Penghayat Kepercayaan dalam Dinamika Pemilihan Umum
October 22, 2023Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
October 23, 2023
Makna
Di Mana Posisi Perempuan dalam Pemilihan Umum?
oleh Rizka Antika
Memasuki pesta demokrasi serentak 2024, isu mengenai minimnya representasi perempuan lagi-lagi muncul. Sama seperti Pemilihan Umum (Pemilu) periode sebelumnya, belum ada satu pun perempuan yang menjadi bakal calon presiden dan wakil presiden pada periode Pemilu kali ini.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen memang konsisten menunjukkan angka yang rendah. Pada 2022 saja, hanya ada 21,74 persen perempuan yang menduduki kursi parlemen. Jumlah tersebut turun dari 21,89 persen pada 2021. Untuk mengikis ketimpangan gender dan mendorong proses politik yang lebih substantif, tidak heran jika kini pemerintah menargetkan angka representasi politik perempuan minimal sebesar 30 persen.
Bias Gender Menjegal Langkah Politik Perempuan
Dunia politik masih didominasi laki-laki dengan karakternya yang maskulin. Karakter maskulin yang dominan membuat rancangan sistem politik tidak memperhatikan pengalaman khas perempuan. Itu memunculkan bias gender yang menganggap perempuan tidak kompeten bertarung di dunia politik praktis dan, pada akhirnya, menyebabkan kurangnya ruang dan kesempatan bagi perempuan.
United Nation Development Programme melaporkan hampir 90% masyarakat masih memiliki bias terhadap perempuan dengan setengahnya percaya bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin politik. Permasalahan bias gender itu juga ditunjukkan oleh Edward Aspinall, ahli politik Indonesia asal Australia, yang membuktikan ada sebanyak 62% responden di Indonesia setuju atau sangat setuju bahwa laki-laki lebih memiliki kapasitas menjadi pemimpin politik dibandingkan perempuan.
Dalam penelitian itu, Aspinall juga menunjukkan kalau responden perempuan cenderung lebih kritis pada politisi perempuan yang memiliki anak kecil. Mereka menganggap bahwa perempuan, apalagi yang memiliki anak, tidak sepantasnya memegang jabatan publik. Fakta ini menggarisbawahi pilihan politik masyarakat Indonesia yang masih cenderung bias gender.
Memperhatikan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, interpretasi terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam juga ikut menyumbang kuatnya bias gender dalam proses memilih pemimpin politik. Ada pandangan agama yang mengatakan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Ini menjadi pembenaran bagi pemilih untuk lebih cenderung memprioritaskan kandidat laki-laki sebagai pemimpin politik dibandingkan perempuan.
Bias gender tersebut berdampak pada bias-bias lain yang saling berkaitan. Salah satunya, muncul bias pragmatis yang menganggap kandidat perempuan mengalami hambatan praktikal dalam memenangkan pertarungan politik, sehingga membuat para pemilih urung memberikan dukungan. Keputusan itu mereka ambil bahkan tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan perempuan, melainkan mendasarkannya pada identitas gender semata.
Para pengurus partai politik juga tidak lepas dari pengaruh bias gender. Mengingat Indonesia menerapkan sistem multi-partai dengan aneka ragam kepentingan dan ideologi, partai politik memiliki peran penting untuk menentukan perwakilan yang akan bertarung dalam kontestasi politik. Tentu saja, mereka akan secara pragmatis mengunggulkan kandidat laki-laki karena dinilai lebih mampu mendulang perolehan suara. Apalagi, elit partai politik juga cenderung didominasi laki-laki, sehingga semakin menyulitkan peluang perempuan untuk menduduki posisi politik yang strategis.
Bagi perempuan yang hendak melangkah ke panggung politik, hambatan struktural dan kultural semacam itu harus mereka bayar dengan harga yang tidak murah. Mereka rentan sekali mengalami kekerasan yang dialamatkan oleh orang-orang yang tidak menghendaki keberadaan mereka dalam kontestasi politik. Tidak jarang, situasi itu membuat politik elektoral menjadi ruang tarung yang tidak menyenangkan dan berujung pada rendahnya keinginan perempuan untuk terlibat di dalamnya.
Pemilih Perempuan dalam Pemilu, Mengapa Penting?
Pemilih perempuan bisa menjadi agen perubahan untuk menghancurkan bias-bias yang selama ini menghambat kemajuan kiprah politik perempuan. Mereka bisa membantu mengurangi hambatan struktural dan kultural yang dialami perempuan dengan mulai mengakui pengalaman khas dan personal perempuan sebagai permasalahan politik. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Carol Hanisch, bahwa the personal is political (hal personal juga bisa bersifat politis).
Beruntungnya, Indonesia memiliki peluang besar dengan jumlah pemilih perempuan yang dominan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada sebanyak 204.807.222 pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 dengan jumlah pemilih perempuan sebesar 102.588.719 orang, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 102.218.503 orang. Fakta itu menempatkan perempuan sebagai pemilih yang suaranya paling banyak diperebutkan dan dianggap memiliki arti penting.
Survei yang dilakukan Litbang Kompas juga menunjukkan hasil menggembirakan. Ada sebanyak 72,3 persen responden perempuan dalam survei tersebut yang aktif menggunakan hak suaranya untuk memilih calon presiden, partai politik, dan calon legislatif (caleg) sekaligus. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa pemilih perempuan cenderung lebih mempertimbangkan caleg yang diusung dibandingkan partai politik. Selain itu, mengkonfirmasi survei Aspinall sebelumnya, keengganan pemilih perempuan memilih kandidat politik perempuan rupanya disebabkan oleh sebanyak 56,7 persen dari mereka yang sama sekali tidak mengenal kandidat perempuan. Memilih kandidat laki-laki yang memang sudah terlanjur dikenal luas oleh masyarakat dianggap sebagai pilihan politik paling ‘aman’. Hal itu mengisyaratkan adanya peluang untuk mendongkrak perolehan suara kandidat politik perempuan selama persona dan citra mereka terus dibangun dan dikembangkan.
Kepemimpinan Feminin, Mengapa Tidak?
Selama ini, masyarakat masih mengharapkan satu jenis karakteristik kepemimpinan, yakni kepemimpinan maskulin tradisional. Seperti kacamata kuda, ekspektasi itu membuat masyarakat kurang dapat menerima karakteristik kepemimpinan lain, yaitu kepemimpinan feminin yang biasanya melekat pada perempuan. Alih-alih berfokus pada kompetisi, gaya kepemimpinan feminin lebih mengedepankan kerja sama dan membangun relasi, sehingga dapat menciptakan tim yang solid.
Pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa waktu lalu membuktikan efektivitas kepemimpinan feminin yang dipegang oleh perempuan. Penanganan krisis tersebut membutuhkan pendekatan yang penuh dengan rasa empati, kolaborasi, kepedulian, dan pengakuan terhadap kontribusi kolektif. Aspek-aspek itu memenuhi kriteria di dalam model kepemimpinan feminin.
Kita perlu memastikan bahwa kehadiran perempuan di politik benar-benar bermakna bagi perempuan lain: mampu membuka akses politik yang lebih luas pada perempuan-perempuan yang teropresi ~ Rizka Antika Share on XSelain itu, mendobrak bias gender dengan mendorong narasi kepemimpinan perempuan sebagai kekuatan baru politik sangat kita butuhkan. Itu bertujuan untuk membuat dunia politik praktis menjadi lebih inklusif dengan adanya keseimbangan representasi gender di dalamnya. Dampak lanjutannya, proses politik dan pengambilan kebijakan publik akan lebih tepat sasaran dan mampu mengakomodasi kepentingan perempuan yang khas.
Kita memang patut menaruh harapan ketika melihat kemunculan tokoh-tokoh perempuan dalam pentas politik dan mengisi berbagai jabatan publik, seperti Puan Maharani, Sri Mulyani, dan Retno Marsudi. Akan tetapi, kita juga perlu memastikan bahwa kehadiran mereka yang dianggap merepresentasikan perempuan itu benar-benar bermakna bagi perempuan: mampu membuka akses politik yang lebih luas pada perempuan-perempuan lain yang teropresi. Akan sangat disayangkan apabila kehadiran mereka hanya merupakan bentuk perpanjangan tangan oligarki atau patron politik yang semakin melemahkan otonomi perempuan sebagai pemimpin.
Pesan Cinzia Arruzza, feminis asal Amerika Serikat, dalam bukunya Feminism for the 99%, layak untuk kita renungkan bersama: jangan sampai, perjuangan feminisme hanya berakhir pada representasi yang hanya menguntungkan segelintir perempuan dengan hak istimewa (privilege), tetapi mengabaikan mayoritas perempuan yang masih terjebak di ruang bawah tanah.
Bacaan Lebih Lanjut
UNDP, 2020, Gender Social Norms Index (GSNI) Aspinall, Edward. 2021. Women’s Political Representation in Indonesia: Who Wins and How? Nuqul, Fathul Lulabin. Gender and Voting Behaviour: Political Psychology Analysis for Voting Behaviour in Indonesia Christianne Corbett, 2021. Pragmatic bias impedes women’s access to political leadership Cakra Wikara Indonesia. 2022. Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah |
Rizka Antika adalah seorang perempuan lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Rizka menganggap dirinya sebagai seorang generalis yang memiliki ketertarikan di beberapa isu di dalam ruang lingkup HAM dan demokrasi, di antaranya adalah perempuan dan politik, pencegahan ekstremisme berkekerasan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta penghapusan kekerasan seksual. Rizka saat ini memiliki pengalaman selama 4 tahun di sektor pembangunan dan bekerja sebagai Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity di INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) dengan berfokus kepada advokasi berbasis bukti, baik di tingkat lokal, nasional, maupun regional.
Artikel Terkait
Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
Masyarakat patriarki membayangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga, memiliki karakter dominan, tidak emosional, dan tidak rapuhMemaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
Di Catatan Pinggir ini, Elvira Rumkabu (Ira) bercerita tentang pandangan politiknya sebagai seorang perempuan Papua. Ira tersadar bahwa perempuan Papua perlu terlibat di politik praktis untuk merebut kekuasaan yang didominasi karakter maskulin.Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
Kaum muda memang penting berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi, sudahkah dunia politik praktis ramah pada kaum muda? Bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik?