Menjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
March 7, 2020Sarahsita Hendrianti
March 21, 2020OPINI
Sebuah Keluhan Tentang ‘Kata N’
oleh Nurani Salikha
Beberapa waktu lalu, seorang teman terdekat saya menyuarakan minatnya untuk menonton penampilan seorang musisi rap pada suatu acara festival. Saya ikutan tertarik, berhubung rapper perempuan dari Amerika ini figur kontroversial super berbakat yang sudah lama hiatus dan baru naik daun lagi. Sayang, tiketnya terlalu mahal buat kami yang masih pekerja entry-level. “Ah males juga lagian nanti di sana pasti banyak dudebros yang suka ngomong n-word,” tambah teman saya, menghibur dirinya sendiri. Apa sih n-word dan kenapa penting bagi kita untuk selalu menghindari penggunaannya?
Kata ‘n’, yang pada versi lebih ekstrimnya menggunakan ‘r’ di akhir, adalah kata yang telah lama digunakan untuk merendahkan masyarakat kulit hitam, terutama di Amerika. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka yang dulu ditindas dengan kata itu mulai menggunakannya sendiri kepada satu sama lain sebagai panggilan akrab. Kata ini lalu disebarkan melalui produksi budaya mereka, seperti genre musik rap, dan dikenal dalam lingkup internasional. Di dalam komunitas masyarakat kulit hitam, usaha rehabilitasi kata ini dengan penggunaannya yang kasual masih menjadi kontroversi. Namun, untuk mereka yang bukan bagian dari masyarakat tersebut, sudah jelas tidak diperbolehkan untuk menggunakannya.
‘Kata n’ menyimpan memori penindasan, pembunuhan, dan perbudakan masyarakat kulit hitam yang sudah berlangsung sejak mereka dibawa dari negara asalnya secara paksa oleh penjajah kulit putih ke tanah Amerika. Maknanya mungkin memang sudah berubah di antara masyarakat kulit hitam, tapi saat datang dari ras lain, walaupun tanpa maksud yang jahat, kata ini masih mengandung memori tersebut.
Dengan jatuhnya Hari Penghapusan Diskrimani Rasial Sedunia pada 21 Maret ini, sekarang adalah saatnya bagi kita untuk mulai lebih peduli tentang isu tersebut dan mempertanyakan setiap hal dengan lebih kritis. ~ Nurani Salikha Share on XKarena fenomena rasisme masih dilakukan dengan begitu kasual dan sepele, sampai-sampai bisa menjadi ekspektasi, tidak heran bahwa Hari Penghapusan Diskrimani Rasial Sedunia yang jatuh pada 21 Maret ini tidak terlalu terdengar di kalangan masyarakat Indonesia. Pada tanggal yang sama, tepat enam dekade lalu, polisi di Sharpville, Afrika Selatan melepaskan tembakan mereka kepada 69 orang yang berpartisipasi dalam aksi demonstrasi damai melawan hukum apartheid. PBB memastikan tragedi memilukan ini tidak akan hilang dalam sejarah dengan menjadikannya sebuah hari yang diperingati seluruh dunia tiap tahunnya.
Sebagai lulusan Program Studi Inggris dan pengguna sosial media berbasis cuitan sejati, isu rasisme, terutama kepada masyarakat kulit hitam, menjadi salah satu hal yang krusial bagi saya. Setiap kali ada yang menggunakan n-word, entah untuk merasa keren atau bercanda, atau bahkan tidak tahu kalau itu salah, saya selalu menegurnya. Jawabannya pun selalu sama: “Ah, kan mereka gak di sini.” Bahkan pernah, saya sedikit menuai kontroversi di sosmed ketika saya menunjukkan ketidaksukaan saya pada penggunaan blackface di pementasan teater suatu prodi yang tidak dapat disebut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, isu ras adalah isu yang jauh dan tidak penting. Tidak ada sangkut pautnya dengan hidup mereka. Saking jauhnya, sekarang berdiri suatu bar di kawasan elit Jakarta yang dengan ‘berani’ menggunakan konsep Amerika era Jim Crow. Seakan-akan penderitaan orang lain adalah sebuah tema yang ‘edgy’.
Fenomena ini mengingatkan kita akan kurangnya rasa empati masyarakat kita pada isu-isu di luar kehidupan sendiri dan betapa kuatnya pengaruh media Amerika Serikat di negara ini. Tanpa kemampuan dan kesiapan untuk menerimanya secara kritis, terbentuklah boomer–boomer Indonesia yang secara sadar maupun tidak memiliki persepsi negatif tidak berdasar mengenai masyarakat kulit hitam karena telah lama dibombardir dengan ideologi kulit putih melalui Hollywood maupun media lainnya. Dan dari boomer-boomer itu, lahir generasi millennial dan gen-z yang mengadopsi bentuk rasismenya sendiri.Dengan pergantian zaman, budaya pop Amerika Serikat perlahan-lahan menjadikan identitas dan budaya masyarakat kulit hitam di negaranya sebagai sesuatu yang keren. Hal ini tercerminkan dan jadi fokus kritik di film Get Out karya Jordan Peele. Karena nyatanya, adopsi budaya ini justru mengesampingkan para pelaku aslinya, berhubung diskriminasi rasial masih marak dan meresap ke dalam institusi negara mereka.
Kalau fenomena culture vulture yang telah disebutkan di atas masih menjadi perdebatan di Amerika Serikat yang menjadi pusatnya, tidak aneh kalau di Indonesia perbuatan ini tidak dipertanyakan pengaruhnya dalam isu diskriminasi rasial. Bentuk rasisme ini lah yang marak di kalangan millennial maupun gen-z. Teman saya tidak salah dengan berasumsi bahwa akan banyak orang di festival tersebut yang merasa berhak menggunakan n-word. Bagi mereka, mereka sudah menjadi bagian dari pelaku budaya masyarakat kulit hitam Amerika.
Dengan jatuhnya Hari Penghapusan Diskrimani Rasial Sedunia pada 21 Maret ini, sekarang adalah saatnya bagi kita untuk mulai lebih peduli tentang isu tersebut dan mempertanyakan setiap hal dengan lebih kritis. Isu yang berbasis kemanusiaan, menurut saya, tidak terputus oleh jarak. Saat kita menyepelekan dan menganggap biasa diskriminasi ras, walaupun dalam skala yang kecil seperti menggunakan n-word, kita telah menormalisasi ketidak pedulian terhadap satu sama lain sebagai sesama manusia.
Nurani Salikha, lebih dikenal sebagai Runi, adalah lulusan Program Studi Inggris dari Universitas Indonesia. Salah satu hobinya adalah mengeluarkan amarah di sosmed (IG: @runicholid) tentang isu-isu sosial yang kerap berlangsung di sekitarnya. Saat ini, di tahun ke-24 kehidupannya, ia sedang bermimpi untuk bisa menulis novel berbahasa Inggris yang disukai banyak orang sambil bekerja full-time sebagai copywriter di sebuah social marketing agency.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini