Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
September 27, 2021Sentimen dalam Konsep Budaya Barat dan Timur
September 27, 2021Makna
Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
oleh Raisye Soleh Haghia
“A People without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots. (Masyarakat tanpa pengetahuan tentang sejarah, asal, dan budaya mereka sama saja dengan pohon tanpa akar.)” – Marcus Garvey
Sejarah merekonstruksi masa lalu. Tapi masa lalu yang seperti apakah yang disebut sejarah? Sejarah pada hakikatnya berusaha menafsirkan dan memahami segala yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia pada masa lalu. Tentunya dalam hal ini masa lalu yang dikaji adalah yang memiliki makna sosial.
Lantas siapakah yang merekonstruksi sejarah? Sejarah hadir sebagai sebuah karya historiografi yang dihasilkan oleh sejarawan. Namun bukan berarti sejarah dapat ditulis dengan sesuka hati oleh sejarawan. Sebelum menjadi karya sejarah, informasi-informasi yang ditemukan perlu terlebih dahulu melewati serangkaian metode sejarah.
Sebagai cabang ilmu sosial dan humaniora, sejarah mempunyai sebuah keunikan: Sejarah memiliki sifat empiris (dari bahasa Yunani empeiria yang berarti pengalaman) dan ideografis (menggambarkan suatu peristiwa dengan detail untuk mengungkapkan makna dari peristiwa tersebut).
Sejarah dikatakan empiris karena membicarakan pengalaman manusia. Pengalaman tersebut direkam dan didokumentasikan sebelum diteliti oleh sejarawan sehingga muncul fakta. Setelah fakta ditemukan, ia kemudian diinterpretasikan. Dari interpretasi terhadap fakta itulah baru muncul tulisan sejarah. Dengan sifatnya yang empiris, sejarah selalu bersinggungan dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Selain itu, sejarah juga bersifat ideografis. Artinya, meskipun sejarah menarik kesimpulan umum seperti ilmu sosial lainnya (generalisasi, berasal dari bahasa Latin yaitu generalis yang berarti umum), kesimpulan umum yang diambil tidak bersifat nomotetis (universal dan berlaku di setiap konteks).
Saat memaknai Revolusi yang terjadi di Eropa dan di Indonesia, contohnya, apabila menggunakan lingkup nomotetis, setiap Revolusi pasti terjadi karena adanya kaum ekstrimis seperti halnya yang terjadi di Eropa. Namun tidak demikian adanya. Sesuai dengan sifat ideografis, ditemukan dalam penelitian sejarah tentang Indonesia bahwa Revolusi Indonesia disebabkan bukan oleh munculnya kaum ekstrimis, namun karena munculnya golongan pemuda.
Sejarah adalah bagian dari kehidupan yang memberikan makna pada manusia, baik sebagai subjek maupun objek utamanya. Manusia sebagai subjek sejarah berkaitan dengan bagaimana sejarah direkonstruksi oleh sejarawan. Melalui rekonstruksi sejarah, peristiwa masa lalu bisa hadir dan ditelaah kembali di masa kini.
Sedangkan, manusia sebagai objek sejarah berkenaan dengan bagaimana manusia menjadi kajian utama penelitian sejarah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah ilmu yang bersinggungan dengan kehidupan, terutama kehidupan manusia di dalam masyarakat.
Lalu, apa yang membedakan sejarah dengan cabang ilmu sosial lain yang juga membicarakan manusia? Perbedaan utama terletak pada cara berpikir ilmu sejarah.
Cabang ilmu sosial lain membicarakan manusia secara sinkronik, yang berarti terbatas dalam waktu tertentu namun luas dalam ruang. Misalnya, ketika mengkaji detik-detik proklamasi, kita hanya fokus pada peristiwa tersebut secara mendetail. Namun, kita tidak menganalisis peristiwa-peristiwa lain yang juga berperan dalam mendukung kejadian tersebut. Penggunaan cara berpikir sinkronik seperti ini dalam mengkaji tentu sangat membatasi pemahaman kita tentang sejarah.
Sejatinya, sejarah tidak hanya membicarakan persoalan politik. Namun, sejarah memang terkadang digunakan untuk melegitimasi kepentingan politik seseorang di masa kini. ~ Raisye Soleh Haghia Share on XKarena itu, dalam kajiannya, sejarah membicarakan pengalaman manusia dengan cara diakronik, yang berarti terbatas dalam ruang namun mencakup jangka waktu yang panjang atau juga sering disebut sebagai berpikir kronologis. Dengan cara berpikir ini, kita menganalisis sesuatu berdasarkan urutan kejadiannya untuk pahami bagaimana suatu peristiwa mendukung terciptanya peristiwa-peristiwa lain. Misalnya, ketika mempelajari tentang Peristiwa Malari, kita juga akan harus pelajari peristiwa lain yang memicu terjadinya peristiwa tersebut, tokoh-tokoh yang terlibat, waktu kejadian, dan dampak dari peristiwa tersebut.
Meskipun demikian, sejarah tetap bisa ditulis dalam cara diakronik maupun sinkronik. Hal tersebut dapat terjadi apabila ilmu sejarah yang dikaji terikat dengan ilmu sosial tertentu sehingga saling mendekati (rapprochement). Misalnya pada penulisan sejarah kota, dimana digambarkan bagaimana sejarah yang bersifat diakronis bisa diperkaya oleh ilmu yang sinkronis.
Sejarah dan Politik
Karena sejarah selalu menceritakan pengalaman-pengalaman manusia, maka sejarah juga bisa dianggap menjelaskan latar belakang manusia. Selama hidup, bahkan hingga menjelang masa kematian, manusia akan senantiasa bertanya tentang sejarahnya. Begitu pun dengan politik.
Ada yang mengatakan bahwa sejarah adalah politik masa lalu dan politik adalah sejarah masa kini. Pernyataan tersebut tentu tidak sepenuhnya benar. Namun, tidak juga sepenuhnya salah. Sejatinya, sejarah tidak hanya membicarakan persoalan politik. Namun, sejarah memang terkadang digunakan untuk melegitimasi kepentingan politik seseorang di masa kini.
Penerapan Sejarah dalam Dunia Politik
Pernahkan kamu mendengar bahwa masa kebangkitan bangsa Indonesia dimulai pada lahirnya Budi Utomo di tahun 1908? Atau, apakah kamu pernah mendengar bahwa Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun? Kedua pembahasan di atas merupakan contoh dari penerapan sejarah dalam dunia politik.
Meskipun Budi Utomo lahir pada tahun 1908, hari lahirnya baru diperingati sebagai hari kebangkitan nasional empat dekade setelahnya, tepatnya pada tahun 1948. Memang, pada masa itu dirasakan ada kebutuhan untuk mengingatkan bangsa Indonesia mengenai semangat persatuan dan kesatuan bangsa demi menumbuhkan nasionalisme. Hal ini karena setelah tiga tahun merdeka Indonesia masih hidup dalam bayang-bayang penjajahan Belanda. Perjanjian demi perjanjian diadakan. Hingga akhirnya, Soekarno merasa perlu kembali menumbuhkan semangat nasionalisme. Salah satu cara membangkitkan nasionalisme adalah dengan membangkitkan ingatan tentang masa lalu, khususnya tentang semangat bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Begitu pula dengan pemahaman bahwa Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun. Pemahaman tersebut disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tahun 1950. Saat itu, ia bertujuan untuk mengobarkan semangat dan menumbuhkan kesadaran bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dan melawan setelah lama dijajah oleh bangsa Belanda.
Saat membicarakan masa lalu pun, sejarah membantu bernavigasi di kehidupan di masa kini. ~ Raisye Soleh Haghia Share on XPadahal, ketika kita melihat fakta sejarah, sesungguhnya, Indonesia tidak dijajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun. Penjajahan baru dapat dihitung sejak pemerintah Belanda secara resmi menjadikan Indonesia sebagai negara koloninya, bukan saat VOC didirikan pada tahun 1602, bukan juga saat awal kedatangan Cornelis De Houtman pada tahun 1596.
Pernyataan mengenai Indonesia dijajah selama ratusan tahun tersebut berawal dari ucapan gubernur jenderal De Jong tahun 1930-an. Ia mengatakan bahwa Belanda telah berkuasa di Hindia Timur sejak hampir 300 tahun yang lalu, dan akan tetap demikian hingga 300 tahun berikutnya. Hal tersebut dibuktikan dengan kembalinya Belanda untuk menguasai Hindia Belanda, yang sebelumnya sempat diambil alih oleh Inggris.
