Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
March 18, 2021Bagaimana konservasi satwa langka sebaiknya dipahami
March 18, 2021Catatan Pinggir
Mengenal Permasalahan Sampah di Indonesia
oleh Joshua Valentino
Pengantar Redaksi:
Pengalaman Joshua Valentino memimpin Rekosistem, sebuah startup yang fokus dalam pengelolaan sampah, layak dipelajari untuk lebih paham tentang solusi yang kita bisa lakukan dan usahakan untuk pengelolaan sampah demi masa depan lingkungan Indonesia yang lebih baik.
Permasalahan sampah di Indonesia dapat mencerminkan banyak hal. Satu cara mudah untuk memahami permasalahan sampah di Indonesia adalah dengan membayangkannya sebagai masalah kebersihan pada seorang individu.
Untuk mengilustrasikan permasalahan ini, ke depannya artikel ini akan menyebut individu tersebut sebagai ‘tokoh kita’.
Saat berusaha memahami seseorang, tentu banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai orang tersebut. Tokoh kita ini berbudaya dan memiliki kekuatan (sumber daya alam), tetapi jorok dan masih dalam proses perbaikan diri–itupun karena adanya tekanan sosial orang-orang sekitarnya (negara lain dan/atau pakta global yang mendorong perubahan untuk lingkungan).
Dalam rangka perbaikan diri, tokoh ini mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana Ia bisa tiba di titik ini?
Ada berbagai cara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebagai lulusan Teknik Industri, metode paling mudah bagi saya adalah dengan menggunakan ‘lima mengapa’(five whys). Untuk mengupas permasalahan, kita akan mengeluarkan lima pertanyaan (atau kurang) ini secara beruntun. Prinsip dari cara ini adalah untuk menelusuri satu per satu pertanyaan, dengan harapan satu pertanyaan akan membawa kita ke pemahaman yang lebih dalam, yang kemudian akan melahirkan pertanyaan lain.
Pertanyaan pertama yang akan saya angkat;
- Mengapa sampah di Indonesia menjadi permasalahan lingkungan?
Sebelumnya, perlu kita pastikan dulu definisi ‘sampah’ kita sudah sama. Saat saya berkuliah, definisi sampah adalah sesuatu yang sudah lagi tidak memiliki nilai guna. Ke depannya, definisi inilah yang akan kita gunakan.
Pada umumnya, suatu masalah adalah hasil dari pengelolaan yang tidak berjalan baik. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sampah menjadi permasalahan lingkungan di Indonesia karena tidak dikelola dengan baik.
Dalam konteks ini, jalan keluar yang dianggap baik pun dapat berubah seiring waktu. Dulu, mungkin memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain (contoh: buang sampah ke tempatnya) sudah dianggap sebagai solusi baik. Akan tetapi, sekarang diperlukan solusi yang lebih baik lagi; solusi yang menggambarkan usaha untuk keberlanjutan (contoh: kurangi sampah, gunakan kembali, daur ulang).
Jadi, pertanyaan selanjutnya;
- Mengapa sampah tidak dikelola dengan baik?
Sejak masih muda, tokoh kita ini dihadapkan dengan berbagai kesempatan untuk belajar dan memperkaya diri. Selama tokoh kita tumbuh dan berkembang, tumbuh pula sebuah gambaran ideal di benak tokoh kita tentang dirinya yang sudah dewasa. Demi mencapai bentuk ideal yang diinginkannya, tokoh kita perlu terus memperbaiki dirinya. Akan tetapi, pada saat ini tokoh kita dikenal jorok.
Kebiasaan hidup tokoh kita yang kotor dapat dilihat sebagai permasalahan sampah di Indonesia yang tidak terkelola dengan baik. Tokoh kita telah menjadi dewasa secara fisik dan umur, akan tetapi kebiasaan buruknya menahan tokoh kita dari menjadi pribadi dewasa ideal yang diinginkan. Tokoh kita tidak kekurangan waktu, kesempatan, dan sumber daya untuk menjadi manusia dewasa yang ideal tadi, namun gambaran ini tetap belum tercapai. Jadi, apakah penyebabnya?
Melihat pengelolaan sampah yang buruk saat ini, bisa jadi tokoh kita belum memahami bagaimana cara mengelola sampahnya dengan baik (dengan mendukung keberlanjutan, bukan hanya buang sampah pada tempatnya). Untuk memahaminya, tokoh kita perlu mengetahui, mengenal, dan mengerti bagaimana cara mengelola sampah sampah yang baik dan bertanggung jawab.
Dengan perspektif ini, tentu pertanyaan selanjutnya adalah;
- Mengapa belum teredukasi?
Dengan ilmu pengetahuan, manusia bisa berperilaku manusiawi. Ilmu yang manusia miliki membedakannya dengan binatang. Tahukah kamu bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang membersihkan habitatnya secara reguler? Alasan mengapa tokoh kita belum teredukasi kemungkinan besar berhubungan dengan salah satu sifat buruknya.
Dengan bertanya, kita dapat menemukan informasi yang dibutuhkan hingga pencarian kita selesai. Kali ini, informasi yang bersembunyi di balik pertanyaan kita akan membuka satu tabiat tokoh kita. Mari kita lanjutkan.
Saat membayangkan seseorang yang ideal, tentunya bayangan yang kita miliki adalah seseorang yang berilmu. Walaupun ia tidak mampu membayar harga pendidikan formal yang tinggi, memiliki waktu yang terbatas, dan dihadapkan dengan berbagai tantangan, seseorang yang memiliki semangat belajar (will to learn) tetap dapat memperkaya ilmunya selama ia memiliki rasa ingin tahu dan kerendahan hati untuk belajar dari sekitarnya. Dengan semangat belajar ini, pengalaman baik maupun buruk dapat memperkaya diri seseorang.
Di 75 tahun perjalanannya, tokoh kita ini tidak kekurangan apapun. Namun, rasa enggannya untuk mencoba belajar dari pengalaman dan membangun kesadaran menghalanginya dari berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Sains dan adat (dalam konteks ini, yang mengatur hubungan manusia dengan kekayaan alamnya) adalah dua dari sekian banyak sumber pengetahuan yang telah berusaha mengingatkan agar tokoh kita tidak mengeksploitasi alam di luar kebutuhan dan batas ketahanan. Dua sumber pengetahuan ini relatif mudah untuk diakses, dipahami, dan dijadikan kebiasaan agar tokoh kita memiliki hubungan yang ideal dengan lingkungannya. Sayangnya, tokoh kita cenderung bersikap bodo amat.
Dampak dari sikap bodo amat dalam konteks kegagalan menangani permasalahan sampah yang merusak lingkungan sama saja dengan dampak sikap tokoh kita yang terus memproduksi sampah tanpa memilah, hanya ditumpuk di pekarangan belakang rumah, dan sesekali dibakar agar tidak menjadi timbunan. Sepertinya semua baik-baik saja selama tokoh kita tetap memiliki rumah yang terlihat cantik dari depan dan nyaman untuk tidur setiap malam (meski mungkin bau sesekali). Padahal, tokoh kita sebetulnya terancam oleh berbagai permasalahan yang datang bersama kebiasaan buruknya; mulai dari penyakit bawaan hama, kanker dari asap pembakaran, hingga berbagai masalah lainnya.
Dengan kebiasaan mengelola sampah yang tidak baik ini (membuang sampah di pekarangan rumah, menumpuk, dan membakarnya), tokoh kita telah menyakiti kemanusiaannya sendiri dengan mengotori habitatnya dan mengundang bahaya untuk makhluk sekitarnya. Padahal, hal ini merupakan sikap yang sangat mudah diperbaiki.
Yang dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ini adalah kedewasaan untuk menyadari bahwa kebiasaan yang kita miliki sekarang adalah kebiasaan yang buruk,... serta kemauan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk merubahnya. ~ Joshua… Share on X- Mengapa memilih bersikap bodo amat?
Bersikap bodo amat adalah sebuah pilihan. Memperbaiki permasalahan sampah berarti juga mengambil tindakan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang rentan. Masyarakat yang rentan yang dimaksud di sini adalah yang lemah secara hukum dan ekonomi. Mayoritas pekerja sampah di Indonesia adalah pekerja informal. Di antaranya ada pemulung, pengangkut sampah swadaya, pengepul, dan lain-lain.
Bersikap bodo amat dalam konteks permasalahan sampah juga berarti mengabaikan kehidupan orang-orang ini. Membebaskan sebuah negara dari kemiskinan memang bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti hilangnya kemanusiaan untuk pekerja informal yang kita sebut tadi boleh dianggap normal hanya karena sikap bodo amat.
Sikap tokoh kita tadi sayangnya sudah menjadi kebiasaan. Tokoh kita terobsesi dengan mempercantik rumahnya dan membuat tempat tidur nyaman, padahal ada penyakit dari tumpukan sampah di halaman yang setiap hari mengancamnya. Sikap tokoh kita ini menggerogoti kesehatannya, baik secara fisik maupun psikis. Pertanyaannya, kok bisa?
Itulah permasalahannya. Itulah sumbernya; kebiasaan!
Tokoh kita yang terobsesi dengan mempercantik rumahnya dan tampil menawan, telah terbiasa mengabaikan pekerjaan rumahnya yang sebetulnya lebih penting. Parahnya lagi, ini dilakukan secara sadar.
Kembali ke permasalahan lingkungan akibat pengelolaan sampah yang buruk, tentu tidak sulit untuk memahami bahwa “tokoh kita” adalah gambaran untuk Indonesia. Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya, memang masih perlu melakukan banyak hal untuk memperbaiki kebiasaan mengelola sampah mereka. Oleh karena itu, membentuk kebiasaan baik dan mengelola sampah secara bertanggung jawab adalah tugas semua pihak yang sadar akan tindakannya.
Menurut saya, ada dua cara besar kebiasaan ini bisa dibangun. Pertama, semua pihak yang sudah mendapatkan pemahaman, baik dari tulisan ini, artikel lain, ataupun trend gaya hidup yang mempromosikan kelestarian alam, harus mengimplementasikan kebiasaan barunya. Apabila kamu merasa bahwa kebiasaanmu yang sebelumnya konsumtif dan destruktif, bergeserlah ke pola yang lebih sehat dan berkelanjutan. Tidak perlu terlalu merasa bersalah apabila kamu masih menggunakan mobil dengan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi coklat impor. Kebiasaan hanya bisa dibangun dengan perbaikan berskala, bukan eliminasi total dalam waktu singkat. Kedua, pihak yang belum mendapatkan pemahaman terkait permasalahan lingkungan dan akibatnya, baik perusahaan maupun individu, perlu didorong dengan adanya kebijakan pemerintah yang mempromosikan keberlanjutan. Edukasi, implementasi, dan penegakkan hukum harus dijalankan secara strategis dan berkelanjutan.
Memang tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki suatu masalah yang muncul dari kebiasaan. Satu-satunya jalan adalah dengan proses perbaikan berskala yang dijalankan secara konsisten. Perubahan tidak bisa didorong oleh kegiatan-kegiatan seremonial yang mengusung kata “Gerakan”–kalau parameter kesuksesan dalam memperbaiki permasalahan lingkungan adalah jumlah acara seremonial, mungkin Indonesia sudah menjadi negara paling ramah lingkungan. Hal yang dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ini adalah kedewasaan untuk menyadari bahwa kebiasaan yang kita miliki sekarang adalah kebiasaan yang buruk; koruptif, destruktif, dan eksploitatif, serta kemauan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk merubahnya. Apalagi di zaman yang canggih ini, kebiasaan baru yang mendukung keberlanjutan tidak sulit dipelajari dan sangat mudah ditularkan.
Joshua Valentino lahir di Jakarta tahun 1993, Joshua menempuh pendidikan di SMA Pangudi Luhur Jakarta Selatan dan Universitas Katolik Parahyangan sebagai lulusan Teknik Industri. Ketertarikannya pada kelestarian alam direalisasikan dengan menjadi relawan berkebun di Kebun Kumara dan kemudian di Dili, Timor-Leste untuk program pendidikan dan pengembangan komunitas (AHHA Education/SOLS 24/7). Saat ini, bersama rekan Joshua sedang merintis bisnis pengelolaan sampah di @rekosistem. Penulis bisa dihubungi melalui email [email protected] atau Twitter @jessejoshuav
Artikel Terkait
Bagaimana konservasi satwa langka sebaiknya dipahami
Konservasi keanekaragaman hayati merupakan bagian penting dalam hidup Sabhrina Gita Aninta, pendiri Tambora Muda Indonesia, jaringan konservasionis muda Indonesia. Di Catatan Pinggir ini, Sabhrina berbagi tentang pentingnya kepedulian dan pemahaman kita tentang konservasi. Yuk, baca!Mengenal Permasalahan Sampah di Indonesia
Pengalaman Joshua Valentino memimpin Rekosistem, sebuah startup yang fokus dalam pengelolaan sampah, layak dipelajari untuk lebih paham tentang solusi yang kita bisa lakukan dan usahakan untuk pengelolaan sampah demi masa depan lingkungan Indonesia yang lebih baik.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?