Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
October 23, 2023Dari Manakah Makanan Kita Berasal?: Refleksi Kritis tentang Pangan
October 30, 2023Catatan Pinggir
Memaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
oleh Elvira Rumkabu
Pengantar Redaksi:
Papua punya sejarah panjang separatisme (gerakan untuk memisahkan diri dari Indonesia) dan kekerasan yang terus berulang. Peristiwa itu membuat banyak orang Papua, terutama perempuan, meragukan sistem politik Indonesia. Bagi mereka, terlibat secara bermakna dalam sistem politik khas Indonesia adalah kesia-siaan belaka. Elvira Rumkabu (Ira) mencoba menyulut api optimisme para perempuan Papua. Baginya, kebijakan menyangkut nasib perempuan Papua yang dirumuskan dalam nuansa maskulin itu harus direbut. Caranya adalah dengan menggunakan berbagai saluran untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis
“Sa tidak percaya dengan Pemilu (Pemilihan Umum), parpol atau 30 persen kursi yang dong bilang untuk perempuan. Menurut saya, ini hanya pembodohan saja untuk kita orang Papua. Karena tidak mungkin kita bisa ada dalam sistem itu dan mengubah keadaan di atas tanah ini,” ucap seorang aktivis perempuan Papua dalam sebuah pertemuan yang membahas strategi peningkatan partisipasi politik perempuan.
Pernyataan itu bukan sekadar sikap apatis atau ketidakpercayaan terhadap pesta demokrasi lima tahunan yang sifatnya elitis dan digelar secara nasional. Narasi tersebut adalah sebuah gugatan dari seorang perempuan Papua yang sedang berefleksi kritis tentang dirinya, identitasnya, dan pemaknaannya sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Melalui refleksinya, saya pun bertanya, “Apakah masih perlu mendorong partisipasi perempuan Papua secara bermakna dengan harapan kita bisa sedikit saja mengubah keadaan menjadi lebih baik?”
Kekerasan Berulang dan Rasa Tidak Percaya pada Indonesia
Saya mulai mencari jawaban atas pertanyaan saya sendiri dengan melihat apa yang terlihat. Perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua tahun 2019 menunjukkan ada 8 dari total 55 kursi yang diduduki oleh perempuan. Jika kita membagi perolehan kursi berdasarkan kategori perempuan Orang Asli Papua (OAP) dan perempuan bukan Orang Asli Papua (non-OAP), ada sebanyak 4 dari 8 kursi yang diisi oleh keterwakilan perempuan asli Papua. Artinya, hanya ada 7% representasi perempuan asli Papua dalam badan legislatif.
Bahkan, apabila kita melirik kembali komposisi anggota legislatif perempuan di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua, terdapat 6 kabupaten yang tidak memiliki perwakilan perempuan. Meskipun sangat mengkhawatirkan, bagi banyak perempuan Papua, statistik itu belum cukup bisa menjelaskan ketidakpercayaan mereka terhadap sistem politik di Indonesia.
Perempuan Papua adalah bagian dari identitas kolektif bernama Papua yang sejak lama mengalami kekerasan di dalam Indonesia. Perbedaan identitas Papua dan Indonesia seharusnya tidak menjadi masalah, karena perbedaan itu semestinya menyatukan, sebagaimana ungkapan Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi tetap satu). Akan tetapi, situasi di Papua jauh lebih kompleks daripada ‘sekadar’ keberagaman.
Konflik politik yang diikuti oleh marginalisasi, eksploitasi, rasisme, kekerasan dan pelanggaran HAM, serta ketimpangan sosial-ekonomi telah membuat perempuan Papua memberikan pemaknaan yang lebih substansial terhadap Indonesia, termasuk di dalamnya adalah terhadap politik elektoral dan Pemilu.
Dalam konteks konflik berkepanjangan itu, perempuan menjadi korban yang mengalami penderitaan berlapis. Pada 2017, organisasi Papua Working Group dan AJAR mengeluarkan laporan situasi kekerasan yang dialami oleh perempuan Papua. Mereka mengalami kekerasan yang termanifestasi dalam rumah tangga serta konflik lahan dan sumber daya alam. Mereka juga mengalami peminggiran akibat kekerasan yang dilakukan negara dalam beragam bentuk, seperti penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penembakan, kekerasan seksual, penyiksaan dan pembunuhan terhadap suami atau anggota keluarga lainnya, serta perusakan properti.
Di beberapa wilayah konflik bersenjata, jumlah pengungsi yang kebanyakan adalah perempuan dan anak juga jumlahnya terus bertambah. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sumber penghidupannya karena situasi keamanan yang semakin mengkhawatirkan. Akibatnya, ribuan generasi muda Papua tidak memperoleh haknya untuk bersekolah.
Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang eksploitatif dan tidak ramah terhadap manusia Papua juga telah menimbulkan tergerusnya ruang penghidupan, menimbulkan eksklusi, dan menyebabkan tingginya kematian ibu dan anak. Tragedi itu belum lagi ditambah dengan masalah kerentanan pangan, kemiskinan, dan ketidakadilan ekologis yang menempatkan perempuan dalam situasi keretanan berlapis.
Kekerasan langsung maupun secara implisit terjadi melintasi dimensi ruang, waktu, dan generasi. Dengan konteks dan dinamika seperti itu, bagaimana mungkin perempuan Papua dapat menaruh kepercayaan terhadap sistem yang justru melanggengkan opresi atas tubuh, diri, identitas, dan keberlanjutan komunitasnya?
Kenyataan itu meyakinkan saya bahwa pandangan kami, perempuan Papua, terhadap politik dan Pemilu akan berangkat dari refleksi tentang siapa ‘diri’ kami di dalam Indonesia serta bagaimana Indonesia menerima dan memaknai ‘diri’, ‘identitas’ dan ‘keberadaan’ kami.
Kesadaran Kritis untuk Berpolitik
Bagi sebagian perempuan Papua, menaruh harapan pada Pemilu maupun berpartisipasi dalam politik merupakan pilihan yang sulit. Keterhimpitan karena patriarki dan opresi oleh negara sangat memengaruhi kepercayaan diri, kapasitas, dan keyakinan kami terhadap sistem politik Indonesia. Hal itu, pada akhirnya, juga turut memengaruhi kemampuan kami untuk mengartikulasikan keadilan dan mengupayakannya melalui kegiatan advokasi.
Meskipun demikian, menurut saya, justru karena perempuan Papua teropresi, maka kita mesti mengupayakan dengan segala cara serta bertungkus lumus memperjuangkan martabat sebagai perempuan, warga negara, dan juga manusia yang memiliki kesamaan hak untuk hidup secara adil dan sejahtera di negara ini. Salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan berpartisipasi dalam politik.
Tentu saja, tidak mudah bagi perempuan Papua untuk masuk ke dalam sistem politik. Namun, kita perlu mengingat bahwa ragam kekerasan di Papua justru terjadi berkat kebijakan bercorak maskulin yang didominasi oleh pengambil kebijakan yang tidak memiliki keberpihakan pada perempuan. Maka dari itu, terus menerus mengambil jarak dari dapur pembuatan kebijakan, menurut saya, bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Kita tidak bisa hanya menunggu perubahan datang dengan sendirinya, sementara kehancuran terus-menerus terjadi di Papua.
Oleh karena itu, kesadaran kritis perempuan Papua dalam mengupayakan keadilan secara politik harus didorong bersama-sama. Setidaknya, ada empat hal yang bisa dilakukan.
Pertama, meskipun kita hidup dalam sistem politik yang porak-poranda, selalu ada celah dan peluang yang bisa kita manfaatkan. Hal yang perlu kita lakukan adalah mengidentifikasi regulasi dan peraturan pemerintah yang dapat memberikan ruang bagi aktualisasi agenda politik perempuan. Di Papua, salah satu peluang tersebut tercermin dengan adanya jalur pengangkatan Orang Asli Papua sebagai anggota legislatif dari representasi adat, agama, dan perempuan, sesuai dengan ketentuan UU Otonomi Khusus. Ada 254 kursi pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2024 mendatang yang disediakan dan, 30% di antaranya dialokasikan untuk perempuan.
Kedua, dengan melihat peluang yang ada, perempuan Papua harus segera mengidentifikasi diri, kekuatan, kelemahan, tantangan, peluang, dan kebutuhannya. Itu akan menjadi modal dasar dalam mendorong agenda politik perempuan dan membantu membangun arah advokasi yang lebih strategis, sesuai dengan sumber daya yang perempuan miliki. Salah satu peluang yang dapat dipertimbangkan adalah banyaknya jumlah pemilih perempuan di Papua yang bisa menjadi lumbung suara dan sumber daya politik strategis untuk mendorong keterwakilan.
Ketiga, perempuan Papua harus membangun sistem pendukung yang solid dan jaringan perempuan feminis di Papua harus dibentuk secara lebih inklusif. Itu bisa dilakukan dengan memastikan adanya keberagaman suku, agama, gender, kepentingan, termasuk kelompok minoritas yang sering terpinggirkan. Harapannya, inklusivitas itu bisa menjadi kekuatan untuk mendorong terpenuhinya kebutuhan semua kelompok, tanpa ada yang ‘tertinggal’.
Perempuan Papua sendirilah yang harus mengkonstruksikan narasi politik, kebutuhan, dan kepentingannya serta memastikan agenda politiknya terwujud. ~ Elvira Rumkabu Share on XKeempat, konteks opresi dan kekerasan berulang yang terjadi pada perempuan Papua seharusnya menjadi beban politik bersama seluruh warga negara Indonesia. Masyarakat Indonesia yang masih percaya pada kemanusiaan, keadilan, dan hak berpolitik yang setara harus bersolidaritas ikut memberikan perhatiannya pada permasalahan Papua. Itu bisa menjadi modal sosial yang menjanjikan bagi perjuangan politik perempuan Papua.
Menutup refleksi singkat ini, saya percaya bahwa ruang dan partisipasi politik adalah hak setiap orang, termasuk perempuan Papua. Dalam situasi opresif seperti di Papua, ruang pembuatan kebijakan yang maskulin harus direbut. Perempuan Papua sendirilah yang harus mengkonstruksikan narasi politik, kebutuhan, dan kepentingannya serta memastikan agenda politiknya terwujud. Momentum Pemilu bisa menjadi pintu masuk untuk memulai perjuangan itu.
“It took me quite a long time to develop a voice, and now that I have it, I am not going to be silent.”
— Madeleine Albright
Elvira Rumkabu (Ira) adalah seorang akademisi feminis Papua yang sangat tertarik dengan isu terkait Papua, resolusi konflik, studi perdamaian, perubahan sosial, hak masyarakat adat, dan keberagaman dan keadilan gender. Ia percaya bahwa menulis adalah satu cara emansipatif untuk membebaskan diri dan pikiran dari keterjajahan. Ira dapat dihubungi melalui email: [email protected]