Cari Suara dengan Agama: Apa, Kenapa, Harus Bagaimana
December 16, 2020Memahami dan Memaknai Minoritas
December 17, 2020Makna
Fungsi Agama di Masyarakat
oleh Listya Ayu Saraswati
Selama hidup sebagai manusia, kita punya obsesi untuk mencari pemaknaan tentang kehidupan. Manusia akan menghabiskan banyak waktu berpikir untuk bisa benar-benar mengerti tentang alam semesta dan tujuannya diciptakan. Obsesi ini yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain.
Menurut filsuf Aristoteles, dalam akar pemikiran dan intelektual manusia terdapat ide-ide yang selalu mendominasi dan pada akhirnya membatasi perkembangan intelektualnya sendiri, yaitu konsep tentang waktu, ruang, klasifikasi, bilangan, sebab, dan substansi. Ide-ide dominan ini bersifat paling universal, sehingga intelektual manusia tidak bisa melampauinya.
Manusia tidak dapat memikirkan objek yang tidak berada dalam ruang dan waktu, tidak memiliki klasifikasi dan nomor, tidak memiliki wujud, dan sebagainya. Dari titik ini, muncul pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang bersifat transendental, abstrak, dan tidak stabil tapi sangat berpengaruh. Manusia tidak bisa membayangkan entitasnya, tapi keberadaannya tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia dan intelektualitasnya.
Agama dan ide-ide keagamaan menjembatani obsesi spiritual manusia untuk bisa memahami tuhan terhadap diri dan dunianya. Emile Durkheim dalam bukunya tahun 1912 mengatakan praktik-praktik yang secara kolektif dimaknai sakral dan khusus (sacred) dibedakan dengan praktik lain yang bersifat umum dan sehari-hari (profane) yang pada akhirnya membentuk konsep agama dalam peradaban manusia. Konsep ini bisa berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Contohnya, masyarakat tertentu menganggap sebuah bangunan sebagai tempat untuk sembahyang yang sakral dan suci, sedangkan kelompok masyarakat lain menganggap bangunan tersebut sebagai tempat biasa yang memiliki atap untuk berlindung dari panas dan hujan.
Karenanya, agama dapat dimaknai sebagai sistem kepercayaan dan praktik tentang apa yang dianggap sakral – hal-hal yang dipisahkan dan dilarang – dan semua yang berhubungan dengan penyembahannya; kepercayaan dan praktik tersebut menyatukan sekelompok masyarakat dalam komunitas moral dan spiritual.
Agama, dalam satu atau banyak bentuknya, telah ditemukan sejak konsep peradaban dan masyarakat pertama kali muncul. Hal ini dibuktikan dari penemuan-penemuan arkeologi seperti benda-benda ritual kuno, pemakaman seremonial, dan artefak lainnya yang berhubungan dengan agama sudah ada sejak peradaban manusia pertama kali muncul. Banyak konflik sosial dan bahkan perang sebagai akibat dari perselisihan agama. Untuk memahami suatu kebudayaan, kita harus mempelajari agamanya.
Namun begitu, agama tidak hanya dapat dimaknai dari nilai dan praktik sakralnya saja. Agama juga perlu dibahas dari sudut pandang yang lebih ‘membumi’, yaitu dari sudut pandang sosial dan sosiologi. Apa fungsi agama dalam masyarakat?
Kita akan bahas fungsi agama dalam masyarakat dari pemikiran sosiologis Emile Durkheim dan Max Weber. Durkheim mengatakan bahwa agama sebagai pondasi kehidupan sosial. Sedangkan, Weber memandang agama sebagai sarana untuk mengajarkan etos kerja kepada manusia modern.
Agama atau religion dalam bahasa Inggris berakar dari kata Latin religio, yang dibuat sakral, dan religare, yang disebut pengikat atau tanggung jawab. Dari akar kedua kata tersebut, Durkheim, sosiolog pertama yang menganalisis agama dalam kaitan dengan dampak sosialnya, memahami agama sebagai sesuatu yang sangat sosial. Ia percaya bahwa agama adalah tentang komunitas dan masyarakat. Agama mengikat sekelompok orang bersama-sama (social cohesion), menunjukkan perilaku yang konsisten dan dapat diterima (social control), dan memberikan naungan bagi orang-orang malang yang sedang membutuhkan dukungan moral dan spiritual (meaning and purpose).
Agama dalam masyarakat hadir dalam bentuk representasi religiusitas. Dengan kata lain, representasi kolektif tentang realita dan cara bertindak yang diharapkan dapat membangkitkan, mempertahankan, atau menciptakan kondisi mental dan spiritual tertentu dalam kelompoknya.
