(Kerja) Kerelawanan dan Kerentanan Belenggu Kapital
December 4, 2024Seragam Profesi untuk Anak PAUD: Edukasi atau Indoktrinasi?
December 21, 2024Catatan Pinggir
Gemulai pun Tak Pernah Cukup
oleh Aldrie Alman
Pengantar Redaksi:
Pada Catatan Pinggir ini, Aldrie Alman menceritakan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang ‘laki-laki feminin’ dan perjumpaannya dengan dunia queer sewaktu menempuh pendidikan tinggi di Indonesia. Aldrie juga menceritakan pengalamannya sebagai laki-laki gay yang hidup di Jepang dan bagaimana pergumulannya dengan isu rasial, kewarganegaraan, dan ekspektasi menjadi gay yang ‘ideal’.
‘Laki-laki mesti jantan’ dan ‘cowok tuh jangan klemar-klemer’ adalah ujaran-ujaran yang sering dikatakan kepada banyak laki-laki ‘feminin’. Ujaran itu terus diingat sebagai kata-kata yang menyetir atau mengarahkan berbagai pilihan hidup lelaki feminin.
Pada tahapan tertentu dalam hidup, tidak sedikit dari mereka yang melatih cara berbicara dengan suara berat dan berwibawa, berjalan tegap, bahkan mengubur hobi yang mungkin adalah bakat mereka, seperti menari, memasak, dan sederet kegiatan yang dianggap hanya cocok untuk perempuan
Saya adalah salah satu dari mereka. Terlahir sebagai putra bungsu dengan dua kakak perempuan, saya menjalani hidup yang selaras dengan klise ‘cowok melambai’ di Indonesia. Ditambah lagi, saya tidak punya figur kakak laki-laki yang dianggap bisa mengenalkan saya pada ‘dunia laki-laki’. Sebagai anak bungsu, saya pun terlalu dimanja oleh orang tua, sehingga membuat saya memiliki sifat yang cenderung kemayu.
Orang pertama yang memberitahu kalau saya ‘berbeda’ dengan anak laki-laki lainnya adalah kakak pertama saya. Dia menceramahi saya, “Laki-laki harus gemar berolahraga!” Main gim (game) pun kalau bisa gim olahraga, bukan gim petualangan yang suka saya mainkan. Di lingkungan keluarga, mungkin cuma perkataan kakak saya yang mengusik persepsi saya terhadap konsep gender itu sendiri. Sementara, keluarga atau kerabat yang lain menganggap saya sekadar anak manja.
Bergumul dengan Diri Sendiri
Saat duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), saya baru menyadari bahwa saya lebih nyaman berteman dengan perempuan. Saya tidak suka berolahraga, misalnya bermain sepak bola di lapangan sekolah bersama teman-teman laki-laki. Mungkin, satu-satunya hobi ‘maskulin’ yang saya punya adalah bermain gim online di warnet dekat sekolah. Saat ketahuan bolos oleh orangtua dan guru untuk bermain gim online di warnet, mereka bilang, “Ya, risiko lah anak laki-laki gini” kepada saya. Pada saat itu, saya merasa diterima sebagai laki-laki dan merasa lega. Namun, guru saya pernah menyuruh saya pindah tempat duduk agar sebangku dengan teman laki-laki, bukan dengan teman perempuan. “Masa laki-laki ngobrolnya sama perempuan? Nanti kamu jadi si Emon loh,” katanya. Tokoh Emon merupakan seorang lelaki melambai dalam film Catatan Si Boy.
Saat masuk SMA pada 2005, saya mendapat cemoohan dari seorang guru. Ibu E, guru Sosiologi kelas 1, pernah mengingatkan saya untuk berbicara dengan tegas. Saya tidak tahu yang dimaksud oleh Ibu E sebagai ‘bicara dengan tegas’. Namun, saya tahu pasti bahwa bagi Ibu E, gaya bicara saya selama ini tidak seperti murid laki-laki yang lain. Mungkin karena jarang ada teman di sekolah yang menyinggung cara bicara saya, saya pun tidak pernah merasa kalau saya berbeda dari mereka. Namun, gara-gara seorang guru yang menyinggung hal itu, saya langsung teringat pada perkataan-perkataan kakak saya mengenai sifat saya yang tidak ‘laki’.
Dulu, saya memang bukan anak yang menyukai konfrontasi (pertentangan). Saya tidak merasa ada yang perlu diperbaiki dari diri saya: cara bicara saya yang klemar-klemer tidak merugikan hidup siapa pun. Akan tetapi, saya tetap merasa sendirian, terutama saat mulai merasakan impuls (hasrat) seksual di masa yang sama saat guru menegur sifat feminin saya. Saya menyadari bahwa saya memiliki hasrat pada laki-laki dan saya tidak pernah bisa nyambung dengan pembicaraan teman-teman laki-laki saat membahas tubuh perempuan dalam konteks seksual—suatu hal yang ‘normal’ saja untuk remaja laki-laki yang mulai mengeksplorasi hasrat.
Mungkin, saya dipandang sebagai orang yang tidak tertarik dengan seksualitas oleh teman-teman saya, melainkan nerd (kutu buku yang kurang memiliki keterampilan bergaul secara sosial) yang suka bermain gim dan membaca. Saya pun tidak merasa ada yang salah dengan diri saya. Saya tidak merasa perlu ‘diobati’ karena saya memang tidak sakit. Pada saat itu, saya tidak pernah menemukan apa pun yang bisa menjelaskan sikap dan seksualitas saya yang berbeda dibandingkan teman laki-laki saya yang lain. Pendidikan seks saja tidak saya peroleh, apalagi pengetahuan tentang hasrat homoseksual.
Perjumpaan dengan Dunia Queer
Pada 2008, saya masuk jurusan Sastra Jepang Universitas Indonesia (UI). Masuknya saya pada jurusan itu tidak lepas dari konflik yang terjadi dengan orang tua. Menurut mereka, jurusan Sastra bukan untuk laki-laki, karena akan membuat mereka susah mendapat pekerjaan berpenghasilan tinggi demi menanggung hidup keluarga kelak. Walau tetap merasa tidak puas, mereka akhirnya menerima pilihan saya. Alih-alih menyelamati saya karena berhasil kuliah, mereka malah berkata, “Setidaknya UI. Nggak jelek-jelek amat lah, biarpun Sastra.” Mungkin, dari titik itulah, saya mulai menjauh dari orang tua, karena merasa tidak diapresiasi sebagai anak laki-laki.
Saat berkuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, saya mulai melihat orang-orang yang ‘berbeda’ seperti saya. Saya sempat kaget saat melihat seorang mahasiswa laki-laki jurusan lain memakai make-up tebal. Ada pula mahasiswa yang terang-terangan mengatakan dia transpuan. Bagi saya, yang saat itu tidak familiar dengan queerness, mereka mengagetkan saya. Namun, di samping rasa terkejut, saya juga merasa lega karena menyadari bahwa bukan hanya saya laki-laki yang ‘rusak’ di sini. Mungkin, saya memang tidak butuh pengobatan apa pun, karena yang sakit bukan saya, melainkan orang-orang yang merasa saya tidak cukup sebagai laki-laki.
Di kampus, saya memiliki teman-teman perempuan penggemar manga dan anime bergenre Boys Love (BL) dan beberapa dari mereka memperkenalkan karya-karya favorit mereka kepada saya. Saat itu, saya berpikir bahwa hubungan romantis dan seksual di dalam BL adalah hubungan yang sungguhan terjadi pada pasangan gay. Akhirnya, saya memproyeksikan anggapan tersebut pada hidup saya sendiri saat mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar selama satu tahun di Shizuoka University pada 2011. Saya menjalani hubungan romantis dengan laki-laki untuk pertama kalinya di sana.
Pada saat saya dan partner saya mencoba untuk berhubungan seks, referensi kami hanyalah manga BL yang tidak memperlihatkan prosedur seks gay yang ‘benar’, seperti penggunaan pelumas. Setelah ‘gagal’ bereksperimen, akhirnya kami mencari sendiri cara seks gay yang ‘benar’ itu lewat internet. Di sela-sela eksplorasi, kami mendapati bahwa gay yang didambakan adalah mereka yang bertubuh kekar dan bersikap macho. Pada saat itu, saya kembali merasa disingkirkan. Bahkan, dalam komunitas sendiri, saya masih dianggap belum cukup.
Antara Ras, Kewarganegaraan, dan Menjadi Gay yang ‘Ideal’
Pada 2018, saya kembali mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan S2 dan S3 di Jepang, tepatnya di Kobe University. Pada masa itu, saya sudah memiliki kesadaran yang lebih kritis daripada sebelumnya. Sikap kritis saya pada konsep gender dan seksualitas mengantarkan saya kepada komunitas queer yang lebih sehat. Selain itu, aplikasi kencan juga mulai populer dan, tentu saja, saya memakainya mumpung sedang di Jepang. Aplikasi kencan yang saya gunakan menunjukkan tendensi maskulinitas hegemonik yang sudah sering saya temui di konten-konten gay di internet: tubuh kekar dan facial hair (rambut di wajah) yang menjadi atribut tipe gay idaman di Jepang. Orang Jepang menyebutnya ikanimo-kei, suatu istilah yang menunjukkan bentuk penolakan mereka pada gay feminin. Istilah itu sekaligus merupakan bentuk pemujaan pada gay kulit putih.
Suatu kali, saya pernah berbohong tentang kewarganegaraan saya demi mendapatkan teman kencan. Saya mengatakan bahwa saya berasal dari Singapura, karena sebelumnya saya pernah di-ghosting (ditinggalkan secara diam-diam) oleh seorang gay setelah ia tahu bahwa saya orang Indonesia. Menjadi gay Asia di Jepang ternyata lebih rumit dari dugaan saya. Jika kamu gay dari Asia, maka dari negara mana? Kalau negara maju seperti Singapura, orang Jepang tidak merasa cemas, karena Singapura bukan negara asal orang-orang Asia ‘bermasalah’.
Pengalaman-pengalaman saya sebagai laki-laki gemulai di Indonesia dan saat menjadi diaspora di Jepang mengajarkan saya bahwa di luar ruang normatif (hubungan non-cis-heteroseksual) sekali pun, maskulinitas hegemonik masih didambakan. … Share on XPerasaan terpojok dalam dunia gay di Jepang tidak hanya dipengaruhi oleh performa tubuh saya yang kurang maskulin dan isu kewarganegaraan, tetapi juga ras. Saya memiliki teman-teman gay berkulit putih yang dekat dengan saya karena kami sesama mahasiswa pascasarjana di lab saya. Satu hal yang saya sadari adalah setiap kali kami menghabiskan waktu bersama (hangout) ke bar atau klab gay, mereka sering dihampiri oleh gay lokal. Saya mengibaratkan mereka seperti jus yang tumpah dan langsung dikerubungi semut. Saya yang terlihat tidak terlalu berbeda dengan orang lokal seringkali tidak dipedulikan. Baru setelah teman-teman gay kulit putih saya berbicara kepada saya dalam bahasa Inggris, para gay lokal itu mulai menganggap saya ada karena, “Oh, ternyata dia berbahasa Inggris! Keren!”
Pengalaman-pengalaman saya sebagai laki-laki gemulai di Indonesia dan saat menjadi diaspora di Jepang mengajarkan saya bahwa di luar ruang normatif (hubungan non-cis-heteroseksual) sekali pun, maskulinitas hegemonik masih didambakan.
“Gemulai pun tak akan pernah cukup!”
Pikiran seperti itu yang kerap timbul saat saya bercermin dan berdandan sebelum keluar rumah untuk memperlihatkan diri ke orang lain. Saya merasa tidak akan pernah cukup, karena hal-hal yang membuat saya cukup tidak akan pernah saya dapatkan jika saya memilih untuk hidup sebagai diri sendiri.
Aldrie Alman (Aldrie) adalah seorang dosen di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pengalaman hidup sebagai minoritas di Indonesia dan di Jepang, membuatnya terus berefleksi mengenai identitasnya yang akhirnya menumbuhkan minatnya untuk menekuni bidang Cultural Studies. Aldrie menjalani studi pascasarjananya di Kobe University, Jepang dan menulis disertasi autoetnografi dengan fokus pada queer migration dan digital citizenship. Penelitian Aldrie menekankan interseksionalitas dalam pembentukan identitas minoritas. Oleh karena itu, di dalam kuliah-kuliahnya, ia mengenalkan isu-isu imigran dan minoritas lain kepada para mahasiswanya dan mengajak mereka untuk memikirkan isu tersebut dengan pendekatan interseksional. Aldrie dapat dihubungi melalui Instagram @aldriead
Artikel Terkait
Gemulai pun Tak Pernah Cukup
Pada Catatan Pinggir ini, Aldrie Alman menceritakan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang ‘laki-laki gemulai’ dan perjumpaannya dengan dunia queer yang kompleksMeneroka Perjalanan Ulang-Alik dalam Menjadi ‘Laki-Laki’
Di Catatan Pinggir ini, Faris Alaudin menceritakan pengalamannya dibesarkan sebagai laki-laki dalam ruang-ruang domestik yang setara.Tentang ‘Petuah Simbah’ dan Pilihan Hidup Berkeluarga Rasa Kesalingan
Di Catatan Pinggir kali ini, Rofi menceritakan kehidupannya berkeluarga dengan penuh rasa kesalingan