Memahami dan Memaknai Minoritas
December 17, 2020Zacky Umam
January 7, 2021Makna
Mungkinkah Teologi Baru Berkembang di Tanah Air?
oleh Zacky Umam
Dari sisi bahasa, ‘teologi’ berarti pengetahuan atau ilmu tentang ketuhanan. Istilah umumnya mengacu pada cara atau upaya manusia untuk memahami Tuhan dan ajaran keagamaan melalui penalaran intelektual.
Cara dan upaya pemahaman itu tidak tunggal, melainkan beragam bahkan di dalam tradisi satu agama sekalipun. Maka, meski pemakaiannya umum, pada dasarnya teologi merefleksikan pluralitas pemahaman manusia, terutama di lingkungan kaum terdidik, seperti ulama, pendeta, dan sejenisnya, atas realitas ketuhanan dan keagamaan.
Setiap agama punya kecenderungan teologis berbeda. Bahkan di dalam satu tradisi agama tertentu, teologi berkembang menjadi bermacam-macam. Teologi ini pada dasarnya dikembangkan sesuai dengan aliran atau mazhab tertentu di dalam satu agama. Di dalam satu aliran atau mazhab pun, muncul banyak varian pemikiran teologis yang tidak sama, meski ada titik temu yang menyatukan semuanya.
Contohnya, walaupun tradisi besar Sunni dan Syiah mewakili dua kecenderungan teologis yang berbeda, keduanya sama-sama memiliki kepercayaan terhadap konsep keesaan Allah (tauhid) dan datangnya hari akhir. Teologi keduanya pun banyak yang bernuansa filosofis. Istilah ‘ilm al-kalam atau kalam yang biasa diterjemahkan sebagai teologi Islam rasional/filosofis berkembang pesat dari pertentangan dengan beberapa teologi Kristen Timur era purba akhir (sekitar abad ke-3 hingga ke-8/9 Masehi) hingga ke pengembangan ragam filsafat. Sejak abad ke-12, kalam identik dengan bobot filosofis yang rumit. Dalam berbagai variannya, ini berkembang hingga akhir abad ke-19 sebelum wacana dan pengaruh modernitas mengubah wacana teologis dalam Islam.
Beberapa agama, misalnya dalam tradisi agama Ibrahimi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, punya sisi persamaan, walaupun perbedaan teologisnya juga bisa direntang. Misalnya, konsep tentang kitab suci, kenabian, wahyu, hari akhir, dan keselamatan bisa dicari titik temunya, tapi perbedaan interpretasi mengenai masing-masing ini pun bisa direntang secara luas. Rata-rata, teologi yang menjadi perbincangan di dunia akademik lebih banyak mengacu pada tradisi agama Ibrahimi ini, terutama karena umat beragama di Indonesia memeluk Islam dan Kristen yang menjadi dua agama berpengaruh dalam perjalanan kebangsaan kita di masa modern.
Kita tidak bisa memaksakan teologi dalam pengertian agama Ibrahimi ke dalam agama ‘Timur’ seperti Hindu dan Buddha, dua agama besar yang kosakata, istilah, serta pemahaman intrinsiknya sebetulnya masih sangat mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Hindu dan Buddha punya pemahaman teologis yang berbeda. Agama atau kepercayaan lain yang lebih kecil, dilihat dari pemeluknya, juga tidak selalu punya konsep yang sama, misalnya soal ketuhanan. Titik temu yang paling tampak dari berbagai esensi ajaran agama itu ialah konsep kebaikan. Sementara soal ‘kebenaran’ bisa dijabarkan secara berbeda, entah itu melalui percakapan dialektis, polemis, maupun yang lebih berjarak sama sekali seperti konsep perbandingan agama sebagai heresiografi, yaitu penggambaran aliran atau agama lain sebagai berbeda dan sesat (dari pemahaman [mazhab] yang seseorang anut).
Selama paruh kedua abad ke-20 hingga kini, berbagai upaya untuk melebarkan teologi dilakukan, khususnya yang dikembangkan oleh teolog dan filsuf Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Pelebaran itu, misalnya, dilakukan untuk merekayasa teologi modern yang sesuai dengan semangat zaman untuk bekerja sama, seperti konsep pluralisme sebagai upaya untuk menyebut kebenaran Tuhan dengan manifestasi yang bermacam-macam. Di dalam tradisi Islam kontemporer, pemikiran perenialisme yang juga mendukung pluralisme diterima di berbagai kalangan yang sebagian interpretasinya dicari dasarnya dari tradisi Quranik, serta mencari berbagai esensi dalam ajaran agama lain seperti atman dan dharma.
Teologi merefleksikan pluralitas pemahaman manusia, terutama di lingkungan kaum terdidik, seperti ulama dan pendeta, atas realitas ketuhanan dan keagamaan. ~ Zacky Umam Share on XSelain pluralisme, banyak upaya baru yang dilakukan berbagai teolog untuk mengawinkan wacana modern dengan teologi tradisional. Mulai dari menggabungkan teologi dengan ide-ide Marxisme, feminisme, multikulturalisme, sains, hingga mengadopsi konsep queer yang berbeda dari apa yang dianggap normal atau lazim dalam bingkai teologi yang pro-kealamiahan dan kecenderungan gender dan seksualitas umat manusia. Berbeda dari teologi tradisional, pengaruh dari teologi mutakhir ini tidak berhenti pada dialog dua agama saja tetapi meluas di berbagai kalangan umat beragama, bahkan cepat berkembang karena kecenderungan komunikasi global dan digital saat ini.
Namun begitu, hal ini bukan berarti teologi tradisional pada berbagai agama lantas hilang ditelan zaman. Teologi tradisional ini, dengan berbagai bentuknya, masih menempati ruang dominan dalam tubuh umat beragama. Kecenderungan heresiografis era klasik sebagian besar masih berkembang lantaran sistem pendidikan agama yang masih menggunakan kurikulum klasik (baik berbahasa Yunani, Arab, Latin, atau Sansekerta). Teologi tradisional ini pun masih kuat mempengaruhi langgam dan metode beragama, misalnya yang diwakili oleh teologi okasionalisme Asy’ariyah–paham yang menganggap bahwa semua peristiwa yang terjadi dipengaruhi atau disebabkan oleh Tuhan dan agensi manusia tidak efektif tanpa kehendak-Nya–dalam Nahdlatul Ulama atau ormas Islam tradisional lainnya di Indonesia. Menguatnya tradisionalisme ini tak bisa dipisahkan dari tanggapan atas teologi modern pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seiring dengan penemuan berbagai manuskrip dan penyuntingan naskah-naskah teologis terbaru, tradisionalisme akan terus berkembang, menguat, dan mungkin juga berubah bentuk dengan mengawinkannya dengan wacana sains, kosmologi, dan antropologi.
Perlu dicatat bahwa peralihan dari tradisionalisme ke modernisme terkait dengan teologi dan pemikiran agama, khususnya dalam Islam, tidak boleh serampangan disebut sebagai transformasi dari teosentrisme (bahwa Tuhan menjadi sumber segalanya) ke antroposentrisme (berkebalikan dari teosentrisme: memusatkan eksistensi pada diri kemanusiaan) mengikuti nalar tradisi Kristen pra- dan pasca-Galileo. Dalam tradisi Islam, kalam dan syari’ah (bermakna umum sebagai ‘jalan [menuju Tuhan]’) tidak melulu membahas mengenai Tuhan dan yang ilahi saja, melainkan meliputi berbagai persoalan riil umat manusia yang memadukan logika, estetika dan etika dengan apik. Salah kaprah wacana teologi ‘dari teosentris ke antroposentris’ lumayan umum dalam wacana intelektual kita pada 1990-an dan 2000-an.