Misalnya, kita sering melihat para pemimpin menggunakan narasi, simbol, dan tradisi keagamaan untuk memberikan makna yang lebih baik bagi visi dan kehidupan bermasyarakat yang sejalan dengan religiusitas masyarakatnya. Di Indonesia, pemimpin yang terpilih akan disumpah secara agama dan di atas kitab suci untuk melegalkan kekuasaannya. Representasi tersebut berhasil menimbulkan kepercayaan di tengah masyarakat. Jadi, agama bisa menjadi urusan sosial jika perilaku, keputusan, dan norma yang secara kolektif dipercayai dalam masyarakat berdasarkan dari apa yang diajarkan agama.
Sumber agama dan moralitas adalah pola pikir kolektif masyarakat dan kepercayaan bahwa ikatan kohesif tatanan sosial dihasilkan dari nilai-nilai kolektif yang tercipta dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut untuk itu perlu dipertahankan untuk menjaga stabilitas sosial.
Agama juga disebut sebagai ‘semen sosial’ yang bisa menyatukan masyarakat, budaya, dan ilmu pengetahuan. Keyakinan agama membuka peluang untuk manusia bisa berpikir di luar penjelasan duniawi dan fakta yang dikemukakan oleh ilmu pengetahuan alam. Keyakinan agama pun secara parsial ‘meramalkan’ kehidupan masa depan yang bisa muncul sebagai konsekuensi perilaku di masa sekarang. Durkheim berargumen bahwa keyakinan agama bertumpu pada pengalaman nyata yang nilai demonstratifnya, meskipun berbeda, tidak kalah dengan ilmu pengetahuan empiris. Keyakinan agama menjadi pengetahuan yang bisa melampaui ilmu pengetahuan empiris karena realitas yang muncul dari pengalamannya adalah realitas yang ada dan dikuatkan dalam masyarakat. Menurutnya: masyarakat tidak dapat membuat pengaruh keyakinan agama terasa semakin kuat jika tidak diwujudkan dalam tindakan, dan tindakan tidak akan nyata jika individu yang percaya (believers) tidak berkumpul dan bertindak bersama. Kita bisa mengambil contoh dari beberapa peristiwa besar yang terjadi di Indonesia dan dunia yang awalnya disebabkan karena ada pergerakan atau tindakan dari kelompok agama.
Tapi, apa yang akan terjadi jika tingkat kepercayaan terhadap agama tersebut berkurang? Pertanyaan ini mengarahkan Durkheim untuk mengandaikan bahwa agama bukan hanya ciptaan sosial tapi juga sesuatu yang mewakili kekuatan dan kekuasaan sosial. Saat orang-orang merayakan hal-hal yang sakral terkait dengan kepercayaannya, mereka sebenarnya sedang merayakan kekuatan sosial mereka dan memenuhi kebutuhan sosial mereka. Contohnya, perayaan berbasis agama juga dimaknai sebagai selebrasi sosial yang bisa dirayakan oleh umat manapun dan siapapun, bahkan orang-orang yang tidak percaya (non-believers), untuk bisa berkumpul dan memunculkan solidaritas sosial dalam komunitas.
Saat orang-orang merayakan hal-hal yang sakral terkait dengan kepercayaannya, mereka sebenarnya sedang merayakan kekuatan sosial dan memenuhi kebutuhan sosial mereka. ~ Listya A. Saraswati Share on XHal tersebut terjadi karena di dalam ritual dan praktik keagamaan terdapat fungsi penyatuan, kontrol, dan tujuan kemasyarakatan. Jenis analisis ini menjadi dasar dari perspektif fungsionalis dalam sosiologi yang menjelaskan keberadaan dan keberlangsungan agama atas dasar fungsi untuk mempersatukan masyarakat. Jadi, dengan alasan ini, meskipun agama tradisional menghilang, masyarakat belum tentu bubar.
Jadi, bagaimana dengan masa depan agama dalam masyarakat? Jika kita kembali pada pernyataan sebelumnya: agama telah menelisik masuk ke dalam lapisan kehidupan masyarakat, mulai dari politik sampai ilmu pengetahuan, Durkheim mengatakan bahwa keluhuran dalam agama akan kekal dan bertahan. Masyarakat akan kembali pada sentimen kolektif yang membentuk kesatuan sosial dan mengokohkan kepribadiannya sebagai manusia yang mulia.
Sementara itu Weber, seorang sosiolog dan ekonom asal Jerman, percaya agama adalah pemicu perubahan sosial. Pemikiran ini muncul dari hasil pengamatan dan analisisnya terhadap efek keyakinan agama di dalam kegiatan ekonomi komunitas Protestan taat di Belanda, Inggris, Skotlandia, dan Jerman awal abad 20. Ia percaya bahwa ajaran agama Protestan memunculkan etos kerja dan mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi kapitalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional Kristiani yang anti-materialis.
Ajaran agama merefleksikan etos kerja manusia modern, seperti kerja keras dan menabung bukan hanya panggilan, tapi juga kewajiban seorang individu agar lebih mulia. Hal ini sejalan dengan ide-ide kapitalisme dan turut membangun peradaban modern. Walaupun bertentangan dengan ajaran tradisional Gereja Katolik di mana kemiskinan adalah kebajikan dan kerja hanyalah untuk memelihara hidup individu dan komunitas yang sifatnya fana, sekte Protestan melihat kerja keras sebagai tujuan spiritual itu sendiri.
Bekerja keras merupakan perwujudan pertapaan untuk melepaskan keduniawian dan mempertahankan dari godaan dan gangguan yang membuat kehidupan akan menderita dan mengalami keraguan agama. Dengan begitu, kesuksesan material dan akumulasi kekayaan yang stabil dilihat sebagai upaya luhur untuk mencapai rahmat Tuhan. Weber berpendapat etos kerja dan cara hidup yang berkembang pada keyakinan tersebut menjadi faktor untuk menciptakan kondisi dan realita masyarakat untuk terus berkegiatan ekonomi dan menumbuhkan sistem modal dan industri.
Hal-hal yang diragukan dalam pemikiran ini adalah apakah rasionalisasi praktik bisnis kapitalis dan tenaga kerja (labour) akan menghilangkan tujuan-tujuan keagamaan. Pada bagian akhir buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menuliskan keresahannya tentang peradaban manusia modern terhadap agama sebagai ‘sangkar besi’. Metafora ini dipilih untuk menggambarkan kondisi kemanusiaan modern dalam masyarakat yang terorganisir secara teknis, rasional, dan efisien secara ekonomi, namun melupakan tujuan spiritual dan tujuan hidup lainnya.
Pemikiran Durkheim dan Weber menunjukkan bahwa agama bukan hanya persoalan transendental yang mengaitkan Tuhan dan spiritual manusia, tapi juga memiliki fungsi dalam sosial kemasyarakatan. Agama dan praktik-praktik sakralnya dilihat sebagai penyatuan, kontrol, dan motivasi untuk menjadi komunitas yang lebih baik. Etos kerja yang muncul dari ajaran agama memberikan motivasi ekonomi lebih besar dan bahkan membangun peradaban manusia modern.
Bacaan Lebih Lanjut
Bacaan Lanjutan Jones, A.R. (1986). Emile Durkheim: An Introduction to Four Major Works. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc., 1986. Pp. 115-155. Retrieved December 09, 2020, from https://durkheim.uchicago.edu/Summaries/forms.html Weber, M. (1930). The Protestant ethic and the spirit of capitalism. Scribner/Simon & Schuster. Durkheim, E., Thompson, K. (2005). Religion and Knowledge. In Readings from Emile Durkheim (pp. 85-98). London: Routledge. |
Listya Ayu Saraswati saat ini berprofesi sebagai pengajar dan peneliti di BINUS University Jakarta. Ia lulus dari program Magister Departemen Susastra (Cultural Studies) FIB UI tahun 2014, dan sampai sekarang masih mengumpulkan nyali untuk melanjutkan ke jenjang program Doktoral. Bidang yang ia tekuni cukup bervariasi, mencakup isu gender dan agama, pop cultures – terutama K-pop dan isu seputar fandom, sampai pada komunikasi lintas budaya dalam sektor bisnis. Penelitian terbarunya adalah isu aktivisme sosial yang sedang gencar dalam fandom K-pop.
Artikel Terkait
Mungkinkah Teologi Baru Berkembang di Tanah Air?
Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan untuk memahami Tuhan dan ajaran keagamaan melalui penalaran intelektual. Artikel ini membahas bagaimana setiap agama memaknai teologi secara berbeda-beda dan ada upaya untuk memperluas maknanya untuk mengikuti perkembangan zaman.Memahami dan Memaknai Minoritas
Walau Indonesia adalah negara yang beragam, masih banyak orang yang merasa hidupnya terancam. Di Catatan Pinggir ini, Dyah Kathy, seorang analis untuk studi konflik di Jakarta, berbagi tentang pengalamannya menghadapi dan mengkaji kekerasan berbasis agama.Fungsi Agama di Masyarakat
Agama dan ide-ide keagamaan berfungsi sebagai jembatan bagi obsesi spiritual manusia untuk bisa memahami tuhan terhadap diri dan dunianya. Artikel ini melihat bahwa agama juga perlu dibahas dari sudut pandang yang lebih ‘membumi’, yaitu dari sudut pandang sosial.