Degrowth sebagai Pra-syarat Alternatif Pembangunan
January 12, 2022Stigma Ilmu Sosial dan Persoalan Kolaborasi Interdisipliner untuk Pembangunan yang Adil
January 26, 2022Catatan Pinggir
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
oleh Ruli Endepe Al Faizin
Pengantar Redaksi:
Ruli Endepe, ekonom kesehatan, mempertanyakan siapa subjek dari pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dengan memberikan contoh melalui industri tembakau. Meski, nyatanya industri tembakau memberikan dampak buruk bagi kualitas hidup masyarakat, tapi dorongan untuk terus ada dengan dalih ‘membantu pertumbuhan ekonomi’ masih dominan.
Tanpa upaya aktif dan agresif dari semua pemangku kepentingan dalam pengendalian tembakau, kondisi kronis konsumsi produk hasil tembakau akan semakin parah. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan pembangunan yang berfokus dari, oleh, dan untuk manusia.
Di tahun 2021 ini, nyaris 420 triliun rupiah dianggarkan Kementerian Keuangan untuk berbagai proyek pembangunan infrastruktur dari perumahan rakyat, jalan dan transportasi, serta pembangkitan listrik dan distribusi gas kota. Angka ini menjadi rekor tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Sebuah upaya mengejar target pembangunan dan kesejahteraan makro yang patut diapresiasi.
Hingga tahun 2020, telah dibangun 15 bendungan tambahan dengan kapasitas total mencapai 1,1 miliar m3. Selama kurun waktu 2015–2019 juga sudah terbangun 1.300 km jalan tol di seluruh Indonesia, sehingga panjang tol nasional mencapai 2.100 km, ditambah dengan 1.900 km lagi yang sedang dalam proses pembangunan. Pembangunan fisik dan infrastruktur memiliki dua manfaat bagi perekonomian secara makro. Dalam jangka pendek, proyek pembangunan fisik menggerakkan roda perekonomian dengan cara meningkatkan permintaan akan input produksi seperti material, pekerja kasar, serta tenaga konsultasi keilmuan. Sementara, dalam jangka panjang, hasil pembangunan fisik akan menjadi fasilitas pendukung proses ekonomi dan distribusi. Menggunakan data yang diolah dari tabel input-output 2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), didapati fakta bahwa jasa konstruksi dan infrastruktur menempati posisi 50 besar sektor dengan kekuatan pendorong ekonomi dari total 185 sektor.
Di tengah tren pembangunan infrastruktur nasional yang masif dan bertujuan mengejar ketertinggalan pertumbuhan dibanding negara di kawasan, tampaknya diskursus penyeimbang narasi tetap diperlukan oleh publik secara luas. Pertanyaan mendasar dalam diskursus pembangunan adalah siapa yang menjadi subjek dan objek pembangunan itu sendiri: untuk siapakah pembangunan ekonomi ditujukan?
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hendaknya berpusat pada manusia. Manusia secara umum seharusnya tidak dipandang hanya sebagai alat produksi pelengkap kapital dan sumber daya alam. Manusia harus menjadi subjek utama pembangunan dan memiliki keterlibatan aktif dalam ekonomi sirkular. Untuk itu, isu-isu pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan, upaya redistribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan, jaminan sosial dan kesehatan, serta keberlanjutan lingkungan selalu mengiringi isu pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan fisik dan investasi demi menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi semakin vital di masa pandemi Covid-19.
Manusia secara umum seharusnya tidak dipandang hanya sebagai alat produksi pelengkap kapital dan sumber daya alam. Manusia harus menjadi subjek utama pembangunan dan memiliki keterlibatan aktif dalam ekonomi sirkular. ~ Ruli Endepe Share on XSelama dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi nasional menunjukkan tren negatif. Sejak April 2020 hingga Maret 2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah titik nol persen. Bahkan, pada tahun 2020, untuk pertama kalinya sejak krisis ekonomi 1998, perekonomian Indonesia tumbuh negatif. Kondisi pertumbuhan negatif selama dua triwulan yang disebut resesi ekonomi secara resmi dilewati Indonesia pada triwulan kedua tahun 2021, yang mana perekonomian tumbuh 7,1% dibanding triwulan kedua 2020. Untuk menggerakkan roda perekonomian di kala resesi, Pemerintah Indonesia menganggarkan sekitar 224 triliun rupiah untuk pemulihan ekonomi dan insentif usaha, di samping tetap mengejar penyelesaian berbagai proyek strategis nasional.
Bom Waktu Krisis Tembakau
Masih segar di ingatan ketika akun pribadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 30 November mencuit apresiasi akan pembangunan pabrik produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) di Jawa Barat. Di tengah kondisi nasional yang belum memiliki peta jalan pengendalian produk tembakau yang jelas serta intervensi industri atasnya yang masif, apresiasi dan dukungan pemerintah terhadap industri tembakau patut disayangkan. Bahkan, hingga Senin, 6 Desember 2021, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Perubahan Tarif Cukai Produk Hasil Tembakau tahun 2022 belum juga diteken. Lazimnya, PMK tarif cukai diteken pada bulan Oktober atau November.
Tanpa adanya peta jalan yang jelas dalam upaya pengendalian tembakau, Indonesia dapat dikatakan menjadi surga bagi produk hasil tembakau. Tarif cukai yang terlalu rendah, harga jual eceran yang terlalu murah bahkan untuk anak usia sekolah, serta pengawasan penjualan rokok yang minim menjadi fenomena yang umum dan sudah berlangsung lama. Tanpa upaya aktif dan agresif dari semua pemangku kepentingan dalam pengendalian tembakau, kondisi kronis konsumsi produk hasil tembakau akan semakin parah. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan pembangunan yang berfokus dari, oleh, dan untuk manusia. Bukan hanya peningkatan output ekonomi secara makro yang ditarget, melainkan perbaikan kualitas hidup manusia.
Tanpa upaya aktif dan agresif dari semua pemangku kepentingan dalam pengendalian tembakau, kondisi kronis konsumsi produk hasil tembakau akan semakin parah. ~ Ruli Endepe Share on XPada dasarnya, selama beberapa tahun terakhir sudah terjadi pergeseran pola penyakit penyebab kematian dan disabilitas di Indonesia. Penyakit menular bukan lagi penyebab utama kematian di Indonesia laiknya di negara dunia ketiga, melainkan beragam penyakit tidak menular (PTM). Penyakit terkait konsumsi dan paparan produk tembakau menjadi penyebab kematian nomor dua di Indonesia, setelah jantung koroner. Melalui riset medis yang panjang selama bertahun-tahun, rokok terbukti menjadi penyebab atau faktor risiko berbagai PTM yang bisa mengakibatkan kematian yang bisa dicegah, seperti penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), penyakit terkait jantung (CVD) termasuk jantung iskemik, stroke, serta berbagai jenis kanker. Pada tahun 2019, diperkirakan 13,6 triliun rupiah habis untuk membiayai CVD dan PTM paru melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional.
Minimnya pemahaman akan risiko dan efek buruk akibat konsumsi produk tembakau serta kebijakan pengendalian tembakau yang setengah hati dari pemerintah membuat konsumsi produk hasil tembakau terus naik setiap tahunnya. Kondisi yang tengah dihadapi Indonesia boleh jadi disebut sebagai krisis tembakau. Sebuah kondisi yang bisa berujung pada menurunnya kualitas hidup manusia, yang bertentangan dengan tujuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Krisis tembakau di Indonesia semakin kronis mengingat angka prevalensi perokok terus naik. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2018, prevalensi perokok pada penduduk berusia sepuluh tahun ke atas naik menjadi 29,3% dari 28,8% di 2013. Di riset yang sama, juga ditemukan bahwa sekitar 65% laki-laki berusia sepuluh tahun ke atas pernah merokok dan 57%-nya aktif merokok. Bahkan, sekitar 60% penduduk yang pernah merokok mengaku mulai merokok di usia sekolah (5-19 tahun). Di tahun 2020, berdasarkan data yang diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dari sekitar 72,8 juta rumah tangga di Indonesia, 45,5 juta di antaranya merupakan rumah tangga konsumen produk hasil tembakau.
Lebih lanjut, konsumsi produk tembakau menunjukkan peningkatan secara konsisten sebesar 5% per tahun untuk setiap kelompok sosial ekonomi (SES) berdasarkan dataset yang sama. Upaya peningkatan tarif cukai tembakau sebesar 8-12% per tahun belum mampu menurunkan konsumsi produk hasil tembakau baik dalam rupiah maupun batang rokok. Di tahun 2020, tipikal rumah tangga konsumen produk tembakau menghabiskan sekitar Rp450.000 setiap bulan untuk produk hasil tembakau.
Angka di atas setara dengan 18% alokasi anggaran makanan dan rokok per bulan. Di rumah tangga 20% terbawah (B20) yang juga konsumen produk tembakau, alokasi konsumsi produk tembakau melampaui alokasi sumber protein yang hanya 13%. Bandingkan dengan rumah tangga B20 yang tidak mengonsumsi produk tembakau, yang rata-rata mengalokasikan 18% anggaran makanan untuk sumber protein. Ketimpangan pengalokasian sumber daya untuk konsumsi rumah tangga di kelompok konsumen produk tembakau membuka peluang lebar bagi peningkatan kasus gizi buruk, salah satunya stunting yang bersifat permanen setelah anak melewati usia 5 tahun.
Minimnya usaha pengendalian tembakau dari para pemangku kepentingan serta endorsement atas proyek industri tembakau yang mengatasnamakan pembangunan justru bertolak belakang dengan semangat peningkatan martabat dan kualitas hidup penduduk melalui pembangunan ekonomi. Hingga saat ini, tarif rokok masih terbagi atas tiga kelompok dengan tiering mencapai 8 level. Pengelompokan dan tiering rokok yang terlalu banyak membuka celah bagi industri rokok untuk “bermain”.
Petani, buruh linting, dan pertumbuhan ekonomi menjadi tameng yang digunakan industri untuk melawan upaya pengendalian tembakau. Padahal, petani tembakau hanya menyusun 1,6% total petani seluruh Indonesia (Sensus Pertanian, 2013), impor tembakau kering untuk bahan baku industri juga mencapai 1/3 dari total input. Menurut Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) 2016, pekerja sektor manufaktur produk tembakau juga menyumbang kecil ke total pekerja, yaitu 0,6%. Dari segi pertumbuhan ekonomi, industri rokok dari hulu ke hilir juga tidak termasuk sektor yang berdampak mendorong pertumbuhan yang tinggi berdasarkan tabel input-output BPS, selain hanya terkonsentrasi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pemerintah sebagai regulator dan nakhoda memiliki peluang besar untuk memperbaiki dan mengarahkan kembali pembangunan Indonesia sesuai dengan tujuan awal. Untuk menjaga dan, bahkan, meningkatkan kualitas kesehatan penduduk yang berperan besar dalam produktivitas perekonomian nasional, langkah nyata pengendalian tembakau harus diambil. Penetapan tarif cukai tembakau yang tinggi, pembatasan penjualan produk hasil tembakau, simplifikasi tiering tarif cukai, serta penghapusan diskon cukai bisa menjadi langkah awal upaya meningkatkan kualitas hidup penduduk. Tanpa adanya peta jalan yang konkret untuk pengendalian tembakau–terlebih jika negara dan pejabat secara aktif melakukan endorsement kepada industri–patut kita bertanya: Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk siapa?
Tanpa adanya peta jalan yang konkret untuk pengendalian tembakau, patut kita bertanya: pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk siapa? ~ Ruli Endepe Share on XHealth economist by the day, avid football fan by the night. Ruli Endepe adalah seorang peneliti muda di bidang ekonomi pembangunan, dengan tema seputar kesehatan, kemiskinan, dan ketenagakerjaan. Perbaikan mutu layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta skema asuransi sosial menjadi topik yang ia dalami selain soal pengendalian tembakau. Di waktu luangnya, Ruli menghabiskan waktu untuk bermain Pokémon GO juga menata koleksi perangko dan SHF Star Wars-nya.
Artikel Terkait
Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
Ruli Endepe, ekonom kesehatan, mempertanyakan siapa subjek dari pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dengan memberikan contoh melalui industri tembakau. Meski, nyatanya industri tembakau memberikan dampak buruk bagi kualitas hidup masyarakat, tapi dorongan untuk terus ada dengan dalih ‘membantu pertumbuhan ekonomi’ masih dominan.Pembangunan dan Ekonomi
Kita sering dengar tentang GDP atau PDB yang katanya menunjukan angka kesejahteraan masyarakat suatu negara. Kenapa sih PDB jadi penting? Apa ada indikator lain untuk memahami pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi?