Apa itu Keadilan?: Sebuah Perdebatan Tanpa Akhir
October 17, 2023Menuju 2024, Awas Politik Identitas!
October 20, 2023Makna
Hal-Hal Umum tentang Pemilihan Umum
oleh Dendy R. Atmosuwito
Pemilu (Pemilihan Umum) adalah satu istilah yang sudah, sedang, dan kemungkinan besar akan terus kita dengar, tidak hanya sampai 2024 ketika Pemilu diselenggarakan, tetapi juga seterusnya setiap lima tahunan.
Sebenarnya, apa itu Pemilu? Bagaimana sejarahnya? Sistem Pemilu macam apa yang digunakan di negara kita? Kenapa Pemilu perlu diselenggarakan, bahkan sampai menghabiskan anggaran triliunan?
Artikel ini akan mencoba menjawab sederet pertanyaan tersebut.
Dasar Pemilu di Indonesia
Pemilu 1955 adalah Pemilu pertama yang diselenggarakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer, yaitu pada era Kabinet Burhanuddin Harahap dan diikuti oleh sekitar 15 partai politik (parpol) serta dimenangkan oleh Masyumi (aliran politik Islam), Partai Nasional Indonesia (aliran politik nasionalis), dan Partai Komunis Indonesia (aliran politik komunis). Pemungutan suara pada Pemilu kala itu dilakukan sebanyak dua kali, yaitu untuk memilih anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada 29 September 1955 dan anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.
Pada penyelenggaraan Pemilu pertama, Indonesia terseok-seok mengingat usianya sebagai republik muda membuatnya harus berhadapan dengan ketidakstabilan politik. Situasi keamanan yang belum kondusif, kabinet yang penuh perpecahan, dan gagalnya pemerintahan baru dalam menyiapkan perangkat Undang-Undang Pemilu membuat pemungutan suara baru bisa dilaksanakan sepuluh tahun setelah kemerdekaan.
Pemilu selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun, yaitu pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pemilu 1971 sampai 1997 menjadi Pemilu yang istimewa di Indonesia karena diselenggarakan di bawah pemerintahan rezim otoriter Orde Baru yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto. Berbeda dengan Pemilu periode sebelumnya yang diikuti hingga 15 parpol, Orde Baru hanya menghendaki tiga parpol (kecuali pada 1971), yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kebijakan itu merupakan upaya Orde Baru untuk menggabungkan sejumlah parpol menjadi satu, seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) yang bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Hasilnya sudah bisa ditebak: Partai Golkar yang mengusung Presiden Soeharto berturut-turut keluar sebagai pemenang Pemilu.
Banyak ahli yang menyebut penyelenggaraan Pemilu di era Soeharto sebagai sebuah paradoks: Pemilu yang merupakan salah satu instrumen sistem demokrasi diselenggarakan dalam situasi politik otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Pemilu pada masa itu dianggap tidak netral karena sudah diatur sedemikian rupa sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto beserta kroninya.
Maka, ketika Orde Baru tumbang pada 1998, Presiden B.J. Habibie segera mengajukan paket Undang-Undang (UU) Nomor 3, 4, dan 5 Tahun 1999 kepada DPR yang kemudian disahkan menjadi TAP MPR No. XIV/MPR/1998 tentang Perubahan Atas Ketetapan MPR No. III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Peraturan tersebut memuat desain konstitusional Pemilu yang baru dengan menambahkan asas demokratis, jujur, dan adil dalam penyelenggaraan Pemilu serta membuka ruang partisipasi partai politik seluas mungkin, selama mereka memenuhi persyaratan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Babak baru Pemilu pada masa Reformasi bertujuan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem demokrasi yang diselenggarakan negara.
Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama pasca-Orde Baru berhasil diikuti oleh 48 parpol dan dilaksanakan pertama kali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu pada masa itu melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dengan perolehan kursi parlemen sebanyak 153, disusul oleh Partai Golkar dengan 120 kursi dan PPP dengan 58 kursi.
Pemilu di masa Orde Baru adalah paradoks karena praktik demokrasi dijalankan dalam situasi politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi ~ Dendy R. Atmosuwito Share on XPenyelenggaraan Pemilu 2004 juga tidak kalah istimewa dengan periode sebelumnya. Untuk pertama kalinya, masyarakat Indonesia berkesempatan memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Diikuti oleh 24 parpol dan lima pasang calon presiden dan wakil presiden, Pemilu 2004 dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, setelah mengalahkan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi pada putaran kedua.
Pemilu pada periode selanjutnya masih menggunakan kerangka konstitusional yang sama dengan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, sehingga pelaksanaannya tidak terlalu berbeda jauh. Hanya saja, terdapat hukum kepemiluan yang dikembangkan sesuai dengan situasi politik pada setiap periode. Misalnya, hukum tentang lembaga pengawas Pemilu, penetapan parpol peserta Pemilu, serta keputusan menyelenggarakan Pemilu serentak untuk memilih presiden dan anggota legislatif tahun 2019.
Sistem Pemilu di Indonesia
Di seluruh dunia, ada dua sistem Pemilu yang umumnya digunakan, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional.
Sistem distrik atau yang dikenal dengan “single-member constituency” adalah metode pemilihan di mana suatu negara dibagi menjadi beberapa wilayah pemilihan (disebut sebagai distrik) dan jumlah perwakilan yang akan terpilih disesuaikan dengan jumlah distrik. Artinya, setiap distrik akan menghasilkan satu perwakilan dan kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik secara otomatis menjadi perwakilan rakyat terpilih. Sementara itu, kandidat dengan suara lebih sedikit tidak akan diperhitungkan, sekalipun selisih suara yang diperoleh sangatlah kecil. Dalam sistem ini, terdapat prinsip “pemenang mengambil semua” atau “the winner-takes-all”.
Sistem proporsional adalah varian lain sistem Pemilu yang memberikan perhatian pada proporsi atau keseimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi Parlemen di suatu wilayah pemilihan. Dalam struktur perwakilan, wilayah dengan populasi lebih besar akan memiliki lebih banyak kuota kursi perwakilan, begitu juga sebaliknya. Sistem proporsional juga mengatur perolehan suara suatu partai politik yang akan diubah menjadi jumlah kursi dalam lembaga perwakilan.
Sistem proporsional menggunakan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang mencerminkan ambang batas suara yang diperlukan untuk memperoleh kursi dalam suatu wilayah pemilihan. Sistem ini memungkinkan partai politik dapat mengajukan lebih dari satu kandidat, karena jumlah kursi yang tersedia dalam wilayah pemilihan berjumlah lebih dari satu.
Dengan pertimbangan untuk mewadahi keberagaman suara yang ada, sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia adalah sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Artinya, dalam pemilihan anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD, terdapat nama partai dan daftar nama calon legislatif yang tertera pada surat suara.
Sementara itu, pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, yaitu sebanyak empat perwakilan untuk setiap provinsi.
Pemilu dan Kedaulatan Rakyat
Pemilu seringkali dianggap sekadar “ritual politik lima tahunan.” Padahal, lebih dari itu, Pemilu sebenarnya bisa dijadikan alat yang memungkinkan rakyat mengambil peran aktif untuk menentukan arah politik dan kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan orang banyak.
Mari kita bahas lebih dalam untuk memahami pentingnya proses ini dengan menggarisbawahi aspek kedaulatan rakyat.
Pada konteks Indonesia kontemporer, Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi rujukan legal formal utama dalam memahami esensi Pemilu. Berdasarkan UU tersebut, Pemilu adalah bentuk konkret kedaulatan rakyat, karena memberikan hak dan tanggung jawab pada warga negara untuk berpartisipasi menentukan masa depan bangsa.
Hak dan tanggung jawab tersebut diwujudkan dalam mekanisme pemilihan yang memungkinkan warga negara dapat memilih para wakilnya di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi suara masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia. Mekanisme tersebut juga memberikan kesempatan yang luas pada warga negara untuk memilih presiden dan wakil presiden selaku pemimpin politik tertinggi. Semua proses itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang sudah kita kenal di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sejak di Sekolah Dasar: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (LUBER JURDIL).
Dalam menjalankan Pemilu yang sesuai pada prinsip moral tersebut, Indonesia membentuk lembaga khusus bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang pertama kali didirikan di masa Reformasi sesuai Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1999. Untuk mengawasi kinerja KPU dalam penyelenggaraan Pemilu, pemerintah membentuk Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga ad hoc yang menjalankan fungsi pengawasan Pemilu sampai ke tingkat kelurahan dan desa. Selain itu, Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilihan Umum (DKPP) juga didirikan sebagai fungsi mengimbangi dan mengawasi (check and balance) apabila ditemukan pelanggaran etis dan dugaan penyelewengan oleh KPU dan Bawaslu. Didirikannya lembaga-lembaga tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga kualitas Pemilu dan kepercayaan masyarakat pada penyelenggaraan negara.
Di samping soal kedaulatan rakyat, Pemilu juga menjadi sarana pendidikan demokrasi yang penting bagi masyarakat. Selama mengikuti proses Pemilu, masyarakat akan belajar tentang mekanisme politik, pemilihan, dan kepemimpinan yang ada pada setiap tahapan Pemilu, mulai dari tahap pencalonan kandidat politik, kampanye, pemilihan, sampai penghitungan suara. Selama terlibat dalam proses tersebut, masyarakat juga akan terpapar dengan berbagai masalah, isu, dan pandangan dari calon pemimpin politik berikut solusi yang mereka tawarkan.
Pada tahap itu pula, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengkritisi, menganalisis, dan memilih gagasan yang paling layak mereka jadikan acuan kebijakan selama lima tahun mendatang. Selain itu, karena penyelenggaraan Pemilu tidak lepas dari ancaman kecurangan, masyarakat pun dapat terlibat meminimalisasi ancaman itu dengan secara aktif melaporkan kecurangan Pemilu melalui saluran-saluran yang disediakan.
Meskipun pendidikan demokrasi yang kritis semacam itu idealnya perlu dipraktikan dalam setiap tahap kehidupan bernegara, momentum Pemilu yang diselenggarakan lima tahunan bisa menjadi salah satu katalisatornya. Selain itu, kompleksitas penyelenggaraan Pemilu di akar rumput bisa jadi akan sangat berbeda dengan gagasan ideal yang tertulis di atas kertas. Semisal, masyarakat rentan terpapar berita bohong (hoax) terkait Pemilu, menghadapi politik uang atau serangan fajar, mengalami polarisasi akibat politik identitas, dan sederet persoalan lainnya. Hal-hal itu perlu menjadi fokus perhatian penyelenggara Pemilu demi memastikan kualitas dan hasil Pemilu yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan kualitas demokrasi di Indonesia.
Bacaan Lebih Lanjut
Budiharjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Ramlan dkk. 2008. Perekayaan Sistem Pemilihan Umum: Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan Bagi Tata Pemerintahan di Indonesia. |
Dendy R. Atmosuwito lahir di Bantul pada 19 November 1995. Ia menamatkan pendidikan sarjana di program studi Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2018. Saat mahasiswa, ia aktif di Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM, Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIPOL UGM, dan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bulaksumur. Sejak mahasiswa, ia aktif menulis di berbagai media, seperti Kedaulatan Rakyat, Harian Sindo, Tirto, Indoprogress, dan Pusat Riset Politik BRIN. Saat ini, ia bekerja sebagai Analis Politik di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta serta aktif secara kultural di Persyarikatan Muhammadiyah. Penulis dapat dihubungi lewat email: [email protected].
Artikel Terkait
Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
Masyarakat patriarki membayangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga, memiliki karakter dominan, tidak emosional, dan tidak rapuhMemaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
Di Catatan Pinggir ini, Elvira Rumkabu (Ira) bercerita tentang pandangan politiknya sebagai seorang perempuan Papua. Ira tersadar bahwa perempuan Papua perlu terlibat di politik praktis untuk merebut kekuasaan yang didominasi karakter maskulin.Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
Kaum muda memang penting berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi, sudahkah dunia politik praktis ramah pada kaum muda? Bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik?