“Pemuda Harapan Bangsa?” Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
January 26, 2022Pembangunan dan Ekonomi
January 27, 2022Makna
Reorientasi Pembangunan Negara-negara di Selatan
oleh Selma Theofany
Dulu, pembangunan yang dianggap modern selalu yang dari Barat atau di Utara (Global North). Sekarang, sudah waktunya kita memikirkan pasca pembangunan (post-development) yang berlandaskan pandangan Selatan (Global South). Gimana caranya?
Konsep pembangunan yang mengacu pada desain pembangunan yang disusun oleh negara-negara dunia bagian Utara (Global North) dianggap telah usang. Gagasan pembangunan berorientasi kepada modernitas, progres, dan pertumbuhan–terutama dari segi ekonomi–dalam desain pembangunan tersebut, tampak menjanjikan meskipun sebenarnya menjebak bagi negara-negara Selatan (Global South). Saat itu, garis pembeda antara Utara dan Selatan kaku dan jelas. Bukan hanya pembagian secara geografis, penyematan Utara dan Selatan bermakna pelabelan bahwa negara-negara di Utara adalah negara maju yang harus dijadikan patokan dalam membangun, sedangkan negara-negara di Selatan merupakan negara berkembang yang harus mengikuti langkah Utara agar menjadi maju.
Desain dalam konsep awal mengenai pembangunan menggunakan konteks sosial, ekonomi, dan politik di negara-negara Utara yang kemudian dipaksakan agar diadopsi oleh negara-negara di bagian selatan dunia. Agenda penyeragaman konsep pembangunan ini dapat menghilangkan keberagaman cara pandang untuk berkembang yang ada di negara-negara Selatan, karena harus mengikuti desain dari Utara. Konsep pembangunan yang didesain oleh Utara juga menjadi alat politik untuk memperkuat kekuasaan secara global.
Sebagaimana seruan Harry S. Truman pada tahun 1949 bahwa pembangunan di negara-negara Selatan dianggap kurang berkembang ditujukan untuk menegaskan superioritas dan memosisikan Amerika Serikat untuk memimpin tatanan dunia. Konsepsi ini melahirkan ketimpangan kuasa secara global yang semakin tajam, karena Utara yang sejak awal memiliki posisi kuasa tinggi pascakolonisasi menuntut negara-negara di Selatan untuk tetap tunduk dengan cara pengelolaan negara yang sesuai desain pembangunan Utara.
Perenungan terhadap praktik pembangunan yang hanya didasarkan pada desain Utara telah melahirkan wacana tentang pascapembangunan (post-development). Arturo Escobar mencatat bahwa istilah pascapembangunan ini pertama kali digunakan dalam sebuah forum internasional di Jenewa pada tahun 1991. Enam tahun pasca pertemuan tersebut, istilah ini menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi yang menggeluti studi pembangunan dan para praktisi di sektor pembangunan.
Pascapembangunan adalah era orientasi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak lagi berpusat pada ambisi pembangunan sebagaimana desain yang dibuat oleh negara-negara di Utara. Praktik pembangunan yang selama ini mengandalkan ‘pakar’ yang dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengimplementasikan desain pembangunan, mulai diganti dengan memberi ruang yang lebih besar bagi masyarakat di akar rumput untuk menentukan arah pembangunan dan pengembangan diri. Pemberian kepercayaan kepada masyarakat daripada ‘pakar’, dilakukan karena timbul kesadaran bahwa masyarakat adalah pihak yang terdampak langsung oleh pembangunan, sehingga mereka adalah pakar sesungguhnya.
Globalisasi dan Pembangunan
Perubahan sikap terhadap pembangunan, termasuk lahirnya pemikiran tentang pascapembangunan, tidak terlepas dari fenomena globalisasi. Terdapat beberapa ragam pemaknaan terhadap globalisasi, seperti para liberal yang memahami globalisasi sebagai kedatangan arus pasar dan migrasi secara global, ataupun pascastrukturalis yang memandang globalisasi sebagai sebuah fenomena historis yang membuka ruang transformasi dan arena kontestasi.
Perubahan sikap terhadap pembangunan, termasuk lahirnya pemikiran tentang pascapembangunan, tidak terlepas dari fenomena globalisasi. ~ Selma Theofany Share on XKeberadaan globalisasi memantik pemaknaan ulang serta menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan modernitas sebagai orientasi pembangunan. Pada awal globalisasi, sebagian pihak menilai bahwa globalisasi akan melancarkan jalan penyebaran standar dan nilai modernitas secara global, sehingga menjadi sebuah nilai universal. Sebagian lain menduga kemungkinan modernitas akan tergantikan oleh sesuatu yang lain dan menjadi awal bagi suatu hal yang baru. Seiring berjalannya waktu, globalisasi menjelmakan dua asumsi tersebut.
Asumsi pertama tampak ketika globalisasi menjadi kendaraan negara-negara Utara yang memegang kuasa sebagai pembuat desain pembangunan yang berorientasi modernitas. Keterhubungan yang lahir dari globalisasi mempermudah arus penyebaran nilai modernitas Utara yang dibawa seiring dengan laju pasar dan migrasi global. Utara menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat pengaruh yang lebih luas, yaitu dalam skala global. Mereka memanfaatkan kedaulatan negara-negara lain yang mulai mengabur dengan adanya globalisasi untuk menganut konsep modernitas Utara. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengajukan persyaratan untuk mengikuti desain pembangunan Utara ketika memberikan pinjaman kepada negara-negara di Selatan.
Di sisi lain, globalisasi juga membuka jalan untuk mentransformasi pembangunan yang telah menjadi alat hegemoni Utara. Relasi yang tercipta sejak globalisasi menyebabkan garis pembeda antara Utara dan Selatan mengabur. Selatan yang telah dipengaruhi untuk mengadopsi desain Utara, menyebabkan keberadaan jejak-jejak Utara di Selatan. Begitu pula dengan Selatan yang menyisakan jejak di Utara. Pembauran ini memberikan ruang untuk bertukar sekaligus berkontestasi. Relasi kuasa dalam tatanan dunia yang semula dikuasai oleh Utara, kini memiliki celah untuk ditandingi oleh Selatan. Suara-suara minor dari Selatan–baik yang berada di Selatan maupun di Utara–mulai muncul untuk menyajikan desain dan konsep tentang bagaimana menjadi negeri yang lebih baik selain orientasi desain pembangunan Utara. Kondisi ini menyebabkan arus pengetahuan tentang pembangunan bukan lagi datang dari satu arah, melainkan dua arah.
Gagasan Pascapembangunan di Selatan
Tatanan dunia yang telah bertransformasi seiring dengan globalisasi dan relevansi desain pembangunan Utara yang mulai dipertanyakan memantik gagasan pascapembangunan. Panggilan untuk menggagas pascapembangunan ini menguat di negara-negara Selatan semenjak praktik pembangunan yang sesuai desain Utara telah menciptakan berbagai permasalahan, seperti pembinasaan cara hidup masyarakat lokal karena dianggap tidak sesuai dengan konsep modern atau menghambat proyek pembangunan. Padahal, ekspansi proyek pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan telah menjadi bumerang melalui kerusakan yang ditimbulkan, seperti kerusakan alam karena proyek infrastruktur negara yang terus digenjot.
Gagasan pascapembangunan di Selatan dapat dilaksanakan melalui beberapa cara. Salah satu caranya adalah dengan menyusun ulang pengertian konsep ‘maju’ melalui kearifan yang dimiliki negara-negara di Selatan sebagai pengganti desain pembangunan Utara. Kepercayaan bahwa negara-negara di Selatan memiliki potensi menyusun ‘resep’ yang lebih relevan bagi konteks pembangunan negara-negara wilayah Selatan perlu ditumbuhkan. Maka dari itu, kita tidak terpaku pada kepercayaan bahwa Utara adalah satu-satunya ‘pakar’ pembuat resep untuk menjadi maju. Terlebih, kenyataannya, desain pembangunan Utara tidak dapat menghindarkan Utara dari kegagapan menghadapi pandemi.
Selain itu, negara-negara di dunia Selatan dapat membentuk ulang konsep untuk menjadi ‘maju’ dengan mendobrak orientasi modernitas dan progresivitas dalam desain pembangunan Utara. Saat ini, beberapa gerakan dekolonisasi pembangunan mulai digencarkan di Selatan. Gerakan-gerakan ini bertujuan untuk mengikis pengaruh atas kuasa kolonial yang menanamkan orientasi tersebut. Cara hidup di negara-negara Selatan yang semula dianggap tidak modern, digali dan dikembalikan lagi untuk membentuk orientasi baru tentang hidup yang berkelanjutan, seperti upaya konservasi lingkungan yang mengadopsi cara indigenous people. Langkah lain yang lebih ekstrem adalah dengan memutus paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Pemutusan ini mengadopsi beberapa pemikiran alternatif, seperti post-growth yang merupakan perpaduan degrowth, agrowth, steady-state economics dan pasca-pembangunan yang melihat ketidaktepatan dari produk domestik bruto sebagai standar pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pembauran antara Utara dan Selatan menunjukkan bahwa pengaruh negara-negara dunia Utara hanya kuat di tataran elit Selatan sebagai pihak yang melaksanakan desain pembangunan Utara. Maka dari itu, kita perlu mendengar lebih banyak dari akar rumput. Langkah untuk menggali kearifan negara-negara di Selatan dapat dilakukan dengan mengapresiasi masyarakat di akar rumput, yaitu dengan mengaplikasikan praktik yang relevan bagi mereka. Gerakan sosial dan protes yang disampaikan masyarakat di akar rumput yang mengkritik pembangunan juga perlu dipertimbangkan.
Langkah untuk menggali kearifan negara-negara di Selatan dapat dilakukan dengan mengapresiasi masyarakat di akar rumput, yaitu dengan mengaplikasikan praktik yang relevan bagi mereka. ~ Selma Theofany Share on XMeskipun gagasan pascapembangunan–terlebih bagi Selatan–dianggap sebagai sebuah sebuah alternatif yang mendobrak, tetapi pandangan ini tidak lepas dari berbagai kritik. Beberapa kritik di antaranya adalah cara pandang pascapembangunan yang dianggap esensialis dan terlalu meromantisasi kekuatan akar rumput. Di samping itu, bagi pengkritik, melepaskan diri dari paradigma pertumbuhan ekonomi seperti yang disampaikan pascapembangunan bukanlah pilihan mudah bagi Selatan.
Argumentasi pascapembangunan menunjukkan bahwa terdapat alternatif dalam menentukan orientasi negara-negara di dunia, terutama di bagian Selatan, tentang konsep dan praktik kemajuan. Gagasan ini menunjukkan bahwa menjadi cukup tanpa berambisi mengejar kemajuan bukan hal yang buruk. Ambisi untuk menjadi maju tanpa memperhitungkan keberlanjutan terbukti telah menimbulkan kerusakan sehingga mengurangi, bahkan menghentikan ambisi itu diharapkan dapat memperbaiki kerusakan yang ada.
Bacaan Lebih Lanjut
Sachs, W., 2010. The Development Dictionary. London & New York: Zed Books. Escobar, A., 2007. ‘Post-development’ as Concept and Social Practice. In: Exploring Post-Development: Theory and Practice, Problems, and Perspectives. London: Routledge, pp. 18-32. Gerber, J.-F. & Raina, R. S., 2018. Post-Growth in the Global South? Some Reflections from India and Bhutan. Ecological Economics, Volume 150, pp. 353-358. Oldekop, J. A. e. a., 2020. COVID-19 and The Case for Global Development. World Development, Volume 134, pp. 1-4. |
Selma Theofany telah berkecimpung dalam beberapa penelitian terkait isu konflik dan Selma Theofany telah berkecimpung dalam beberapa penelitian terkait isu konflik dan perdamaian serta hak asasi manusia. Dia telah menempuh program magister Development Studies di International Institute of Social Studies Erasmus University Rotterdam, jurusan Human Rights, Gender and Conflict Studies: Social Justice Perspectives dengan spesialisasi Conflict and Peace Studies.
Artikel Terkait
Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
Di Catatan Pinggir ini, Brurce Mecca yang bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim, menggambarkan pandangannya tentang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.Reorientasi Pembangunan Negara-negara di Selatan
Dulu, pembangunan yang dianggap modern selalu yang dari Barat atau di Utara (Global North). Sekarang, sudah waktunya kita memikirkan pasca pembangunan (post-development) yang berlandaskan pandangan Selatan (Global South). Gimana caranya?Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
Ruli Endepe, ekonom kesehatan, mempertanyakan siapa subjek dari pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dengan memberikan contoh melalui industri tembakau. Meski, nyatanya industri tembakau memberikan dampak buruk bagi kualitas hidup masyarakat, tapi dorongan untuk terus ada dengan dalih ‘membantu pertumbuhan ekonomi’ masih dominan.