Mengenal Bahasa Indonesia dan Mengevaluasi Penutur Jatinya dari Sudut Pandang Penutur Asing
October 21, 2021Jangan Pukul Rata Kaum Muda
October 30, 2021KATALIS
Pembajakan Buku: Upaya Pembebasan Ilmu Pengetahuan atau Tindak Kriminal Etika Moral?
oleh Christmastuti Destriyani
Akses terhadap buku dan artikel jurnal akademik sangatlah terbatas. Hal ini pun mendorong terjadinya pembajakan. Garwe mengungkapkan bahwa pembajakan buku tidak hanya ilegal, tetapi juga tidak etis.
Terdapat sebuah pepatah yang mengatakan “buku adalah jendela dunia.” Hal senada dengan yang dikutip oleh Nkiko dari Okwilagwe dan Ekwueme dalam sebuah artikel jurnal berjudul “Book Piracy in Nigeria: Issues and Strategies” (2014) bahwa buku adalah paspor dunia, kendaraan ilmu pengetahuan yang tak tergantikan, gudang dan pembawa budaya dan informasi, dan unsur penting dalam pembangunan. Namun, pada kenyataannya akses terhadap buku dan artikel jurnal akademik sangatlah terbatas. Akses terhadap jendela dunia ini terbatas dan juga dibatasi. Seringkali untuk membuka jendela tersebut, kita perlu merogoh kocek yang tidak sedikit. Jika hal ini terus terjadi, maka buku hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya lebih. Sedangkan, kondisi sebaliknya terjadi pada mereka yang kekurangan sumber daya.
Hal ini pun mendorong terjadinya pembajakan. Pembajakan didefinisikan oleh Thomas yang dikutip oleh Garwe sebagai penyalinan tidak sah atau ilegal dari karya materi yang dimiliki orang lain dan menjualnya tanpa memberikan manfaat atau kompensasi kepada pemegang hak cipta. Nwafor mengungkapkan pembajakan yang terjadi karena beberapa alasan antara lain: harga buku yang tinggi, kelangkaan bahan penerbitan seperti kertas, mesin, tinta, dan sebagainya, serta kondisi industri penerbitan di negara sedang berkembang yang masih bergantung pada negara-negara berkembang.
Pembajakan tidak hanya terjadi pada produk-produk fisik, tetapi juga pada produk yang lahir dari perkembangan teknologi, termasuk buku elektronik (e-book). Sahni dan Gupta mengungkapkan pembajakan digital bukan hanya tentang mengunduh, mengunggah, atau menyalin-membagikan sesuatu. Pembajakan digital lebih merupakan konsekuensi dari bagaimana kita mengonsumsi dan memproduksi media sebagai sebuah budaya. Banyak faktor yang memicu pertumbuhan pembajakan ini, salah satunya adalah ketersediaan jaringan peer-to-peer yang mudah dan koneksi internet yang cepat dengan biaya rendah.
Data dari pelaku pembajakan dijelaskan oleh Chodak, bahwa pembajakan buku digital lebih sering dilakukan oleh laki-laki (66%) daripada perempuan. Selain itu, dari segi usia pembajakan buku lebih sering dilakukan oleh kelompok usia muda di bawah 45 tahun sebesar 88%. Selanjutnya, dari kalangan berpendidikan tinggi (lulusan perguruan tinggi dan pasca-perguruan tinggi) sebesar 72% dan berpenghasilan cukup baik yakni 66% dari kalangan berpenghasilan US$66.000 per tahun. Jika ditinjau dari sumbernya, mereka mendapatkan e-book melalui situs torrent publik (31%), cyberlocker publik (31%), teman melalui pesan instan, e-mail, atau flash drive (30%), lelang online (27%), dan teman melalui jaringan internal tertutup (27%).
Pembajakan Buku: Upaya Pembebasan Ilmu Pengetahuan atau Tindak Kriminal Etika Moral?
Garwe pun mengungkapkan bahwa pembajakan buku tidak hanya ilegal, tetapi juga tidak etis. Hal ini disebabkan oleh: Pertama, pembajak tidak pernah menerbitkan buku baru. Kedua, pembajak tidak membayar kompensasi atau royalti apapun kepada pemilik hak cipta atau penerbit yang sah. Ketiga, buku bajakan seringkali berkualitas rendah, tetapi di sisi lain perkembangan teknologi berhasil meniadakan poin ini karena dapat menghadirkan buku dengan kualitas yang sama baik dengan buku aslinya. Keempat, pembajak tidak mendapatkan risiko keuangan apapun karena berfokus pada produk yang memiliki permintaan tinggi. Dan, terakhir, tindakan pembajakan ini juga berdampak pada pengurangan pendapatan pemerintah.
Kegiatan pembajakan memberikan dampak besar bagi masyarakat. Nkiko menyebutkan bahwa pembajakan dapat menghancurkan kreativitas, mengurangi keuntungan ekonomi bagi penulis, serta membuat penerbitan tidak produktif dan lambat laun menjadi sektor yang tidak menarik. Pembajakan buku memiliki efek destruktif jangka panjang pada akademisi dan kualitas pendidikan.
Di sisi lain, pembajakan buku ini tidak selalu dipandang negatif. Salah satunya disampaikan oleh Hardy, yang mengungkapkan bahwa pembajakan digunakan sebagai sarana untuk mencoba produk sebelum membelinya. Ada kemungkinan bahwa hal ini akan mengurangi dampak negatif dari pembajakan itu sendiri. Hal serupa pun disampaikan oleh Belleflamme dan Peitz yang menyatakan bahwa pembajakan memberikan dampak positif pada pemilik hak cipta. Produk bajakan dianggap sebagai sampel yang akan menarik dan mendorong konsumen untuk membeli produk asli di kemudian hari. Argumen ini didasarkan pada pengamatan bahwa produk digital adalah experience goods yang kompleks dimana konsumen tidak mengetahui secara pasti nilai yang melekat pada produk digital tersebut sebelum mengonsumsinya.
Kemudian, pembajakan pun akan menghasilkan efek jaringan. Dalam hal ini, produk bajakan dinilai mampu meningkatkan daya tarik produk, sehingga mendorong peningkatan jumlah konsumen produk asli. Selain itu, pembajakan dinilai dapat meningkatkan permintaan barang yang melengkapi produk bajakan yang beredar. Sahni dan Gupta menuliskan adanya argumen yang mendukung pembajakan digital, terutama jika dilihat dari sudut pandang pelajar/mahasiswa. Alasan keterbatasan keuangan serta tujuan pendidikan disebutkan menjadi alasan yang “sah” dari pembajakan digital bagi kalangan pelajar/mahasiswa.
Pembajakan buku memiliki efek destruktif jangka panjang pada akademisi dan kualitas pendidikan. ~Christmastuti Destriyani Share on XUpaya Menghentikan Pembajakan Digital
Perdebatan pro-kontra terkait pembajakan buku, baik buku konvensional maupun digital, akan terus berlangsung. Namun, di sisi lain, kita perlu menaruh perhatian khusus terkait masalah ini guna mengatasinya. Garwe menuliskan strategi anti-pembajakan yang paling efektif adalah keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam bahu-membahu untuk menjalaninya beberapa langkah. Pertama, peningkatan kesadaran masyarakat dan memberikan advokasi, misalnya dengan membuat kampanye anti-pembajakan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kedua, solusi teknologi dengan pemberian watermark pada file yang asli atau dengan menggunakan kode enkripsi yang berlaku untuk satu akun atau satu gawai.
Ketiga, penyesuaian harga serta memperluas distribusi dan promosi. Persoalan harga menjadi faktor utama pembajakan buku digital. Maka dari itu, penerbit perlu menetapkan harga yang sesuai dengan kondisi pasar atau masyarakat. Untuk menyesuaikan harga ini, pihak penerbit bisa menggandeng swasta atau brand untuk memasang iklan sehingga masyarakat dapat mengaksesnya dengan harga yang terjangkau. Keempat, penguatan dan penegakan kebijakan kekayaan intelektual yang membutuhkan kerangka hukum dan kebijakan yang relevan serta aparat penegak hukum yang memiliki integritas.