Sejarah dan Masa kini
Ketika membicarakan sejarah, kita pasti akan memperbincangkan masa lalu. Tapi, sejarah bukan berarti tidak berhubungan dengan masa kini. Suatu peristiwa sejarah di masa lalu sebenarnya bisa mengajarkan kita di masa kini tentang makna yang bisa diambil dan diimplementasikan di masa kini dan masa depan.
Mungkin kita pernah mendengar “politik ahistoris” disebutkan di media. Meski sangat berbahaya, praktik politik yang melupakan sejarah masih sering ditemukan. Misalnya, ketika mengutuk rezim Orde Baru, masyarakat cenderung hanya menolak yang berbau keluarga Cendana tanpa mengkritik kekerasan terhadap aktivis dan justru membela mereka yang anti kritik.
Sebagai contoh kasus lain, karena “politik ahistoris” tersebut, masyarakat hanya mengingat Orde Baru sebagai sebuah rezim yang tidak memiliki andil dalam pembangunan Indonesia, padahal apabila kita merunut sejarah Orde Baru tentunya tidaklah demikian. Ada jasa-jasa Orde Baru yang ditorehkan untuk negara dan bangsa Indonesia. Disinilah pentingnya kita belajar secara komprehensif tentang sejarah, karena sejarah bukanlah hakim yang menjatuhkan hukuman dan bukan pembela yang selalu berupaya membenarkan terdakwa. Sejarah adalah sebuah ingatan dan menghadirkan makna dari peristiwa masa lalu.
Atau yang terjadi beberapa waktu yang lalu, saat politisi menggunakan politik identitas demi memenangkan pemilu. Padahal, sejarah penggunaan taktik ini di masa lalu menunjukkan meningkatnya hate crime (kejahatan berbasis kebencian) karena perbedaan identitas yang diangkat. Sejarah memberikan kesempatan untuk belajar dari masa lalu. Bukan hanya dalam ruang politik, tapi juga dalam ruang-ruang lainnya.
Seperti munculnya berbagai surat kabar pribumi sebagai respon terhadap meningkatnya gairah untuk membangun bangsa dan menyebarkan gagasan tentang sebuah bangsa yang memunculkan modern Indonesian consciousness (kesadaran modern Indonesia). Lalu apa relevansi peristiwa tersebut dengan masa kini? Peristiwa tersebut memberikan gambaran kepada manusia masa kini yang sedang dibombardir dengan hujan informasi
Membicarakan sejarah, kebanyakan orang beranggapan bahwa itu merupakan sesuatu yang sudah berlalu dan hanya bisa kita kenang. Akibatnya banyak orang yang memandang sejarah dengan sebelah mata. Padahal, apabila kita menyadari pentingnya masa lalu maka kita akan tersadar bahwa kehidupan masa sehari-hari kita terbentuk oleh rangkaian kejadian dimasa lalu. Karena itu, peristiwa di masa lalu juga menarik untuk diperbincangkan dan jadikan pembelajaran di masa kini. Meski saat sejarah membicarakan masa lalu pun, kepentingan sejarah sesungguhnya adalah untuk masa kini.
Mungkin, kamu pernah mendengar perumpamaan yang mengatakan bahwa sejarah adalah pangkal jalan. Artinya, kita bisa selalu kembali ke sejarah untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan di masa sekarang. Dari sini, dapat kita pahami bahwa saat membicarakan masa lalu pun, sejarah membantu bernavigasi di kehidupan di masa kini.
Bacaan Lebih Lanjut
Raisye Soleh Haghia adalah pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI. Ia menyelesaikan tesis di Universitas Indonesia pada tahun 2014 dengan penelitian mengenai sejarah pers Islam di Indonesia. Saat ini, ia sedang melanjutkan program doktoral di Program Studi Pasca Ilmu Sejarah FIB UI dengan rencana penelitian tentang dinamika pers dan wartawan di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia memiliki ketertarikan pada bidang sejarah media massa dan Sejarah Indonesia.
Artikel Terkait
Sentimen dalam Konsep Budaya Barat dan Timur
Kesan kalau kehidupan dunia barat dan timur jauh berbeda lahir dari sejarah panjang. Apa saja? Yuk, baca artikel ini.Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
Sejarah kadang dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok tertentu. Kenapa sejarah punya peran penting dalam politik?Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
Meskipun secara formal penjajahan sudah berakhir, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Apa saja efek dari penjajahan di kehidupan kita sekarang?