Bias Gender, Pembagian Kerja dan Pemberian Perawatan
September 15, 2018Kekerasan Seksual Anak Dinyatakan Darurat: Seberapa Darurat?
September 20, 2018Status kesehatan Indonesia di bidang kesehatan telah mengalami perkembangan signifikan selama tiga dekade terakhir. Berdasarkan laporan sistem kesehatan yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2017, angka harapan hidup mengalami peningkatan dari usia 63 tahun pada 1990 menjadi 71 tahun pada 2012. Sementara itu, angka kematian anak di bawah usia lima tahun juga mengalami penurunan dari 85 per 1000 kelahiran menjadi 31 per 1000 kelahiran di tahun 1990 dan 2012. Akan tetapi, angka kematian ibu (AKI) belum mengalami penurunan secara berarti, bahkan angka kematian ibu Indonesia masih sangat tinggi.
Menurut Badan Pusat Statistik, angka kematian ibu pada tahun 1991 adalah 390 per 100.000 kelahiran. Angka tersebut mengalami penurunan secara perlahan hingga mencapai 305 kematian per 100.000 kelahiran di tahun 2015. Kendati demikian, penurunan AKI di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan penurunan drastis yang dialami negara Asia Tenggara lain seperti Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2015, Thailand dan Malaysia masing-masing berhasil menurunkan AKI hingga 20 dan 40 per 100.000 kelahiran. Keberhasilan Thailand dan Malaysia menandakan bahwa kedua negara telah mencapai target indikator kesehatan yang ditetapkan oleh WHO yakni 70 kematian per 100.000 kelahiran.
Tingginya AKI di Indonesia mengindikasikan sebuah permasalahan mengenai penyediaan layanan kesehatan ibu dan anak. Permasalahan tersebut umumnya terletak pada akses, kualitas, sistem ataupun tingkat penggunaan layanan kesehatan. Selain itu, sistem kesehatan pun masih terfragmentasi antara sektor pemerintah dan swasta. Hal tersebut menciptakan jurang yang lebar terutama dari segi kualitas dan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan. Belum lagi hambatan dari segi geografis dan lokasi, ini berdampak pada sulitnya pemerintah pusat menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terisolir.
Berangkat dari tidak meratanya layanan kesehatan yang kerap terjadi, di awal tahun 2014 pemerintah Indonesia memperkenalkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang saat ini dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai BPJS Kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional adalah program asuransi kesehatan nasional yang bertujuan untuk memberikan layanan kesehatan secara menyeluruh kepada warga Indonesia. JKN wajib dimiliki oleh setiap warga Indonesia, termasuk warga negara asing yang sedang bekerja di wilayah Indonesia. Sedangkan BPJS Kesehatan adalah badan independen yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk bertanggung jawab atas penyediaan jaminan kesehatan sejalan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
JKN didesain sebagai upaya pemerintah untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, JKN adalah instrumen vital untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberian layanan kesehatan secara gratis bagi masyarakat yang kurang mampu. Kedua, JKN adalah wujud upaya pemerintah dalam mengurangi AKI serta memperbaiki kualitas kesehatan ibu dan anak di Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip universal coverage. Prinsip universal coverage sejalan dengan agenda dari pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di mana universal health coverage (UHC) merupakan solusi bagi negara-negara berkembang dalam mencapai health equity.
Program JKN mendapat sambutan yang positif dari masyarakat karena selama ini sistem jaminan kesehatan di Indonesia dilaksanakan secara terpisah dan hanya untuk beberapa kalangan tertentu. Dengan adanya JKN, setiap individu termasuk bukan pekerja, pekerja informal, anak-anak, dan pensiun memperoleh akses fasilitas menyeluruh sesuai dengan manfaat yang diambil pemegang jaminan sosial. Hingga Juli 2018, peserta program JKN telah mencapai 199.133.927 orang di mana sekitar 92 juta orang adalah penerima bantuan iuran (PBI) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (ABPN) dan Daerah (APBD).
Namun prestasi ini tidak bisa dipandang hanya melalui cakupan jumlah peserta saja sebab dalam implementasinya ada sejumlah problematika yang perlu diselesaikan guna memastikan JKN berfungsi secara optimal. Dalam kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak, perempuan peserta JKN menghadapi sejumlah tantangan dalam mendapatkan layanan kebidanan. Tantangan tersebut berasal baik dari pihak penyedia layanan kesehatan maupun faktor ekonomi dan sosial dari pihak pemilik jaminan sosial. Untuk memahaminya, kita perlu mengkaji dan memetakan permasalahan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penggunaan dan kualitas layanan kebidanan di dalam JKN.
Hal pertama yang sangat krusial adalah keterbatasan jumlah fasilitas kesehatan kebidanan yang memadai. Laporan Women Research Institute menemukan bahwa keterbatasan ini juga terjadi di wilayah urban di mana fasilitas yang tersedia belum memenuhi standar Pelayanan Obstetri dan Neonatal Komprehensif (PONEK). Di Provinsi Jawa Barat misalnya, jumlah rumah sakit yang sesuai standar PONEK hanya ada 18 unit sedangkan jumlah ideal yang dibutuhkan untuk wilayah padat penduduk seperti Jawa Barat adalah 89 unit (WRI 2015). Angka tersebut masih berada di bawah standar WHO di mana idealnya ada satu RS PONEK untuk melayani 500.000 penduduk. Keterbatasan ini juga masih ditemukan di provinsi lain luar Pulau Jawa. Jumlah tempat tidur dan kelas rawat yang terbatas menyebabkan RS selalu dalam kondisi penuh. Di Provinsi DKI Jakarta, banyak pengguna JKN yang memilih untuk memeriksakan kehamilan dengan biaya sendiri karena antrian panjang di puskesmas yang sangat menyita waktu.
Kedua, selain dari segi kuantitas, kualitas peralatan guna menunjang unit gawat darurat kebidanan untuk intensive care unit (ICU) dan neo-natal intensive care unit (NICU) masih minim. Kelengkapan fasilitas unit gawat darurat kebidanan sangat berperan dalam penanganan komplikasi persalinan. Perlu diketahui bahwa salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah terlambatnya penanganan darurat dalam proses persalinan. Hal tersebut juga dapat meningkatkan risiko kesehatan ibu yang mengalami kehamilan berisiko.
Faktor ketiga adalah kesenjangan informasi antara penyedia jasa layanan kesehatan dengan pengguna JKN. Pengguna JKN seringkali dibingungkan oleh sistem premi dan administrasi. Dalam konteks ini, BPJS Kesehatan berperan penting melakukan sosialisasi yang komprehensif mengenai penggunaan JKN dalam layanan kebidanan. Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, contohnya, pasien yang telah menjalani proses persalinan sulitmemperoleh bantuan dan informasi mengenai registrasi untuk bayi yang baru lahir. Meskipun proses persalinan dilakukan di rumah sakit, pihak RS tidak memberikan keterangan lengkap mengenai panduan menggunakan JKN untuk proses persalinan. Hal ini dikarenakan tidak ada petugas dari BPJS Kesehatan yang secara khusus bertugas di setiap fasilitas kesehatan untuk menyediakan informasi ke pengguna JKN. Ketersediaan dan keterbukaan informasi terkait peraturan BPJS sangat penting dalam membangun kredibilitas JKN di kalangan penggunanya serta menentukan preferensi pengguna untuk menggunakan fasilitas yang tersedia. Selain itu, keterbukaan informasi bermanfaat untuk mengedukasi masyarakat tentang sistem jaminan sosial.
Faktor keempat adalah situasi sosial-ekonomi pengguna JKN. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga pengguna dapat mempengaruhi jenis dan preferensi untuk menggunakan layanan JKN. Meskipun secara umum layanan kebidanan telah dijamin dan para pengguna dapat menggunakan layanan kesehatan gratis, ada beberapa biaya terselubung akhirnya menjadi beban pengguna JKN seperti biaya transportasi dan obat-obatan yang tidak ditanggung dalam premi yang mereka bayarkan. Belum lagi jika kelas rawat pasien yang terbatas secara tidak langsung memaksa peserta JKN untuk mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan akses perawatan intensif. Hal tersebut dapat merugikan baik pengguna JKN mandiri maupun PBI. Bagi peserta PBI, kondisi demikian dapat menimbulkan penarikan biaya-biaya yang tidak semestinya.
Mekanisme kontrol biaya yang tidak konsisten dan kurangnya akses informasi terhadap layanan kesehatan yang berada di luar tanggungan JKN menimbulkan pertanyaan tentang cakupan jaminan kesehatan yang ditanggung oleh JKN. Visi yang mengacu pada prinsip universal coverage menjadi rancu bila merujuk pada keterbatasan akses dalam mendapatkan kualitas layanan kesehatan dan informasi yang sama. Terlebih lagi bagi golongan masyarakat yang berpendapatan rendah atau tidak berpenghasilan, layanan kesehatan dipandang menjadi sebuah privilege yang sulit untuk dijangkau dengan pendapatan mereka.
Lebih lanjut mengenai kondisi sosial-ekonomi pengguna JKN, penyebab tingginya AKI di Indonesia juga disebabkan oleh kekurangan zat besi atau anemia pada ibu hamil. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga dan asupan gizi pada ibu hamil. Anemia dapat meningkatkan risiko kematian ibu hamil, bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi terhadap janin dan ibu, keguguran, dan kelahiran prematur. Guna meningkatkan kesehatan ibu pada masa kehamilan, JKN telah menyediakan pemberian tablet zat besi Fe3 kepada ibu hamil. Layanan kesehatan ini harus dipertahankan dan didistribusikan secara merata terutama bagi pengguna JKN yang berada wilayah Indonesia Timur.
Melalui penelitian yang sedang saya tulis, saya menganalisa lebih mendalam mengenai aspek-aspek yang dapat mempengaruhi tingkat penggunaan layanan kebidanan pada JKN. Selain temuan dan hipotesis disebutkan pada teks sebelumnya, masih ada beberapa temuan lain yang perlu dikaji lebih lanjut. Tentunya, dalam proses analisa, tulisan ini didukung oleh rujukan mengenai indikator kesehatan ibu hamil dan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan beserta instansi pemerintah dan organisasi terkait lainnya. Terbatasnya penelitian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak melalui bidang sosial mendorong saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai JKN dan menganalisa apakah JKN telah tepat sasaran dalam mengatasi permasalahan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
JKN adalah kebijakan yang masih terbilang baru. Dilihat dari segi visi dan target yang harus dicapai, kita tidak bisa menyimpulkan terlalu dini mengenai kesuksesan program ini. Kendati demikian, implementasi JKN harus didasari oleh kesiapan dari segi manajemen sistem, fasilitas, perlengkapan dan tenaga medis profesional, serta kelengkapan akses informasi penunjang kualitas layanan kesehatan yang merata bagi setiap pengguna JKN. Program JKN tidak bisa bergerak secara mandiri sehingga dibutuhkan kebijakan dan program lainnya yang menunjang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat seperti pembangunan infrastruktur guna menjembatani akses terhadap fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, masih ada ruang terbuka tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga para praktisi dan pegiat kebijakan sosial untuk berkontribusi dalam perbaikan JKN.
Referensi
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
- WHO (2017) Review Sistem Kesehatan Indonesia (Indonesia Health System Review), Health Systems in Transition 7(1). India: WHO.
- Women Research Institute (2015) Policy Brief: Pemenuhan Fasilitas Kesehatan Ibu Melahirkan Era Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: WRI.