Nkiko pun menambahkan dalam memberantas pembajakan buku digital dibutuhkan revitalisasi perpustakaan. Menurut Nkiko, dengan perpustakaan yang memiliki fasilitas baik dan terjangkau oleh semua kalangan, maka lambat laun akan mendorong berkurangnya pencarian buku bajakan. Tak hanya dari fasilitas, perpustakaan juga perlu berkomitmen untuk menyediakan beragam buku yang terus diperbarui secara berkala. Di sisi lain, salah satu usulan Nkiko yang menarik adalah dengan memanfaatkan teknologi untuk membuat pencarian otomatis dengan algoritma khusus. Selain itu, juga menyertakan informasi dari penulis dan editor berupa tindakan umum untuk mendeteksi dan menghapus file unduhan ilegal dari e-book.
Al-Rafee dan Rouibah mengungkapkan selain dengan peningkatan kesadaran dan pemahaman hukum serta hak cipta dan kekayaan intelektual, untuk menghentikan pembajakan buku secara digital juga dibutuhkan peran agama. Dari studi yang dilakukan, agama memiliki efek yang signifikan dalam mencegah pembajakan buku digital ini. Pemerintah bisa bekerja sama dengan petinggi agama untuk turut membantu menyebarkan kesadaran ini. Namun, tentu poin ini tidak bisa diterapkan secara umum. Faktor agama hanya akan berlaku pada negara-negara dengan penduduk dengan tingkat religiusitas tinggi.
Pembajakan Buku di Indonesia
Persoalan pembajakan buku, baik buku konvensional maupun digital, merupakan permasalahan yang telah lama terjadi di seluruh negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, perdebatan masih banyak seputar pembajakan buku konvensional yang dijual dengan harga murah dengan kualitas yang berbeda jauh dari aslinya. Faktor ekonomi menjadi faktor utama persoalan pembajakan buku di Indonesia. Pasalnya, harga buku memang masih tergolong mahal. Di sisi lain, industri buku yang berkembang masih terpusat di Jawa, sehingga distribusi buku ke daerah selain Jawa memakan banyak biaya yang tentunya membebani pembaca.
Di sisi lain, fasilitas perpustakaan di daerah, baik yang dikelola pemerintah daerah maupun swasta, memiliki fasilitas yang amat minim. Kesenjangan digital pun masih sangat tinggi, sehingga akses terhadap buku-buku digital pun masih minim. Kemudian, faktor penting lainnya adalah minat serta budaya baca di Indonesia yang masih rendah. Faktor-faktor kemudian ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pembajakan buku ini serupa lingkaran setan yang sulit untuk diputus.
Dalam kasus di Indonesia, bagi penulis, pemerintah perlu memegang kendali besar dalam mengatasi permasalahan ini. Pemerintah bisa menggandeng pihak swasta untuk membangun taman baca atau perpustakaan di daerah-daerah. Pemerintah juga dapat menyusun peraturan terkait distribusi buku ke pelosok dengan harga yang terjangkau, sehingga distribusi buku tidak hanya berpusat di Jawa.
Selain itu, pemerintah perlu mengatur ekosistem penerbitan buku dengan peraturan-peraturan yang relevan. Mulai dari pengaturan royalti penulis hingga kebijakan mengenai pembajakan buku, serta hak cipta itu sendiri. Selanjutnya, hal yang tak kalah penting adalah pemahaman pemerintah mengenai pelarangan atau pembakaran buku yang merupakan salah satu tindakan pembatasan penyebaran pengetahuan. Dengan begitu, jendela dunia (baca: buku) dapat diakses oleh siapa dan di mana saja.
Christmas Destriyani yang tidak lahir tepat pada hari Christmas. Seorang pembaca buku yang suka menulis. Peselancar di dunia maya dan suka mengamati fenomena sosial di media sosial. Kini bekerja sebagai Copy Writer dan juga sebagai mahasiswa S2 di sebuah universitas negeri di Indonesia. Memiliki ketertarikan pada isu anak muda, perkembangan dunia digital, gender, dan juga literasi.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @kerisirek.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini