Musik, Murakami, dan “Ma”
January 30, 2018Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
May 30, 2018Makna
Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari pemilihan gubernur DKI Jakarta yang lalu, dimana wacana agama mendominasi proses pemilihan umum, hingga menguatnya ekspresi masyarakat adat dan istilah warga lokal dalam kehidupan sehari-hari, dan arena kebijakan publik di berbagai daerah. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?
Bertolak dari pemikiran Karl Marx, seorang filsuf Jerman, kita dapat menilai bahwa menguatnya politik identitas ini berhubungan dengan yang namanya kesadaran (conciousness). Dalam konteks ini, kesadaran memiliki peran yang sentral sebab ia menentukan persepsi kita, baik dalam cara kita memandang diri sendiri, maupun cara kita memandang dunia. Termasuk di dalam kesadaran diri ini adalah apakah kita merasa dunia sudah adil atau justru diwarnai dengan ketidakadilan.
Marx sendiri kemudian memandang bahwa ada banyak kesadaran palsu yang akhirnya membuat diri terpenjara dan tertindas. Oleh karena itu, menjadi tugas ilmu pengetahuan untuk membantu diri agar sadar dan tergerak untuk lepas dari ilusi-ilusi yang melanggengkan penindasan.
Pandangan Marx ini dalam perjalanannya dikembangkan oleh salah satu pengikutnya, nya yakni Louis Althusser, filsuf dari Perancis. Althusser memandang bahwa harapan untuk membebaskan kesadaran merupakan sesuatu yang mustahil sebab kesadaran kita sedari awal sudah dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial yang telah ada sebelum kita lahir. Sebagai contoh, bagaimana kita bisa menganggap kesadaran kita mandiri jika dalam kenyataannya sejak kecil kita sudah ditanamkan dengan nilai-nilai yang dianggap ideal oleh keluarga, komunitas, dan masyarakat. Bahkan ide tentang kebebasan dan perlawanan sudah ada dan dipertahankan oleh masyarakat sebelum kita lahir. Lantas, apakah ini artinya kesadaran diri akan selalu tunduk di bawah aturan masyarakat?
Pada saat kita memutuskan untuk menata hidup menurut versi kita sendiri, di titik itulah kita sebenarnya sedang mempraktekkan kesadaran diri yang otentik. ~ Dana Hasibuan Share on XFilsuf Perancis, Michel Foucault, yang merupakan murid langsung Althusser, justru melihat itu sebagai kabar gembira dan tidak perlu dilihat sebagai jalan buntu. Alasannya sederhana saja, fakta sosial bahwa diri akan selalu dibentuk dan terikat oleh kekuatan eksternal menunjukkan bahwa kesadaran diri manusia yang hakiki sebenarnya adalah kekosongan atau dalam istilah Foucault ‘subjek yang hampa’ (decentred subject). Segala esensi yang selama ini kita anggap merupakan bawaan dari lahir ternyata hanya merupakan konstruksi sosial yang kita ulangi terus menerus hingga kemudian menimbulkan efek seolah-olah datang dari kesadaran diri kita sendiri. Selain itu, di mata Foucault, meski di permukaan institusi dan struktur sosial yang membentuk kesadaran diri terkesan efisien, menyeluruh, dan berkesinambungan, pada prakteknya merupakan kombinasi dari jejaring relasi yang kompleks dan bervariasi sehingga sebenarnya sangat rentan dan mudah berubah.
Jadi, ketika berbicara tentang perjuangan untuk menemukan kesadaran diri yang otentik, kita tidak perlu membayangkan sesuatu yang bersifat abstrak dan besar. Bertolak dari fakta bahwa yang hakiki adalah kekosongan, kita sebenarnya dapat membentuk ulang kesadaran dan dunia sosial kita sendiri dengan cara-cara yang kreatif tanpa harus meniru pola-pola yang lama. Pada saat kita memutuskan untuk menata hidup menurut versi kita sendiri, di titik itulah kita sebenarnya sedang mempraktekkan kesadaran diri yang otentik.
Penting untuk digarisbawahi bahwa Foucault tidak mengatakan kita dapat keluar atau melarikan diri dari struktur sosial. Ke manapun kita pergi, kita pasti masih berada di dalam sistem. Hanya saja, cara kita melangkah yang membedakan antara kesadaran diri yang diatur oleh kekuasaan dengan kesadaran diri yang muncul dari hasil pemikiran kritis.
Pandangan Foucault ini seringkali menuai perdebatan sengit karena kesadaran diri dianggap sebagai efek dari praktek sosial yang diulang secara terus-menerus. Di sini, lagi-lagi harus ditegaskan bahwa signifikansi kesadaran diri tidak berkurang meskipun dianggap sebagai efek. Kesadaran diri tetap penting, hanya saja, di tangan Foucault, ia tidak menjadi elemen utama untuk memahami kehidupan manusia dalam masyarakat.
Artikel Terkait
Kesadaran Diri
Akhir-akhir ini kita banyak dihadapkan dengan pertanyaan sulit mengenai makna identitas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena-fenomena sosial politik yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini telah mendorong berbagai pihak untuk berpikir keras apa sebenarnya yang menyebabkan kuatnya sentimen berbasis identitas? Dan bagaimana cara kita menjelaskan fenomena ini?Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.Agensi: Kemampuan berpikir dan bertindak
Hidup itu penuh dengan pilihan. Rangkaian pilihan dalam kehidupan kita merupakan warisan dari nenek moyang yang sudah mengkristal dalam keluarga, pertemanan, masyarakat, bahkan negara.