresi. Situasi beracun semacam itu tidak jarang menyulut terjadinya keinginan narapidana laki-laki untuk bunuh diri. Dengan demikian, maskulinitas beracun yang dianggap menguntungkan laki-laki itu justru menjadi bumerang yang merusak laki-laki dan seluruh kelompok gender.
Selain itu, maskulinitas beracun juga menghadirkan pengekangan ekspresi emosi pada laki-laki yang dapat merugikan kesehatan mental mereka. Hal itu membuat laki-laki cenderung enggan mencari bantuan profesional ketika menghadapi masalah psikologis yang rumit, karena dianggapnya sebagai bentuk kelemahan yang mengancam maskulinitas mereka. Tekanan budaya terhadap laki-laki untuk selalu bersikap tegar, tabah, dan mandiri juga berpotensi memperpendek umur mereka, karena banyaknya kasus kematian akibat kekerasan di antara laki-laki, peperangan, penaklukan, dan keengganan laki-laki untuk membagi beban psikologisnya.
Memberantas Maskulinitas Beracun, Mengapa Penting?
Menurut psikolog Ronald F. Levant dan lainnya, perilaku maskulin yang ditetapkan secara tradisional dapat menghasilkan dampak berbahaya, seperti kekerasan (termasuk penyerangan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga), pergaulan tidak sehat, dan perilaku berisiko dan/atau tidak bertanggung jawab secara sosial. Hal itu juga termasuk gangguan dan disfungsi dalam hubungan. Para psikolog dan psikiater berpendapat bahwa ‘ideologi maskulinitas tradisional’ dikaitkan dengan efek negatif pada kesehatan mental dan fisik. Laki-laki yang menganut norma-norma budaya tradisional maskulin, seperti pengambilan risiko, kekerasan, dominasi, keutamaan pekerjaan, kebutuhan akan kontrol emosi, keinginan untuk menang, dan mengejar status sosial, cenderung lebih mungkin mengalami masalah psikologis, seperti depresi, stres, masalah citra tubuh, penggunaan narkoba, dan fungsi sosial yang buruk. Efeknya cenderung lebih kuat pada laki-laki yang juga menekankan norma-norma maskulin yang ‘beracun’, seperti kemandirian, mencari kekuasaan atas perempuan, dan pergaulan tidak sehat.
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persaingan ~ Dewi Candraningrum Share on XRupanya, bukan hanya laki-laki, maskulinitas beracun juga berimplikasi pada masalah kesehatan masyarakat yang muncul secara sosial, seperti mengakibatkan peningkatan angka kekerasan di kalangan laki-laki dan mengakibatkan perilaku seksual predatoris yang berkontribusi meningkatkan angka penularan HIV/AIDS, dan perilaku berbahaya lainnya.
Dus, laki-laki, perempuan, dan masyarakat secara umum sebenarnya dirugikan sendiri oleh norma-norma maskulin tradisional tersebut. Hal itu mengisyaratkan bahwa maskulinitas beracun mengandung sifat destruktif yang merugikan seluruh kelompok gender, sehingga harus diperangi dengan segala upaya.
Perlu diingat bahwa memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki. Melebihi itu, upaya tersebut adalah untuk lebih menekankan dampak berbahaya dari perilaku ideal maskulin tradisional tertentu, seperti dominasi, kemandirian, dan persaingan.
Dewi Candraningrum adalah Editor Buku Seri Ekofeminisme dan sekarang mengajar di Kajian Gender, Sastra, dan Pendidikan.
Artikel Terkait
Gemulai pun Tak Pernah Cukup
Pada Catatan Pinggir ini, Aldrie Alman menceritakan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang ‘laki-laki gemulai’ dan perjumpaannya dengan dunia queer yang kompleksMeneroka Perjalanan Ulang-Alik dalam Menjadi ‘Laki-Laki’
Di Catatan Pinggir ini, Faris Alaudin menceritakan pengalamannya dibesarkan sebagai laki-laki dalam ruang-ruang domestik yang setara.Tentang ‘Petuah Simbah’ dan Pilihan Hidup Berkeluarga Rasa Kesalingan
Di Catatan Pinggir kali ini, Rofi menceritakan kehidupannya berkeluarga dengan penuh rasa kesalingan