Di mana Posisi Perempuan dalam Pemilihan Umum?

Bias gender jadi persoalan utama minimnya representasi perempuan di politik. Tapi, banyaknya jumlah pemilih perempuan bisa jadi peluang untuk perempuan memenangkan Pemilu.
Perempuan di kertas suara

Ide Utama

Perempuan di kertas suara

Konsep Mini

Ketidakadilan atau diskriminasi yang terjadi berdasarkan jenis kelamin atau gender seseorang. Bias gender sering kali dihasilkan dari stereotip dan norma-norma sosial yang mengharapkan perilaku atau peran tertentu dari individu berdasarkan gender mereka.

Gaya kepemimpinan ini sering kali ditandai dengan sifat dominan, agresif, dan kompetitif. Pemimpin maskulin cenderung mengedepankan kekuasaan dan kontrol dalam pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan feminin lebih cenderung mengedepankan kerja sama, empati, dan inklusi. Pemimpin perempuan sering kali berusaha membangun konsensus dan mengedepankan dialog.

Memasuki pesta demokrasi serentak 2024, isu mengenai minimnya representasi perempuan lagi-lagi muncul.  Sama seperti Pemilihan Umum (Pemilu) periode sebelumnya, belum ada satu pun perempuan yang menjadi bakal calon presiden dan wakil presiden pada periode Pemilu kali ini. 

Keterwakilan perempuan dalam parlemen memang konsisten menunjukkan angka yang rendah. Pada 2022 saja, hanya ada 21,74 persen perempuan yang menduduki kursi parlemen. Jumlah tersebut turun dari 21,89 persen pada 2021. Untuk mengikis ketimpangan gender dan mendorong proses politik yang lebih substantif, tidak heran jika kini pemerintah menargetkan angka representasi politik perempuan minimal sebesar 30 persen.

Bias Gender Menjegal Langkah Politik Perempuan

 

Stereotipe bahwa perempuan tidak layak memimpin menjadi hambatan terbesar untuk berkiprah di politik praktis.
Stereotipe bahwa perempuan tidak layak memimpin menjadi hambatan terbesar untuk berkiprah di politik praktis.

Pemilih Perempuan dalam Pemilu, Mengapa Penting?

Kepemimpinan Feminin, Mengapa Tidak?

Selama ini, masyarakat masih mengharapkan satu jenis karakteristik kepemimpinan, yakni kepemimpinan maskulin tradisional. Seperti kacamata kuda, ekspektasi itu membuat masyarakat kurang dapat menerima karakteristik kepemimpinan lain, yaitu kepemimpinan feminin yang biasanya melekat pada perempuan. Alih-alih berfokus pada kompetisi, gaya kepemimpinan feminin lebih mengedepankan kerja sama dan membangun relasi, sehingga dapat menciptakan tim yang solid. 

Kita perlu memastikan bahwa kehadiran perempuan di politik benar-benar bermakna bagi perempuan lain: mampu membuka akses politik yang lebih luas pada perempuan-perempuan yang teropresi ~ Rizka Antika Share on X

 

Bacaan Lebih Lanjut

UNDP, 2020, Gender Social Norms Index (GSNI)

Aspinall, Edward. 2021. Women’s Political Representation in Indonesia: Who Wins and How?

Nuqul, Fathul Lulabin. Gender and Voting Behaviour: Political Psychology Analysis for Voting Behaviour in Indonesia

Christianne Corbett, 2021. Pragmatic bias impedes women’s access to political leadership

Cakra Wikara Indonesia. 2022. Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah

 


Rizka Antika adalah seorang perempuan lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Rizka menganggap dirinya sebagai seorang generalis yang memiliki ketertarikan di beberapa isu di dalam ruang lingkup HAM dan demokrasi, di antaranya adalah perempuan dan politik, pencegahan ekstremisme berkekerasan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta penghapusan kekerasan seksual. Rizka saat ini memiliki pengalaman selama 4 tahun di sektor pembangunan dan bekerja sebagai Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity di INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) dengan berfokus kepada advokasi berbasis bukti, baik di tingkat lokal, nasional, maupun regional.