Peniruan Malioboro di Kajoetangan Malang, Kapitalisme Urban, dan Krisis Identitas Kota
May 16, 2022Upaya Mendorong Kesetaraan Gender di Indonesia
May 18, 2022OPINI
Murakami-esque dan Hikikomori: Refleksi Krisis Eksistensial Masyarakat Jepang Pada Sastra Kontemporernya
oleh Muhammad Fitrah Mahaini
Karya Haruki Murakami kerap kali memberikan nuansa depresif sehingga dapat membius setiap pembaca ke kekosongan yang dihadapi oleh para tokoh. Kita akan tenggelam dalam suramnya kesepian, diajak merasakan pergumulan diri, kehilangan, kehampaan, kesedihan, kesendirian, hingga kematian. Ciri khas yang sangat kental dari setiap karya Haruki Murakami tersebut memunculkan istilah “Murakami-esque”. Sebagaimana pengertiannya, karya sastra adalah sebuah karya yang mencerminkan realitas kehidupan sosial. Fenomena loneliness bukanlah fenomena baru, tetapi sejak dahulu masyarakat Jepang memang terkenal suka menyendiri, dibuktikan melalui “fenomena Hikikomori”.
“The fact that I could feel lonely at all was consolation. Loneliness wasn’t such a bad feeling. It was like the stillness of the pin oak after the little birds had flown off.”
Kutipan di atas diambil dari buku yang berjudul A Wild Sheep Case yang merupakan buku ketiga dari serial The Rat karya penulis fenomenal Jepang, Haruki Murakami. Serial ini bercerita tentang kehidupan tokoh “Aku” yang menjalani absurditas dalam kesehariannya. Haruki Murakami memberikan sebuah alur cerita yang tidak rasional bagi para pembacanya, tetapi begitulah sebutan genre realisme magis melekat pada setiap karyanya. Murakami terkenal sebagai penulis yang kontroversial dan berbagai label melekat padanya, mulai dari penulis yang kebarat-baratan, tidak nasionalis, hingga dianggap misoginis oleh sebagian orang. Murakami juga mengkritik sastra tradisional Jepang yang dianggapnya terlalu mengekang kebebasan individual seseorang, dan hal ini sangat bertentangan dengan gaya penulisannya.
Terlepas dari semua kontroversi tersebut, karya Haruki Murakami banyak digemari karena dinilai dapat menyelami pikiran manusia dan menggambarkan perspektif lain dari norma sosial yang seringkali dianggap terlalu frontal untuk dapat dibicarakan, termasuk mengenai “kesendirian”. Murakami juga masyhur karena dapat menggabungkan elemen modern dan surealis ke setiap novelnya. Tulisannya juga dirasa memberikan nuansa depresif sehingga dapat membius setiap pembaca ke kekosongan yang dihadapi oleh para tokoh. Kita akan tenggelam dalam suramnya kesepian, diajak merasakan pergumulan diri, kehilangan, kehampaan, kesedihan, kesendirian, hingga kematian. Ciri khas yang sangat kental dari setiap karya Haruki Murakami tersebut memunculkan sebuah istilah baru yang disebut dengan “Murakami-esque”.
Tema mengenai kesendirian ini sebenarnya tidak hanya muncul di karya-karya Murakami, cukup banyak penulis kontemporer Jepang yang memiliki ciri khas seperti ini. Biasanya tokoh utama adalah seorang yang penyendiri, sedang kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidup, hingga mengisolasi diri dari teman, keluarga, maupun masyarakat. Kadang kala dari awal hingga akhir cerita, tidak ada perubahan gaya hidup yang berarti; tokoh utamanya akan tetap membatasi diri. Memasak di apartemen kosong, duduk di tepi jendela sambil melamunkan berbagai hal, serta tidak yakin tentang apa yang harus dilakukan dan ke mana harus pergi.
Pertanyaannya sekarang, apakah tema yang diangkat oleh para penulis Jepang ini benar-benar merefleksikan keadaan yang sebenarnya terjadi di masyarakat?
Sebagaimana pengertiannya, karya sastra adalah sebuah karya yang mencerminkan realitas kehidupan sosial. Karya sastra yang baik akan bersifat abadi karena mengandung kebenaran hakiki yang akan selalu ada selama manusia ada. Sastra tidak hanya merupakan karya imajinatif dan personal, namun juga dapat menjadi refleksi nyata dan rekaman budaya suatu masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap orang dapat melihat realitas sosial budaya dalam sebuah karya sastra. Beberapa karya sastra bahkan menjadi representasi budaya suatu masyarakat tertentu.
Sastra tidak hanya merupakan karya imajinatif dan personal, namun juga dapat menjadi refleksi nyata dan rekaman budaya suatu masyarakat. ~Muhammad Fitrah Mahaini Share on XFenomena loneliness bukanlah sebuah fenomena yang baru dihadapi di abad ke-21 saja, tetapi sejak dahulu masyarakat Jepang memang terkenal suka menyendiri. National Fertility Survey di Jepang mengungkapkan bahwa 60% pria dan 50% wanita menyatakan “tidak ingin menikah”. Mereka berargumen bahwa mereka yakin tidak akan merasa kesepian, bahkan jika harus terus hidup sendirian. Keadaan yang terjadi ini juga pada akhirnya ikut meningkatkan fenomena Hikikomori di tengah masyarakat Jepang.
Hikikomori yang artinya menutup diri, adalah sebuah fenomena di Jepang di mana seseorang tidak keluar rumah dan mengurung diri di kamar serta menarik diri dari hubungan sosial antarsesama manusia (teman dan keluarga) dalam jangka waktu yang lama. Hikikomori disebabkan oleh banyak faktor, tetapi faktor yang paling besar adalah tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan serta takut menghadapi masa depan. Hikikomori banyak dilakukan oleh pria produktif yang berusia 15 -29 tahun, dan diperkirakan ada sekitar 600-700 ribu orang yang melakukan Hikikomori.
Memahami orang yang memutuskan untuk melakukan Hikikomori memanglah tidak mudah. Sejak kecil, mayoritas manusia sangat mudah untuk memberikan pandangan negatif pada karakter yang penyendiri. Di sekolah, kita akan melihat banyak pasang mata menatap pada mereka yang duduk sendirian saat makan siang. Apalagi untuk kasus Hikikomori ini, asumsi negatif pasti tak dapat dihindari. Masyarakat bisa saja menganggap bahwa melakukan Hikikomori bukanlah pilihan yang rasional. Namun kita harus sadar, bahwa ada garis batasan yang tidak bisa kita seberangi sebagai orang lain. Ketika seseorang memutuskan diri untuk melakukan Hikikomori, maka itu lah keputusan yang tepat bagi mereka.
Bukannya tidak mau, tetapi orang-orang yang melakukan Hikikomori tersebut tidak bisa bermasyarakat. Mereka merasa teralienasi dari masyarakat berkat kejamnya stereotip yang berkembang. Para pengidap Hikikomori akan mengalami ketakutan meninggalkan rumah maupun kamar tidur, seringkali gemetaran dan meracau tidak jelas, menyandarkan kepala ke jendela, serta berharap bisa memutar waktu ke masa-masa saat ia tidak perlu menghindari sesuatu. Harus kita sadari bahwa dunia ini lambat laun memang didesain untuk membuat kita merasa sendirian. Berlari dari hiruk pikuk masyarakat yang mengharuskan kita menjadi mesin produktif, yang tanpa sadar membuat diri kita tergerus sedikit demi sedikit.
Saya yakin bahwa kesepian dan kesendirian adalah fenomena yang universal. Para penulis Jepang ini menyadari bahwa karya mereka dapat merepresentasikan semua pembacanya. Sebab perasaan kesepian, hilang arah dan tujuan, serta ketidakpastian sangatlah akrab bagi kita semua, tentunya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Hal ini juga membuatnya menarik, mengingat bagaimana karya sastra Jepang juga menjadi media dalam memperkenalkan budaya ini ke dunia luar. Entah budaya yang memengaruhi karya sastra atau karya sastra yang memprediksi masa depan, tetapi yang pasti adalah sastra Jepang dapat menjadi media refleksi terhadap krisis eksistensial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Jepang.
Cara penulis Jepang dalam menciptakan kesepian ke dalam karya mereka membuat kita semua menyadari bahwa kesendirian adalah perasaan yang melintasi benua dan menyentuh kita semua, karena hal ini berbicara tentang aspek bagaimana rasanya menjadi manusia. Krisis eksistensial yang dialami oleh para tokoh, baik di novel Murakami maupun penulis Jepang lainnya adalah representasi nyata keadaan manusia abad ke-21 yang tidak hanya berada di Jepang, tetapi di seluruh dunia.
Cara penulis Jepang dalam menciptakan kesepian ke dalam karya mereka membuat kita semua menyadari bahwa kesendirian adalah perasaan yang melintasi benua dan menyentuh kita semua, karena hal ini berbicara tentang aspek bagaimana… Share on XMau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini