Didi Kempot adalah Jawa dan Jawa adalah Kita
May 20, 2020Belajar Berani dari Soelastri
June 1, 2020KATALIS
Spektrum Lansia yang Terlewat
oleh Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari, Firdhan Aria Wijaya, dan Rosiana Evarayanti Saragih
“Kalo memikirkan jadi lansia (lanjut usia), rasanya jadi takut”, keresahan itu terungkap oleh salah satu partisipan waria yang sudah memasuki kriteria pra-lansia.
Menjadi tua adalah salah satu komponen dari daur kehidupan yang tidak terelakan. Sayangnya, di berbagai konteks di Indonesia, sesuatu yang alamiah itu sering dilabeli sebagai proses penempatan individu di luar tatanan masyarakat dan/atau hilangnya kemandirian atau ketidakmampuan individu. Akibatnya, penuaan menjadi kungkungan bagi individunya untuk memiliki kesempatan mengakses sumber daya, melakukan interaksi dengan ragam institusi sosial, dan mendapatkan layanan publik.
Di berbagai disiplin ilmu dan kebijakan sosial pun ketertarikan akan isu penuaan menuai tanda tanya. Fokus riset seakan-akan mengutamakan isu populer di bidang pengembangan balita dan anak usia dini; studi mengenai remaja; atau aktivitas keseharian orang dewasa.
Di sisi lain, pemangku kebijakan hanya mengerucutkan perhatian pada aspek kesehatan lansia. Sayangnya, implementasi program tersebut ditunggangi agenda perekonomian pembangunan nasional tanpa memperhatikan lingkungan yang mendukung integrasi bagi lansia. Dengan kata lain, kondisi tersebut membuat generasi tua menjadi populasi yang terabaikan (neglected population).
Selain itu, konsep yang berbeda terhadap lansia dari berbagai kelompok menempatkan usia tua pada spektrum yang terbatas di masyarakat. Perdebatan mengenai waktu pensiun, keriput yang sudah semakin banyak, kategori kelompok tidak produktif, dan asosiasi kesedihan di masa tua adalah topik yang sering dibahas di ruang publik.
Menurut Margaret Morganroth Gullette, seorang pakar age studies (kajian penuaan) di dalam bukunya Ending Ageism or How to Shoot Old People, terbatasnya pandangan masyarakat tersebut membentuk kondisi yang menempatkan lansia sebagai kelompok berkebutuhan khusus. Akhirnya, anggapan tersebut membuat menjadi lansia merupakan momok yang ditakuti, dan didiskriminasi serta direpresentasikan sebagai kelompok yang sering tertekan dan mengalami opresi.
Sebagai kelompok yang lebih sering dianggap tidak mampu, solusi pelibatan kelompok intergenerasi sering ditawarkan untuk merawat lansia. Sayangnya, kelompok usia anak, remaja, dan usia produktif tidak menggunakan perannya untuk mendorong lansia menjadi produktif. Mereka cenderung menganggap kelompok lansia sebagai masalah. Sikap tersebut membentuk jarak pemahaman terhadap lansia.
Keberagaman di masa tua
Interaksi sosial dan budaya akan membentuk identitas individu dalam suatu masyarakat. Keadaan ini akan mendorong individu untuk beradaptasi dengan aktivitas keseharian dan menanggapi situasi sosial dan budaya yang terbentuk di sekitar mereka. Upaya ini akan terus terjadi selama hidupnya, termasuk lansia. Sayangnya, masyarakat hanya melihat lansia yang identitas menonjolnya adalah status usianya.
Pada nyatanya, lansia bukan hanya individu perempuan berusia 60 tahun ke atas yang tinggal bersama anak perempuannya, sibuk melakukan arisan untuk beraktivitas, dan mengurus cucu. Atau individu laki-laki berusia 60 tahun ke atas yang sibuk mengurus kebunnya, menghabiskan uang pensiunnya untuk anak atau cucunya, dan duduk santai di sore hari dengan minum kopi.
Di sekeliling kita juga terdapat lansia yang merupakan perempuan berusia 60 tahun ke atas, janda, bekerja di ladang untuk mencukupi kebutuhannya, tinggal sendiri, atau pernah menjadi pekerja seks, imigran, korban pelecehan seksual, dan penderita HIV/AIDS. Juga terdapat laki-laki berusia 60 tahun ke atas yang tetap harus bekerja harian untuk memenuhi kebutuhannya, memiliki disabilitas sehingga hanya bisa diam saja di rumah, atau hidup sendiri di rumahnya.
Jika ditilik lebih jauh, juga terdapat kelompok individu berusia 6o tahun ke atas yang tidak termasuk dalam kelompok gender biner, laki-laki dan perempuan. Kelompok identitas berbeda seperti waria juga akan mengalami proses penuaan.
Bersama pra-lansia waria: Sebuah ilustrasi
Di Indonesia, membicarakan waria di masyarakat sudah sering dianggap sebagai topik yang ditabukan. Bahkan sering menjadi topik yang hanya berisi tentang pendapat negatif, kecuali di ranah isu kesehatan.
Seringnya kata waria disebut di ruang-ruang medis, membuat kelompok waria beranggapan bahwa keberadaan mereka paling dihargai di dalam ruang kesehatan. Sayangnya, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Nyatanya, program kesehatan yang ada untuk waria terbatas dan berhenti pada risiko serta penanggulangan HIV/AIDS. Perhatian kesehatan yang sama dan setara pada kelompok lansia waria pun seharusnya patut diperhatikan.
Aktivitas kami bertiga di bulan Februari di kelompok waria Yogyakarta menjadi bukti. Bersama tujuh waria pra-lansia berusia 40-60 tahun, kami berdiskusi tentang aktivitas keseharian, pola hidup, pilihan, dan perjalanan hidup. Perjalanan panjang yang mereka lewati tidak pernah berhenti dari kata berjuang dan melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya. Produktivitas pun tidak menurun untuk memenuhi makanan di ruang kost dan membayar sewa. Walaupun demikian, bertambahnya umur menimbulkan ketakutan bagi kelompok waria pra-lansia. Rasa aman yang dirasakan hanya berasal pada “perasaan” dekat dengan layanan kesehatan.
Munculnya perasaan khawatir menjadi lansia di konteks manapun cenderung menjadi pengalaman yang menakutkan bagi sebagian besar individu, tidak hanya waria. Namun, tantangan yang dihadapi berbeda dan lebih rentan terhadap waria. Kehidupan yang tidak pernah aman menuntut waria untuk terus melakukan aktivitas selayaknya usia produktif.
Perhatian kesehatan yang sama dan setara pada kelompok lansia waria pun seharusnya patut diperhatikan. ~Firdhan, Theresia, dan Rosiana. Share on XSayangnya, menjadi lansia akan menurunkan produktivitas mereka. Perubahan secara fisik dan psikologis saat lansia akan merubah penampilan, kemampuan beraktivitas, dan begadang sampai tengah malam. Padahal, penampilan dan begadang adalah dua hal yang tidak bisa dihilangkan dari waria yang sebagian besar bekerja sebagai pengamen, penata rias di salon, dan pekerja seks. Akibatnya kerentanan ekonomi, sosial, dan kesehatan pada kelompok waria akan semakin tinggi.
Perlu keseriusan untuk merangkul pertautan isu dan identitas
Melekatnya berbagai identitas pada individu yang sudah lansia perlu dilihat sebagai suatu spektrum yang harus diperhatikan. Kekosongan pemahaman terhadap status ini akan menyuburkan bentuk-bentuk kerentanan pada lansia. Lansia berpotensi untuk mendapatkan kekerasan verbal, fisik, eksploitasi secara perekonomian, kerentanan dalam akses kesehatan, dan ditelantarkan oleh pemberi perawatan atau caregiver.
Informasi yang terbatas pada kelompok lansia dan tidak disadarinya spektrum keberagaman lansia menimbulkan satu paham pada kelompok lansia. Sikap masyarakat yang menyamaratakan lansia akan berpengaruh pada stigma sampai ke konteks kebijakan pemerintah.
Ketika pemerintah mempromosikan lansia yang sehat dan produktif (successful aging), sebetulnya imaji lansia mana yang hendak pemerintah coba representasikan dan masyarakat bayangkan? Apakah hanya berlaku pada gaya hidup tertentu atau segelintir identitas lansia yang dianggap “pantas” dan “normal” di tengah masyarakat saja? Atau bisa saja suatu kebijakan lansia tersebut tidak merefleksikan sama sekali keberagaman spektrum lansia. Renungan tersebut sangatlah penting untuk mendobrak terbatasnya pemahaman masyarakat akan permasalahan lansia yang begitu kompleks dan menyuarakan representasi lain dari lansia yang kasat mata untuk dilibatkan dalam kebijakan publik.
Sikap masyarakat yang menyamaratakan lansia akan berpengaruh pada stigma sampai ke konteks kebijakan pemerintah. ~Firdhan, Theresia, dan Rosiana. Share on XContoh yang telah disebutkan dapat menimbulkan cedera, permasalahan kesehatan mental, menurunnya kualitas hidup lansia sampai ke pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia tidak menyelesaikan masalah ini dengan hanya membuat program bagi lansia yang tinggal bersama keluarga dan lansia miskin. Indonesia harus mencatut lebih serius permasalahan lansia dari WHO (World Health Organisation) dan UNFPA (United Nations Fund for Population Activities).
Menurut kedua organisasi tersebut, masyarakat tua perlu dibangun secara integratif dengan menggunakan perspektif yang fokus pada manusianya sendiri atau person-centered. Risiko yang dimiliki oleh kelompok ini terkait dengan kemampuan sensorik dan persepsi (sensory and perceptual capabilities).
Contoh menurunnya sensory and perceptual capabilities termasuk hilangnya peran sosial, kognitif, dan depresi; kerentanan terhadap sindrom penuaan; dan kekerasan yang dilakukan pengasuh lansia akibat terbatasnya pemahaman proses penuaan, penyediaan rumah yang layak, pendidikan dan peningkatan kapasitas; pekerjaan, dan kesetaraan pada layanan kesehatan.
Maka, salah satu tindakan yang direkomendasi adalah melalui pemberdayaan yang integratif menggunakan perspektif person-centered. Didorongnya bentuk integrasi antarsektor juga digunakan untuk membangun pandangan terhadap lansia yang merupakan kelompok ‘awet muda’. Perspektif itu pun seharusnya mulai diadaptasi oleh Indonesia secara komprehensif untuk mengatasi keberagaman situasi lansia.
Bacaan Lebih Lanjut
- Gullette, Margaret Morganroth (2017) Ending Ageism or How Not To Shoot Old People. New Brunswick: Rutgers University Press.
- Williamson, Camilia (2015) Policy Mapping on Ageing in Asia and The Pacific Analytical Report. Chiang Mai: HelpAge International
- World Health Organization (2017) Integrated Care for Older People: Guidelines on Community-Level Intervention to Manage Decline in Intrinsic Capacity. Geneva: World Health Organization.
Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari sudah menyelesaikan pendidikan program master di Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Ketika menempuh studi master-nya, ia turut aktif di organisasi non pemerintah yang berbicara tentang gender dan seksualitas, GAYa NUSANTARA. Keterlibatan tersebut membawanya untuk terus menggeluti isu kelompok minoritas, gerontologi dan pangan.
Firdhan Aria Wijaya telah menempuh pendidikan program master di International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam, Den Haag Belanda dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Walaupun konsentrasi pendidikannya mengkaji kajian agraria, pangan, dan lingkungan, ia tetap tekun mendaras isu-isu terkait gender dan seksualitas. Sekarang, Firdhan aktif menjalani kegiatan bersama sebuah inisiasi bernama Panggung Minoritas di Bandung.
Rosiana Evarayanti Saragih sebagai pengajar di bidang keperawatan, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Sebagai lulusan keperawatan UKSW, dia pun melanjutkan studi keperawatan komunitas di Silliman University di Filipina. Eva begitu sapaan dia, adalah juga seorang peneliti di bidang penyakit tidak menular pada berbagai etnis di Indonesia. Ia sangat tertarik menjelajahi tempat baru dan wisata makanan.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini
Artikel Terkait
Sistem Demokrasi yang tidak Demokratis: Pelajaran dari Politik Duopoli Amerika Serikat
Baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, keduanya sebenarnya memperlihatkan bahwa politik merupakan kendaraan para pemodal untuk memuluskan akumulasi kekayaan mereka melalui lobi proses pengambilan kebijakan.Vasektomi, Otonomi Tubuh Laki-laki, dan Pemberontakan Maskulinitas
Keputusan melakukan vasektomi mendobrak anggapan bahwa KB merupakan proses pendisiplinan tubuh laki-laki yang dianggap hanya valid untuk melakukan peran non-reproduksi dan kerja yang dikategorisasikan produktif.Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
Hewan juga mempunyai kesadaran, bahasa, dan budaya. Ini menantang kepongahan manusia yang selama ini digambarkan sebagai satu-satunya makhluk paling agung dan berkuasa di muka bumi.