Terakhir, kita memiliki kesepakatan filosofis dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah bangsa besar, salah satu laboratorium terbesar dari kemajemukan ras, budaya, bahasa, dan agama di seluruh dunia, sudah saatnya membudidayakan kembali teologi keindonesiaan yang pas sebagai sebuah agama madani/sipil (civil religion), istilah sosiologis yang mengandung pengertian kesepakatan sosial-budaya-politis kita yang diterima umum melalui nilai-nilai, peringatan, dan simbol kebangsaan. Sila pertama itulah yang semestinya diartikan ulang, dikontekstualisasikan kembali, dan diberi pemahaman yang tepat agar tidak direbut oleh satu tafsir tunggal tertentu. Apakah makna esa dan keesaan Tuhan? Apakah itu berarti satu dan monoteistik? Ataukah punya makna lain? Berbeda dari nalar bilangan, pengertian esa itu lebih pada abstraksi dari konsep ketunggalan dan kedigdayaan Tuhan. Sering, monoteisme sendiri diartikan dari sisi bilangan, serta berbagai pahala yang dipahami secara numerik. Padahal, konsep numerik ini, meminjam bahasa hermeneutis, ialah lapisan lahir-eksoterik, di antara berbagai pemaknaan lainnya. Maksudnya, dalam lapisan penafsiran teks keagamaan, ada berbagai jenjang hermeneutis. Lapisan terluas dan paling harfiah ialah lapisan lahir-eksoterik yang melihat suatu teks berdasarkan bunyi teksnya. Lapisan-lapisan berikutnya bersifat lebih dalam lagi meliputi berbagai penglihatan esoteris makna di balik suatu kata atau konteks yang bisa diperoleh oleh para teolog, filosof, intelektual, atau pemikir dengan daya renung yang tidak dimiliki kalangan lain.
Barangkali, untuk mendukung pengembangan itu, kita membutuhkan Fakultas Teologi atau Divinity School tersendiri dalam kampus-kampus umum semisal di UI, UGM, dan lainnya yang berbeda dengan universitas atau sekolah tinggi agama. Harapannya, dengan membangun Fakultas Teologi tersendiri di kampus-kampus umum, hal ini bisa membuka ruang pembelajaran agama yang menyeluruh (holistik) atas berbagai realitas pengalaman agama umat manusia, seperti dari sisi bahasa, filologis, filosofis, historis, sosial-antropologis, dan sebagainya. Meski kampus agama sudah mengadopsi perkembangan terbaru ini, tidak ada salahnya untuk memulai mengembangkan studi agama untuk mendidik insan umat beragama atau beriman yang lebih etis sebagai agen perubahan dalam komunitas Indonesia yang sangat berketuhanan ini. Lagipula, bukankah di berbagai kampus umum itu, gerakan agama kini banyak dicurigai, tapi, ironisnya, tidak ada tawaran sistematis untuk membudidayakan semesta keilmuan baru yang juga berkembang di berbagai belahan dunia: Fakultas Teologi.
Zacky Khairul Umam, mahasiswa doktoral kajian Islam di Freie Universitaet Berlin; kini bekerja untuk Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia.
Artikel Terkait
Mungkinkah Teologi Baru Berkembang di Tanah Air?
Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan untuk memahami Tuhan dan ajaran keagamaan melalui penalaran intelektual. Artikel ini membahas bagaimana setiap agama memaknai teologi secara berbeda-beda dan ada upaya untuk memperluas maknanya untuk mengikuti perkembangan zaman.Memahami dan Memaknai Minoritas
Walau Indonesia adalah negara yang beragam, masih banyak orang yang merasa hidupnya terancam. Di Catatan Pinggir ini, Dyah Kathy, seorang analis untuk studi konflik di Jakarta, berbagi tentang pengalamannya menghadapi dan mengkaji kekerasan berbasis agama.Fungsi Agama di Masyarakat
Agama dan ide-ide keagamaan berfungsi sebagai jembatan bagi obsesi spiritual manusia untuk bisa memahami tuhan terhadap diri dan dunianya. Artikel ini melihat bahwa agama juga perlu dibahas dari sudut pandang yang lebih ‘membumi’, yaitu dari sudut pandang sosial.