Hidup dengan HIV di Masa Pandemi COVID-19
September 23, 2021Sejarah, Historiografi, dan Perubahan
September 23, 2021Catatan Pinggir
Mengarsipkan Memori di Queer Indonesia Archive
oleh Harits Rasyid Paramasatya
Pengantar Redaksi:
Di Catatan Pinggir edisi ini, Harits Rasyid Paramasataya, salah satu pendiri dan pengurus Queer Indonesia Archive, memaparkan pentingya menjaga kisah orang queer di Indonesia.
Pada akhir 2019 lalu, salah satu rekan saya di Bali memberi tahu kalau temannya, Beau Newham, sedang mencari seseorang untuk diajak bekerja sama. Saat itu, ia berencana untuk memulai proyek pembuatan arsip berbasis digital.
Beau bekerja di lembaga swadaya masyarakat Gaya Dewata yang berhubungan erat dengan komunitas gay dan transpuan di Bali. Ide untuk menciptakan arsip digital ini hadir karena mereka memiliki banyak album berisi foto hasil dokumentasi kegiatan dari tahun 90-an sampai 2000-an yang perlu diarsipkan.
Selain album foto, di kantor mereka juga terdapat banyak tumpukan buletin komunitas. Buletin komunitas memang banyak diterbitkan oleh berbagai organisasi queer (sebutan untuk orang-orang yang bukan heteroseksual atau cisgender–memiliki identitas gender yang sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir) di Indonesia sejak tahun 80-an. Namun, keberadaannya digantikan oleh internet pada awal dekade 2010-an.
Sebagai seseorang yang saat itu sedang mempelajari Kajian Museum dan Cagar di Sydney, saya pun sangat tertarik untuk terlibat dalam proyek tersebut. Akhirnya, pada libur semester saya di awal tahun 2020, kami kembali bertemu di Bali untuk merencanakan proyek pengarsipan ini. Kami menamai proyek ini Queer Indonesian Archive atau QIA (Arsip Queer Indonesia).
Kami mengawali proyek ini dengan membagi tugas. Saat itu, Beau bertanggung jawab untuk mengumpulkan arsip yang ada di Indonesia. Sementara, saya bertugas untuk mengumpulkan data dari berbagai organisasi queer Indonesia yang ada di arsip, seperti Australian Queer Archive dan perpustakaan Australia.
Setelah semuanya terkumpul, kami berencana mengunjungi kota-kota di Indonesia untuk mencari lebih banyak arsip setelah saya menyelesaikan studi. Sayangnya, rencana kami terpaksa berubah karena pandemi. Beau harus pulang ke Melbourne di awal pandemi, sementara saya masih melanjutkan studi di Sydney sampai Agustus 2020. Karena itu, kami pun memutuskan untuk mengerjakan hal-hal yang bisa dilakukan secara daring terlebih dahulu. Misalnya dengan mencari, memilah, dan menyusun berbagai arsip komunitas queer yang pernah didigitalisasi.
Kegiatan pengarsipan ini merupakan usaha mengumpulkan memori kolektif komunitas queer agar bisa diakses oleh generasi queer selanjutnya. ~ Harits Rasyid Paramasatya Share on XUntungnya, berkat antusiasme dan bantuan dari para anggota komunitas, kami berhasil mendapatkan cukup banyak data untuk dipindai (scan) dan diarsipkan. Kemudian, hasil dari pemindaian tersebut kami teliti kembali untuk dijadikan landasan pencarian materi lebih lanjut. Setelah semuanya terkumpul, dokumen pindaian ini pun kami atur agar lebih mudah dibaca.
Namun, kami tidak berhenti pada pengarsipan dokumen saja. Kami juga mencari representasi queer di Indonesia dalam media cetak maupun elektronik, untuk diajak bekerja sama. Terakhir, bersamaan dengan proses pengumpulan data, kami menyusun sebuah situs di internet di mana kami memublikasikan materi yang sudah diarsipkan agar bisa diakses oleh publik.
Sejak awal QIA mulai bergerak, ada banyak sukarelawan yang membantu kami. Bahkan sejujurnya, saya cukup terkejut ketika melihat antusiasme dari mereka yang ingin membantu QIA saat kami pertama kali membuka pendaftaran untuk sukarelawan.
Banyak orang, baik yang queer ataupun cisgender-heteroseksual, yang ingin ikut membangun arsip yang mengumpulkan dan merekam sejarah kelompok queer pertama di Indonesia. Hal ini tentu cukup mengejutkan, mengingat hasil riset Pew pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa kelompok queer hanya diterima oleh 9% masyarakat Indonesia.
Di QIA, sukarelawan kami memiliki peran yang sangat beragam. Contohnya, ada yang bertugas untuk mengurus teknologi informasi, ada yang meneliti materi untuk diarsipkan, ada pula yang bertanggung jawab untuk mendesain logo kami. Berkat bantuan para sukarelawan ini, situs QIA pun berhasil diluncurkan pada tanggal 1 Juli 2020. Bahkan saat saya kembali ke Indonesia pada awal Agustus 2020, QIA juga sudah mulai mengarsipkan materi dari anggota komunitas yang menyumbangkan koleksi pribadinya. Biasanya, materi yang kami terima sudah dikonversi ke dalam bentuk digital. Namun, kalaupun belum, kami bisa membantu proses konversi materi tersebut ke bentuk digital sebelum dikembalikan ke narasumber.
Dalam QIA, kami memang tidak menyusun sebuah arsip fisik, setidaknya untuk saat ini. Namun, kami terus menambah koleksi yang merepresentasikan komunitas queer dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, kami juga mengarsipkan beberapa situs dan forum queer dari awal dekade 2000-an seperti forum gay BoyzForum dan blog lesbian SepociKopi. Rencananya, jika keadaan sudah memungkinkan, QIA akan melakukan perjalanan ke beberapa kota di Indonesia untuk mengumpulkan materi di kota-kota tersebut.
Rekaman memori kolektif diharapkan bisa membantu komunitas queer membangun identitas, baik secara individu maupun kolektif. ~ Harits Rasyid Paramasatya Share on XRefleksi dari Kegiatan Queer Indonesia Archive
Selama proses penyusunan arsip QIA, saya bertemu dengan banyak orang queer dari berbagai latar belakang. Hal ini mengingatkan saya akan persepsi masyarakat yang masih sering menganggap komunitas queer sebagai kelompok yang seragam dan sejenis. Padahal, identitas queer hanyalah salah satu bagian dari kepribadian seorang individu yang begitu kompleks.
Identitas seksual dan gender seseorang berkelindan dengan identitasnya yang lain seperti etnis, ras, agama, generasi, dan kelas sosial. Karena itu, dalam komunitas queer pun masih sering terjadi perbedaan perspektif dan pendapat. Ada cara hidup atau istilah yang dianggap lumrah oleh kelompok queer tertentu, namun belum tentu diterima oleh kelompok queer yang lain.
Menurut saya, ini adalah hal yang wajar. Ada banyak cara valid untuk mengekspresikan diri sebagai queer. Selama kita bisa saling mendukung dan menghargai, maka akan selalu ada ruang di komunitas untuk segala jenis ekspresi queer.
Kegiatan di QIA juga memberikan saya kesempatan untuk mempelajari sejarah pergerakan queer di Indonesia. Di luar tradisi beberapa suku di Indonesia yang kini dianggap queer oleh masyarakat heteronormatif (menganut pandangan atau perilaku yang didasari oleh sudut pandang kelompok heteroseksual) Indonesia modern seperti Bissu dari Sulawesi Selatan dan Gemblak dari Jawa Timur, komunitas queer di Indonesia modern juga memiliki sejarah perjuangan yang cukup panjang. Salah satunya adalah dalam pembentukan organisasi transpuan pertama yang bernama Hiwad (Himpunan Wadam Djakarta).
Organisasi ini pertama kali muncul di Jakarta pada 1969 setelah komunitas transpuan mendesak Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada masa itu. Barulah setelah Hiwad, komunitas transpuan di berbagai kota mulai mendirikan organisasinya masing-masing. Dari sini,dapat kita simpulkan bahwa organisasi gerakan queer di Indonesia dimulai oleh komunitas transpuan, yang sebagian besarnya adalah kelas pekerja.
Beberapa lama setelahnya, baru muncullah organisasi gay pertama di Indonesia, yaitu Lambda Indonesia yang didirikan pada 1 Maret 1982. Tanggal tersebut sebagai kini diperingati sebagai Hari Solidaritas LGBTQ+ Indonesia. Pendirian organisasi gay pertama ini juga disusul terbentuknya organisasi lesbian pertama di Indonesia yang bernama Sapho pada tahun 1984.
Tanggal-tanggal ini tercatat dalam linimasa yang disusun oleh YGN, bersama dengan informasi mengenai pendirian organisasi gay di berbagai kota di Indonesia, penyelenggaraan Kongres Gay dan Lesbian Indonesia pertama di Kaliurang pada tahun 1993, hingga perayaan Pride pertama di Surabaya pada tahun 1999.
Mengingat perkembangan generasi yang terus berlanjut, rasanya penting kita arsipkan pengalaman-pengalaman mereka. Kegiatan pengarsipan ini merupakan usaha mengumpulkan memori kolektif komunitas queer agar bisa diakses oleh generasi queer selanjutnya. Tidak seperti orang-orang cis-heteroseksual yang sejarahnya dicatat oleh lembaga pendidikan untuk meneruskan memori kolektif mereka, komunitas queer harus mengumpulkan dan meneruskan memori kolektifnya secara mandiri.
Kepentingan untuk mengarsipkan juga meningkat karena masyarakat umum enggan mengikutsertakan sejarah queer dalam narasi sejarah arus utama. Rekaman memori kolektif diharapkan bisa membantu komunitas queer membangun identitas, baik secara individu maupun kolektif, yang koheren guna menciptakan masa depan yang lebih baik, khususnya untuk komunitas queer itu sendiri.
Selain itu, saya juga menemukan suatu fenomena menarik setelah mempelajari sejarah pergerakan queer di Indonesia. Ternyata, jika dibandingkan dengan masa sekarang, komunitas queer relatif lebih bebas untuk berkegiatan di muka publik di masa Orde Baru.
Salah satu narasumber kami memberikan dokumentasi sebuah pagelaran adibusana transpuan di Hotel Indonesia pada tahun 1992. Hal ini menarik karena, menurut saya, kegiatan semacam ini hampir mustahil untuk diadakan di tahun 2021.
Namun, kita juga harus ingat bahwa rezim Orde Baru tidak mengizinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Mungkin karena inilah opini masyarakat pada masa itu tidak terlalu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, sehingga komunitas queer dapat dengan bebas berkegiatan tanpa perlu khawatir akan ditentang oleh masyarakat setempat.
Tetapi, hal tersebut berubah pada era Reformasi. Kini, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam demokrasi langsung dan kebebasan untuk bersuara pun relatif lebih baik dibanding masa Orde Baru. Sayangnya, kelompok queer justru lebih rentan terhadap intoleransi pada era ini.
Pada awal masa Reformasi, ada banyak gerakan yang tampak berusaha merangkul komunitas queer. Bahkan, ada partai politik yang menampilkan iklan partai mereka di halaman belakang buletin komunitas queer. Tetapi, keadaan ini berubah seiring berjalannya waktu.
Laporan Human Rights Watch pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus intoleransi terhadap kelompok queer meningkat setelah tahun 2010. Bahkan, pernyataan bersifat queer-fobik (kebencian terhadap komunitas queer) kerap dilontarkan oleh tokoh-tokoh publik, termasuk pejabat pemerintahan.
Diskriminasi terhadap komunitas queer ini juga sudah mempengaruhi pembentukan kebijakan. Misalnya, ada beberapa daerah yang melarang hubungan homoseksual Atau, ada pula contoh diskriminasi kelompok queer yang terjadi pada tingkat nasional, seperti larangan penyiaran program TV atau radio yang “mengampanyekan LGBT” yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia”.
Dalam sejarah komunitas queer di Indonesia, diskriminasi struktural terhadap kelompok queer belum pernah mencapai tingkat seperti ini sebelumnya. Karena itu, saya pun tersadar bahwa perkembangan sejarah tidak selalu bersifat progresif dan lurus.
Sebagai warga Indonesia, saya sadar bahwa demokrasi di era Reformasi lebih baik dibanding Orde Baru. Tapi, apakah hal tersebut menjamin kesejahteraan kelompok queer? Saya rasa, masih banyak yang harus diperbaiki sebelum kita dapat menjawab, “Iya.”
Harits Rasyid Paramasatya telah menempuh pendidikan magister di University of Sydney, jurusan Museum and Heritage Studies. Harits memiliki ketertarikan terhadap representasi kelompok marginal di narasi sejarah arus utama, kebebasan berkesenian, dan isu-isu terkait gender dan seksualitas.
Artikel Terkait
Sentimen dalam Konsep Budaya Barat dan Timur
Kesan kalau kehidupan dunia barat dan timur jauh berbeda lahir dari sejarah panjang. Apa saja? Yuk, baca artikel ini.Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
Sejarah kadang dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok tertentu. Kenapa sejarah punya peran penting dalam politik?Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
Meskipun secara formal penjajahan sudah berakhir, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Apa saja efek dari penjajahan di kehidupan kita sekarang?